Tokoh KH ASY'ARIE WONOSARI (W. 1948/1367 H)

Merangkul Penjahat dan Bromocorah dengan Seni Lokal

Rabu, 24 Oktober 2012 | 11:10 WIB

Wilayah Bondowoso ketika awal tahun 1930 atau sebelum kemerdekaan, merupakan bagian dari Karesidenan Besuki. Karesidenan Besuki merupakan pusat pemerintahan di daerah Tapal Kuda dan sekitarnya, dibentuk oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka mengatur kebijakan penanaman dan penjualan barang-barang komoditi khususnya tembakau serta memperlancar arus perdagangan melalui pelabuhan-pelabuhan laut.<>

Dalam prosesnya, wilayah-wilayah lain di sekitar Besuki, termasuk di dalamnya Bondowoso juga berkembang dan mulai memunculkan geliat-geliat ekonomi pada penduduknya. Geliat ekonomi ini perlahan merubah perilaku masyarakat untuk  lebih termotivasi dalam mencari pendapatan. 

Perilaku masyarakat yang berubah di kawasan Bondowoso, khususnya Kecamatan Wonosari dan sekitarnya, diikuti makin maraknya tindakan premanisme dan kejahatan yang dilakukan oleh para preman, penjahat, dan bromocorah. Bromocorah merupakan istilah lokal Orang Madura untuk menyebut para ahli bela diri dan ilmu kanuragan yang ada di masyarakat. 

KH Asy’arie merupakan perintis awal atau tokoh awal penyebar Agama Islam di wilayah Wonosari, dan sekitarnya. Beliau merupakan murid Syech Kholil Bangkalan yang pada masa sebelum kemerdekaan atau saat masa-masa kolonial Belanda berkuasa, Pondok Pesantren Syech Kholil Bangkalan menjadi tempat belajar para santri yang kelak di masa mendatang menjadi ulama-ulama tangguh di bidangnya.

Para santri yang pernah belajar di bawah asuhan Syech Kholil selain alm.KH. Asy’arie, ialah Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’arie (pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), KH. Ali Wafa (pendiri Pondok Pesantren Temporejo, Jember), KH. M. Munawwir (pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta), KH. R. Abdul Fattah (pendiri Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung), KH. Romli Tamim (Jombang), dan sebagainya (Arrifa’i, 2010).

Sebagai seorang tokoh agama, alm. KH. Asy’arie kemudian mencari solusi agar dakwahnya diterima sehingga bisa mengurangi tindak kejahatan yang terjadi di wilayah Wonosari dan sekitarnya. Solusi ini kemudian melahirkan suatu ide berdakwah islami dengan cara a maèn kèjung. Istilah lokal ini berasal dari Bahasa Madura yang apabila diterjemahkan berarti menyanyi mirip seperti sinden atau tindakan saling memukul dengan rotan. Dalam kasus ini a maèn kèjung yang dimaksud adalah tindakan saling memukul dengan rotan.

Kèjung merupakan tradisi yang pelaksanaanya hampir mirip dengan kesenian Tiban di wilayah Tulungagung, dimana para pemain, saling berhadapan dan saling cambuk dengan rotan. Kèjung dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai ajang perlombaan, untuk menguji nyali, kekuatan fisik, taktik dan ketangkasan para pemain. Setiap pemain membawa rotan untuk dipukulkan ke lawannya. Pemain dikatakan menang jika berhasil menjatuhkan lawan. Kèjung merupakan tradisi yang juga ditemukan di kebudayaan Jawa, seni ini memadukan ke uatan fisik, kanuragan, gerakan dan terkadang diiringi dengan musik, meskipun dalam prakteknya kèjung yang dilakukan oleh alm KH. Asy’arie dipengaruhi oleh kebudayaan Madura yang kuat. Aspek yang ditonjolkan ialah gerakan dari pemain kèjung itu sendiri yang dinamis, bertenaga, dan tidak terlalu menonjolkan musik. Tradisi ini sering dijadikan ajang taruhan ataupun judi oleh para peserta yang melihatnya, disini perlahan alm KH. Asy’arie merubah aturan ini. 

alm KH. Asy’arie memanfaatkan kèjung untuk menundukkan lawan-lawannya yang kemudian beliau rangkul dalam proses pembelajaran islam. Hal ini nampak ketika lawan-lawan beliau yang umumnya merupakan bromocorah, preman dan penjahat menggunakan ilmu hitam namun berbeda dengan alm KH. Asy’arie, yang menekankan pada penggunaan ilmu putih atau ilmu agama untuk menghadapi para bromocorah, preman dan penjahat. Para bromocorah, preman dan penjahat yang kalah ini, tertarik mengetahui ilmu yang dipakai oleh alm KH. Asy’arie, sehingga ini mengundang mereka untuk mendalami Islam lebih giat. Beliau menggunakan tradisi lokal sebagai sarana dakwah, karena dakwah secara langsung di kalangan masyarakat Wonosari dan sekitarnya yang dihuni preman, penjahat, dan bromocorah dengan jumlah yang banyak, berpotensi memunculkan konflik dan pertentangan. 

Seiring berjalannya waktu, proses dakwah dengan media seni ini memunculkan kesan bagus kepada masyarakat termasuk para preman, penjahat dan bromocorah di wilayah tersebut. Perlahan mereka tertarik untuk melihat lebih dekat kesenian kèjung ini dan terlibat di dalamnya, lama-kelamaan usaha dakwah alm. KH. Asy’arie dalam menyebarkan Agama Islam di wilayah Wonosari dan sekitarnya menuai hasil. Keberhasilan ini diikuti pula dengan jerih payah beliau untuk merintis dan mendirikan Pondok Pesantren Daruth Tholabah, serta menjadi Pembina Pertama Jam’iyah Nahdlatul Ulama di wilayah Kabupaten Bondowoso. Keberhasilan mendirikan pondok pesantren tersebut tidak lepas dari usaha beliau merangkul masyarakat di sekitar, khususnya para preman, penjahat, dan bromocorah di kawasan itu.

Usaha dan do’a dari sesama kyai tidak bisa dipungkiri perannya, salah satunya adalah beliau KH. R. Syamsul Arifin merupakan ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo). KH. R. Syamsul Arifin menjadi dewan penasehat atau pembina di Pondok Pesantren Daruth Tholabah dan daerah Wonosari, Bondowoso antara tahun 1910-1950 M.

Saat berdirinya Pondok Pesantren Daruth Tholabah, merupakan masa-masa yang begitu genting dimana kolonialisasi Belanda masih melanda wilayah Bondowoso dan sekitarnya, kemudian diikuti pula penjajahan Jepang. Kondisi ini membuat Pondok Pesantren Daruth Tholabah selain sebagai pusat pendalaman ilmu agama, juga difungsikan sebagai basis pertahanan dan perjuangan rakyat melawan penjajah. Selama masa perjuangan, masyarakat Wonosari dan sekitarnya termasuk di dalamnya santri Pondok Pesantren Daruth Tholabah, yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat khususnya preman, penjahat dan bromocorah ikut terlibat dalam perjuangan melawan penjajah. 

Alm. KH. Asy’arie wafat tahun 1948 yang pada saat itu, Indonesia baru merayakan kemerdekaannya yang ke tiga. Tradisi kèjung yang beliau pakai untuk berdakwah, kini mulai luntur, harapan kita semua semoga tradisi ini bisa terpelihara untuk menambah khasanah kebudayaan nusantara. Alm. KH. Asy’arie dimakamkan di pemakaman keluarga yang terletak di Jalan Kelapa Sawit, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso. Makam beliau berada di sisi sebelah barat Jalan Kelapa Sawit dan berdekatan dengan pemukiman penduduk dan areal persawahan.

Semoga perjuangan beliau mampu diteruskan oleh generasi-generasi muda ke depan, dan tentu saja kita bisa mengambil hikmah dari perjuangan beliau di masa lalu, Amin, Insya Allah. Al Fatihah untuk beliau dan keluarga-keluarga beliau, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, termasuk mengampuni dosa-dosa kita semua. Harapan lebih jauh dari tawassul singkat ini agar kita semua diberi keselamatan untuk hidup di dunia ini dan akherat kelak, amin ya robbal alamin.




Penulis: Muhammad Fathul Farikh Fauzy, cicit dari KH. Asy’arie/ Mahasiswa UGM Yogyakarta.
Sumber: Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan & NU karya Ibnu Assayuthi Arrifa’i, 2010. (Red: Anam)