Sekitar usia tiga tahun, Aisyah Hamid Baidlowi mengikutinya orang tuanya pindah ke Jakarta. Namun, karena situasi saat itu belum aman karena pendudukan Nippon atau Jepang, Aisyah diajak ibunya Nyai Hj Sholehah Wahid Hasyim kembali ke Jombang.
Kembali ke Jombang bagi Aisyah bisa kembali merasakan tanah kelahiran sekaligus menempa diri di pesantren. Hingga ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri agama pada 1945, Aisyah masih mengikuti pendidikan di Jombang. Ayahnya menjabat menteri agama (shumubu) hingga 5 kali sejak tahun 1945 hingga 1952.
Setelah situasi normal di Jakarta pada 1950, Aisyah sekeluarga diboyong ke Jakarta. Ketika sedang menikmati kehidupan bersama keluarga, Aisyah harus menghadapi situasi tidak mudah ketika ayahnya KH Wahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di daerah Cimahi pada 1953.
Sebagai putri tertua, sejak saat itu Aisyah memahami dan sadar, dirinya harus dapat berperan sebagai seorang ibu bagi keempat adiknya Salahuddin Wahid, Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid. Hal itu dilakukan ketika sang ibu dan kakaknya Abdurrahman Wahid pas sibuk kegiatan di luar.
Kondisi demikian ditambah tempaan luar biasa dari sang ibu, Aisyah Hamid Baidlowi menjelma sebagai perempuan tangguh, disiplin, dan pengayom. Berawal dari didikan sang ibu dan memahami kiprah luar biasa sang ayah, Aisyah mempunyai bekal penting untuk berperan dalam kehidupan yang lebih luas lagi.
Ia juga sadar akan kiprah kedua kakeknya KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri untuk NU dan Indonesia. Di antara pesan para orang tuanya kepada Aisyah ialah agar selalu mencintai NU. Secara khusus, Aisyah mendapat pesan dari ibunya agar menjaga Muslimat NU. (Sri Mulyati dkk, 70 Tahun Muslimat NU: Kiprah dan Karya Perempuan NU, 2017)
Mengabdi dari bawah
Berupaya mengejawantahkan pesan para orang tuanya, kiprah Aisyah dimulai ketika dirinya menjabat Ketua Fatayat NU Wilayah DKI Jakarta (1959-1962) di usia 19 tahun. Dari sini, meskipun Aisyah termasuk keturunan ‘darah biru’ NU, ia tetap menjalani proses kaderisasi dari tingkat bawah. Baginya, proses berjenjang dalam aktif di organisasi akan menempa seseorang menjadi lebih matang.
Selanjutnya, ia dipercaya sebagai Bendahara Fatayat NU di tingkat pusat pada 1962-1967. Meskipun memangku kedudukan inti di PP Fatayat, tidak menghalangi dirinya untuk aktif juga di jajaran Muslimat NU. Saat itu Muslimat di bawah kepemimpinan Nyai Hj Machmudah Mawardi. Aisyah membantu Muslimat NU di bidang sosial. Atas pengabdiannya di bidang sosial tersebut, ia diangkat menjadi Sekretaris II Pimpinan Pusat Muslimat NU.
Kemudian pada Kongres Muslimat NU di Probolinggo tahun 1984, Aisyah diangkat menjadi Ketua III PP Muslimat NU. Lalu pada Kongres berikutnya tahun 1989 di Kaliurang, Yogyakarta, ia diangkat sebagai Ketua II PP Muslimat NU.
Puncaknya, ketika Kongres Muslimat NU 1995 di Jakarta, dia terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU melalui proses yang sangat demokratis. Ketika, ia bersaing dengan budhenya sendiri Nyai Hj Machfudhoh Aly Ubaid, putri KH Abdul wahab Chasbullah, tokoh pendiri NU sekaligus salah yang membidani kelahiran Muslimat NU.
Kemandirian pondasi kemajuan
Bagi perempuan kelahiran Jombang, 4 Juni 1940 ini, menakhodai Muslimat NU adalah memikul pesan sang ibu untuk menjaga Muslimat NU. Bekal kepemimpinannya dari tingkat bawah menjadi modal penting menggerakkan organisasi perempuan terbesar di Indonesia ini menjadi organisasi mandiri, maju, dan modern.
Kiprahnya untuk memajukan perempuan Nahdliyin dan perempuan Indonesia pada umumnya sesungguhnya dimulai ketika ia diamanahi Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) periode 1990-1995. Tentu jabatan ini diembannya sebelum ia memimpin Muslimat NU. Representasi kemandirian perempuan NU menjadi bekal berharga untuk memajukan KOWANI sebagai organisasi perempuan dari beragam perkumpulan.
Di Muslimat sendiri, kiprah luar biasa yang terlihat saat ini merupakan gambaran kesuksesannya mempimpin Muslimat. Dalam memimpin Muslimat, ia mengutamakan pemberdayaan ekonomi dengan mendorong Muslimat agar tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga harus menjadi produsen.
Prinsip kemandirian ini betul-betul diwujudkan oleh Aisyah agar taraf hidup perempuan beserta keluarganya terbangun dengan baik. Hal ini juga sebagai langkah menciptakan kemandirian dan kreativitas perempuan Indonesia secara umum. Di antara program ekonomi yang sukses dilakukannya adalah pendirian koperasi di berbagai daerah.
Pada periode kepemimpinannya, Aisyah berhasil mendirikan 107 koperasi primer yang tersebar di seluruh kabupaaten/kota di Indonesia, dan tiga Pusat Koperasi dan Induk Koperasi Annisa (Inkopan). Tak hanya meletakkan dasar program-program pemberdayaan ekonomi, tetapi juga mendirikan lembaga pendidikan dan kesehatan serta merealisasikan pendirian Pusdiklat Muslimat NU di Pondok Cabe, Tangerang Selatan yang kala itu digagas oleh Ketua Umum sebelumnya, Hj Asmah Sjachruni.
Di bidang politik, karir sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI selama tiga periode 1997-2009 cukup penting. Ia termasuk perempuan yang membidani lahirnya Undang-Undang Perhajian Nomor 17 tahun 1999. Ia menginginkan perhajian harus transparan dan UU tersebut menjadi payung hukum pertama perhajian di Indonesia.
Atas kipra dan prestasinya, ia diganjar sejumlah penghargaan di antaranya dari Yayasan Asma Indonesia (1990), Manggala Karya Kencana Kelas I dari Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN (1997), Honorary Award of the Realization of World Peace and the Promotion of Education and Culture dari Soka University, Tokyo (2001).
Kini, tepat di Hari Perempuan Internasional, Nyai Hj Aisyah Hamid Baidlowi binti KH Abdul Wahid Hasyim wafat pada Kamis (8/3/2018) di Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sekitar pukul 12.50 WIB. Warga NU berduka atas kepergian perempuan yang banyak mengajarkan bagaimana kemandirian harus terwujud sebagai pondasi kemajuan sebuah bangsa. (Fathoni Ahmad)