Sampai muktamar ketiga di Surabaya, tahun 1928, hanya beberapa kiai dari Jawa Barat dan Banten yang hadir. Di antaranya KH Abdurrahman Menes, Banten, KH Muhyi Bogor, KH Abdullah Cirebon, dan KH Abdul Halim Leuwimunding, Majalengka. Namun, kiai yang disebut terakhir itu memang waktu itu beraktivitas di Surabaya sebagaimana KH Idris Kamali asal Cirebon yang hadir di Muktamar kedua di kota yang sama. Waktu itu Kiai Idris tidak beraktivitas dari kota asalnya, melainkan di Jombang, karena ia adalah menantu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Ada lagi satu yang hadir dari Banten. Namanya KH Abdul Latif dari Cibeber, yakni pengasuh pondok Pesantern Jauharotun Naqiyah pada waktu itu.
KH Abdul Latif lahir pada tahun 1878 M atau bertepatan tahun 1299 H ini. Ia berasal dari turunan ulama pejuang. Ayahandanya, KH Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang melawan Belanda. Kakeknya, KH Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya.
Sewaktu kecil ia tinggal di rumah orang tuanya di kampung Pakisaji Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber. Dalam usia kanak-kanak tersebut dalam diri dia telah tertanam jiwa Kiai Haji Muhammad Ali, jiwa seorang pejuang kemerdekaan.
Dikisahkan bahwa Kiai Haji Muhammad Ali adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pada perang Geger Cilegon. Dalam peperangan melawan kompeni Belanda tersebut KH Muhammad Ali tertangkap kompeni Balanda dan diasingkan ke Dagul dan selanjutnya dibuang ke Ambon, tepatnya di Bontaen. Ia wafat di sana pada tahun 1898 dan dimakamkan di Ambon di Puncak Ali.
Beberapa karya tulis KH Abdul Latif di antaranya adalah
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua