Tokoh

Sisi Senyap KH Idham Chalid

Jumat, 2 Februari 2018 | 11:01 WIB

Idham Chalid. Saya mengenalnya tanpa pernah bersua. Perkenalan dengan tokoh ini bersifat imajiner, diwariskan oleh orang tua dan orang-orang yang mengenalnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari kota yang sama dengan asal Idham, Amuntai, atau memiliki hubungan famili dengannya. Dari merekalah kesan mengenai Idham mulai merasuk pikiran saya.

Idham lahir tahun 1922 dan baru 60 tahun kemudian saya dilahirkan. Suatu masa yang jauh. Selama itu, Idham telah menjalani kehidupannya, dikenal banyak orang, dikenang dan diceritakan satu orang pada lainnya. Seperti pada waktu itu, ayah saya bercerita bahwa dia pernah mengunjungi Idham. Idham menerimanya dengan ramah dan menceritakan sebagian pengalamannya. 

Alkisah, sewaktu berziarah ke makam Imam Bukhari, Idham didatangi seorang laki-laki tua yang tak dikenal. Laki-laki itu memberinya selembar kain putih dan menceritakan bahwa pada malam sebelum pertemuan itu dirinya bertemu Rasulullah dalam mimpi. Laki-laki itu diperintahkan untuk menyerahkan selembar kain kepada seseorang yang ciri-ciri fisiknya seperti Idham Chalid. Dengan gembira kain pemberian laki-laki itu diterima Idham dan dibawanya pulang. 

Ayah saya kemudian diberi Idham sejumput kain tersebut untuk disimpan. Menurut cerita, beberapa orang yang mengunjungi Idham diberi sangu yang sama. Selain “oleh-oleh” tersebut, ayah juga diijazahi suatu amalan berupa sejumlah shalawat susunan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al Jazuly. Amalan itu lazim disebut Dalail al Khairat. Terdiri dari 8 kumpulan shalawat yang disebut hizb. Masing-masing shalawat diberi nama sesuai nama hari. (Karena hanya ada 7 hari dalam seminggu) ada 2 hizb untuk hari Senin, disebut Senin Awal dan Senin Akhir. 

Suatu pengalaman berkaitan dengan amalan ini pernah diceritakan Idham pada cucu keponakannya. Saat itu sekitar akhir 1997. Cucu keponakan Idham mengunjungi sang kakek. Seperti biasa, Idham memberinya nasehat, berbagi pengalaman dan tak lupa memberinya amalan. Adalah Dalail al Khairat amalan yang dianjurkan Idham pada cucunya untuk dibaca secara rutin setiap hari. Secara khusus Idham menyatakan bahwa tiga kalimat pertama Dalail al Khairat hizb hari Selasa memiliki faedah yang luar biasa. “Untuk menghadapi orang yang sulit, bacalah kalimat-kalimat  itu tiga kali dan ditutup dengan salam qaul min rabb ar rahim [Yasin (36) : 58, pen] tiga kali”, ujar Idham. Idham lalu menceritakan bahwa hal itu telah dibuktikannya. 

Suatu hari di bulan Januari 1974. Hari itu gedung wakil rakyat diselimuti ketegangan. Para mahasiswa berhasil merangsek masuk ke dalam gedung megah itu. Mereka mendudukinya. Teriakan dan yel-yel bergema. Suasana memanas. Para wakil rakyat kebingungan menghadapi situasi ini. Ada yang berdiri gelisah, ada yang duduk tak bergerak. Ada yang mondar-mandir tak tentu arah. 


Seorang mahasiswa menaiki mimbar dan meneriakkan tuntutan. Ia bicara tentang modal asing yang dianggap berbahaya bagi masa depan Indonesia. Juga tentang asisten pribadi presiden yang kelewat besar wewenangnya. Sebagian mahasiswa lain menduduki tempat yang biasa digunakan oleh ketua-ketua sidang. Awalnya keadaan gaduh, tetapi masih terkendali. Lama-kelamaan para mahasiswa menjadi tak bisa dinegosiasi. 

Idham Chalid adalah pimpinan lembaga perwakilan rakyat saat itu. Dia menjauh dari kursi yang biasa didudukinya, menuju ke suatu sudut dari gedung itu. Sambil berdiri,  ia menenangkan diri. Lalu, tanpa mengeluarkan suara yang berarti, dibacanya perlahan kalimat-kalimat dari Dalail al Khairat itu. Amalan itu memang telah menjadi wiridannya sehari-hari. Beberapa saat kemudian Idham menuju kursi ketua sidang.

Dengan sikap yang tenang, namun pasti, Idham menduduki kursinya. Diraihnya pengeras suara dan berucap: “assalamua’laikum wa rahmatullah wa barakatuh”…

Suasana berubah menjadi lebih tenang. Masih terdengar suara-suara dari arah bawah, tetapi lambat laun menghilang. Idham kemudian meneruskan ucapannya hingga selesai. 

Dalail al Khairat merupakan amalan yang “hidup” di daerah Kalimantan Selatan. Amalan ini dibaca di mesjid dan surau secara rutin. Biasanya, mengiringi atau diiringi dengan pengajian. Tetapi, tidak jarang dijadikan sebagai acara khusus tanpa tambahan acara lain. Ibu saya menjadi salah seorang jemaah pembacaan Dalail di mesjid dekat kediaman kami. Ada pula seorang kiai Banjar yang saya temui menceritakan bahwa dirinya telah mengamalkan Dalail al Khairat selama 40 tahun atau hampir dua kali lipat umur saya. Dia memiliki jamaah yang setia dan sekarang, sedikit demi sedikit, tradisi ini diwariskan kepada generasi mudanya. Dan masih banyak lagi orang-orang dan tempat-tempat lain yang menjadi saksi ‘hidupnya’ amalan ini.

Saya sendiri mengenalnya sewaktu menjadi santri sebuah pesantren di Banjarbaru (sekitar 23 KM dari Banjarmasin). Setiap seminggu sekali kami membacanya bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang ustadz. Cara membacanya seperti membaca Al-Qur’an secara tartil dengan tempo yang relatif cepat. Satu hizb mencapai belasan halaman atau kira-kira sepanjang satu juz Al-Qur’an. Biasanya diperlukan waktu antara 30 hingga 45 menit untuk menyelesaikan satu hizb.

Hidupnya amalan ini barangkali mencerminkan pandangan hidup dan religiusitas masyarakat Banjar. Pada kiai yang saya sebut di atas saya tanyakan, mengapa mengamalkan Dalail al Khairat, apa manfaatnya? Dengan sigap dia menjawab bahwa manfaat nyata dari mengamalkan amalan ini adalah bahwa semua jamaahnya sudah naik haji. “Hanya seorang saja yang belum, itupun karena alasan khusus: anak-anaknya masih membutuhkan biaya”, tambah kiai itu. Beliau lalu membukakan bagian doa Dalail yang isinya permohonan agar dimudahkan untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci. 

Naik haji adalah cita-cita yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Banjar. Naik haji tidak hanya persoalan status sosial, yakni ciri kesuksesan seseorang di tengah masyarakat. Ia juga merupakan pelengkap yang tanpanya hidup terasa tidak sempurna. Sejak dulu sampai sekarang, orang Banjar khususnya, maupun Nusantara umumnya, merupakan penziarah terbesar di Tanah Suci.  

Idham Chalid barangkali menangkap fenomena ini. Orientasi religius masyarakat yang tercermin dalam kegemaran membaca amalan-amalan, maupun cita-cita naik haji ‘difasilitasinya’ dengan memberikan ijazah Dalail al Khairat ataupun amalan lainnya. 

Di antara versi Dalail al Khairat yang beredar di wilayah Kalimantan Selatan, ada versi ringkas yang dirujuk kepada Idham Chalid. Versi ini hanya memuat sebagian kecil dari setiap hizb. Hanya terdiri dari satu-dua halaman, berisi paling banyak belasan kalimat. Dikutip dari versi lengkapnya, ada yang di awal dan adapula yang dikutip di tengah-tengah. Pada versi ringkas lainnya ada sedikit perbedaan, sehingga sedikitnya ada 2 versi Dalail ringkas yang dirujuk pada Idham. Sumber-sumber saya menyatakan bahwa peringkasan ini dilakukan oleh Idham Chalid. Saya tidak akan membahas lebih jauh soal peringkasan itu di sini. Hal itu menjadi kurang penting karena perujukan kepada Idham Chalid itulah yang menjadi inti dari pembicaraan. 

Perujukan ini menunjukkan ingatan masyarakat tentang Idham Chalid sebagai seorang ulama. Siapakah yang ‘berani’ meringkas amalan yang terkenal lalu mengijazahkannya jika bukan seorang yang memiliki pengetahuan mendalam (‘alim)? Atau siapa pula yang mendapat ‘hadiah dari Rasulullah’ bila ia bukan seorang yang istimewa? Ingatan macam itulah yang terpatri dalam masyarakat. Ditambah lagi, Idham pernah memimpin sebuah pesantren besar di Amuntai dan di Jakarta . 

Selain sebagai ulama, Idham juga dikenang sebagai seorang doktor (bukan dokter). Di halaman depan buku Dalail al Khairat ringkas yang saya dapatkan selalu tercantum kalimat: “Ijazahnya diambil dari Doktor Kiai Haji Idham Chalid”, dalam ejaan Arab-Melayu. Jika kiai atau ulama adalah gelar keagamaan, maka doktor adalah gelar ‘duniawi’ yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan. Idham memiliki keduanya dan diingat baik sebagai doktor maupun kiai.

Memang ada yang mengingat beliau sebagai seorang politisi. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa Idham Chalid merupakan guru dan sumber inspirasi dalam kehidupan berpolitik. Tetapi, jumlah mereka sangat sedikit dan tergolong elite. Sementara, kebanyakan orang mengingatnya sebagai ulama. 

Mengapa sebagai ulama? Adakah ini berkaitan dengan ‘istana imajiner’, meminjam istilah al-Jabiri, masyarakat Banjar bahwa menjadi ulama adalah yang paling ideal? Atau lengkapnya : alim, kaya (dan karenanya bisa naik haji), serta meraih gelar pendidikan ‘duniawi’? Hal ini tentunya memerlukan studi lebih lanjut. Yang jelas, jarang sekali orang-orang ingat bahwa Idham pernah menjadi wakil perdana menteri, memimpin lembaga perwakilan rakyat ataupun DPA. Sepertinya jabatan-jabatan itu kurang penting. Pokoknya, Idham adalah seorang yang alim, cukup-ai sudah.   

Kini, di atas pembaringannya, dengan alat bantu pernafasan, Idham terbaring menahan sakit yang dideritanya selama bertahun-tahun. Untuk bisa bertemu dengannya, seseorang harus masuk ke kamarnya. Tidak banyak hal lagi yang dapat dilakukannya, dan namanya sudah jarang disebut-sebut. Namun demikian, keadaan tersebut tidak menghalangi orang untuk mengingatnya secara berbeda. Mengenangnya lewat sebuah amalan rutin berupa Dalail al Khairat atau melalui sosok keulamaannya. Dekat dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. 

Cerita-cerita di atas bukan dimaksudkan untuk penulisan sebuah manaqib yang berisi cerita luar biasa tentang seorang tokoh. Sungguh, bukan itu maksud saya. Saya ingin memotret bagaimana seorang Idham Chalid dikenang dan bagaimana kenangan tersebut disebarkan pada orang-orang. 

Masalah kenang-mengenang ini terasa penting ketika saya menemukan kenyataan jarang sekali ada tulisan yang secara khusus membahas Idham Chalid. Ketika saya melakukan penelitian untuk tugas akhir, saya sangat risau. Saya berkeinginan menulis tentang Idham Chalid, seorang tokoh fenomenal yang kebetulan satu daerah dengan saya. Pemilihan tokoh ini sesungguhnya bersifat pragmatis. Dalam pikiran saya, mengangkat tokoh dari daerah yang sama akan lebih mudah. Tapi, ternyata tak semudah itu.

Sejarah “resmi” mengenai Idham Chalid yang tertulis di berbagai buku berkaitan dengan aktivitasnya sebagai politisi dan pimpinan organisasi Muslim tradisional terbesar - yang pernah menjadi partai politik, di Indonesia. Membahas organisasi itu hampir tak mungkin tanpa menyebut Idham Chalid yang selama hampir tiga dekade memimpinnya. Hanya saja, penelitian mengenai organisasi ini sangat sedikit dan dibarengi dengan nada yang minor. Baru di tahun 1980-an hingga sekarang, perhatian para peneliti mulai tumbuh dan semakin besar terhadapnya. Hal ini terutama berkaitan dengan perubahan orientasi organisasi tersebut, dengan menarik diri dari kehidupan politik praktis. Kemunculan tokoh-tokoh muda energik yang mewartakan wacana kultural inovatif dan segar menambah daya tarik organisasi itu. Tetapi, Idham Chalid bukan bagian dari pembaharu, melainkan seseorang yang “disingkirkan”. Sehingga, wajar kalau kemudian Idham semakin tersisih dari wacana dan menjadi terlupakan. Hanya dalam sebuah kajian Greg Fealy yang “mengacak-acak” fase paling politis organisasi itu, Idham mendapatkan porsi pembahasan yang sesuai.  

Keadaan ini diperburuk dengan hampir tidak ditemukannya suatu tulisan yang membahas “riwayat hidup” Idham Chalid, kecuali catatan berisi deretan jabatan yang pernah didudukinya. Semua itu tidak banyak membantu mengkonstuksikan sosoknya. Padahal, menurut saya, tokoh sefenomenal Idham Chalid pantas mendapat perhatian lebih. 

Hal ini berbeda dengan tokoh asal Kalimantan Selatan yang juga “menasional”, seperti Kol. Hassan Basry atau Hasan Basri. Yang pertama adalah pemimpin Gerilya Kalimantan dan yang kedua merupakan tokoh Masyumi dan pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia di masa Orde Baru. Kedua-duanya satu zaman dengan Idham Chalid. Kol. Hassan Basry bahkan terhitung murid Idham. Sedangkan Hasan Basri memulai karir politik tingkat nasionalnya dengan menjadi anggota perwakilan sementara di tahun yang sama dengan Idham, 1950.  Ada banyak buku atau karya ilmiah yang disusun untuk menjelaskan kedua tokoh tersebut : siapa mereka, bagaimana perjalanan hidupnya dan apa kontribusinya bagi negara dan masyarakat. Begitulah, mereka berdua mendapatkannya, sementara Idham tidak. Itulah adanya.         

Namun, ketika pulang ke Banjarmasin setelah skripsi saya diujikan, saya menemukan kesan yang berbeda. Cerita-cerita ‘tersembunyi’ yang luput dari rekaman peristiwa sejarah “resmi” mengenai Idham mulai mengemuka. Cerita-cerita itu memberi kesan yang berbeda mengenai Idham. Inilah barangkali ‘sisi balik senyap’ Idham Chalid yang selama ini tersembunyi namun hidup dalam ingatan masyarakat. Tulisan ini hadir hanya untuk memperkaya pemahaman kita mengenai Idham Chalid. Wallahu A’lam. (Ahmad Muhajir)


Tulisan ini merupakan epilog dalam buku saya berjudul Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (Pustaka Pesantren-LKiS, 2007)

Penulis adalah kandidat doktor Ilmu Politik Australian National University