Ahmad Wahyu Rizkiawan
Kolomnis
Syekh Abdurrohman Padangan masyhur sebagai waliyullah keramat, hingga tak banyak yang tahu bahwa beliau menulis banyak kitab. Berikut manakib lengkap beserta sederet karya Mbah Durrohman yang ditelusuri dari manuskrip, data ilmiah, hingga penelusuran kronik sejarah.
Kawasan Bojonegoro bagian barat, khususnya Padangan, sejak dulu masyhur sebagai tlatah keramat aulia. Ada banyak sekali penyebar agama Islam pascaperiode Wali Songo yang berada di wilayah tersebut. Satu di antara banyak nama adalah Syekh Abdurrohman.
Untuk diketahui, akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (periode 1700-1800), waliyullah bernama Abdurrohman cukup banyak di Padangan. Mulai dari Syekh Abdurrohman Goco, Syekh Abdurrohman Padangan (Mbah Durrohman Klothok), hingga Syekh Abdurrohman Hasyim Basyaiban.
Dalam tulisan ini, penulis fokus membahas manakib Mbah Durrohman Klothok yang merupakan salah satu pilar penting masyayikh Padangan. Mbah Durrohman merupakan sosok yang alim allamah (memiliki ilmu mendalam). Makam dan peninggalan beliau, dikeramatkan hingga hari ini.
Hampir semua ulama Padangan abad ke-19 dan ke-20 (1800-1900), masyhur sebagai ulama penulis yang memiliki kitab. Hanya saja, karya Mbah Durrohman termasuk paling banyak di antara yang lain. Terlebih, karya-karya itu masih tersimpan rapi. Sementara banyak juga ulama-ulama Padangan yang kitabnya sudah sulit dijumpai.
Tulisan ini, hanya akan mengulas sisi ilmiah Mbah Durrohman. Sebab, selama ini beliau hanya dikenal dari sisi keramatnya saja. Mbah Durrohman adalah ulama Padangan yang paling produktif menulis. Manuskrip Padangan adalah satu diantara banyak karya penting yang pernah ditulis Mbah Durrohman
Nasab dan Sanad Ilmu Mbah Durrohman
Mbah Durrohman bernama asli Abdurrohman (1790-1880), tumbuh di Kuncen Padangan, dengan nasab: Abdurrohman bin Kiai Syahidin (Syihabuddin) bin Kiai Anom bin Syekh Abdul Jabbar. Sementara dari garis ibu, Nyai Syahidin adalah dzuriyah Mbah Sabil Menak Anggrung Kuncen.
Mbah Durrohman merupakan ulama pembelajar dan penuntut ilmu. Selain belajar pada ayahnya, Syekh Syahidin, ia juga belajar pada ulama-ulama besar pada zamannya. Bahkan, beliau beberapa kali pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Ini otentik karena beliau tulis dalam catatan perjalanannya.
Mbah Durohman juga sempat belajar langsung pada sufi besar tarekat Naqsabandiyah asal India, Syekh Abdullah Addahlawi (1743-1824). Sebab, Mbah Durrohman menyebut nama gurunya itu di beberapa catatan riwayat belajarnya.
Setelah malang melintang belajar ke Makkah dan sejumlah ulama, Mbah Durrohman menetap di Desa Klothok Padangan. Di sana, beliau mendirikan masjid dan pondok pesantren. Itu alasan beliau masyhur dikenal dengan nama Mbah Durrohman Klothok.
Selain mengajar santri, Mbah Durrohman juga mengangkat sejumlah anak. Diantaranya adalah Syekh Abdul Qodir Pethak, yang tak lain adalah ayah kandung Syekh Ahmad Basyir dan Syekh Sulaiman Kurdi. Mbah Durrohman adalah kakek angkat Syekh Sulaiman Kurdi Makkah.
Ini alasan utama dalam kitab al-Jawahir al-Hisan fi Tarajum al-Fudhala karya Syekh Zakariya Billah, Syekh Sulaiman Kurdi menyebut nasab lengkapnya sebagai: Sulaiman Kurdi bin Abdul Qodir bin Abdurrahman bin Syihabuddin Bojonegoro al-Jawiy al-Makkiy Asy-Syafi'i.
Nama Abdurrahman yang sangat dibanggakan Syekh Sulaiman Kurdi tersebut, tak lain dan tak bukan adalah Syekh Abdurrohman Padangan atau Mbah Durrohman Klothok. Sosok yang digambarkan Syekh Sulaiman Kurdi sebagai kakek yang terkenal akan keterdidikan dan kesalehannya.
Karya-Karya Mbah Durrohman Padangan
Jauh di balik kemasyhuran beliau sebagai wali keramat, Mbah Durrohman adalah sosok yang sangat alim alamah. Beliau sosok intelektual. Ini terbukti dari banyaknya karya tulis beliau. Mbah Durrohman tak hanya produktif menulis, tapi juga disiplin dan istiqamah dalam melahirkan banyak tulisan.
Nama intelektual beliau adalah Syekh al-Hajj Abdurrohman Jipang Alfadangi dan Syekh al-Hajj Abdurrohman Fiidarinnur. Nama dan lakob tersebut, sering beliau pakai di tiap karya tulis yang beliau bukukan. Beliau sosok yang mempopulerkan Padangan sebagai tlatah "Dinnur" (cahaya agama). Fiidarinnur dan Dinnur adalah dua istilah yang sering beliau pakai dalam menyebut Padangan.
Di tiap tempat yang beliau kunjungi, beliau selalu menyempatkan diri untuk menulis. Banyak karya beliau yang diawali di sejumlah kota, untuk kemudian diselesaikan di Padangan. Selain di Tanah Haramain (Makkah-Madinah), beliau juga pernah menulis saat berada di Kalkuta (pelabuhan India). Bahkan, tak sedikit tulisan beliau yang diselesaikan di atas kapal laut. Ini otentik karena tercatat di karya beliau.
Selain alim allamah, Mbah Durrohman juga berjiwa seni. Ini terbukti dari tulisan tangannya yang bagus dan rapi. Terlebih, itu semua ditulis pada periode awal 1800 masehi. Hanya orang tertentu yang mampu melakukannya.
Kitab karya Mbah Durrohman cukup banyak. Beliau selalu mencantumkan kapan tanggal kitab itu selesai ditulis. Mbah Durrohman juga disiplin dalam hal mencantumkan tempat di mana kitab-kitab itu ditulis. Kitab-kitab karyanya bertarikh antara tahun 1806 hingga 1875. Ini artinya, beliau menulis sejak usia remaja, hingga menjelang wafat.
Kitab-kitab Mbah Durrohman masih tersimpan rapi di Ndalem Kasepuhan Pondok Pesantren Al Basyiriah Pethak, Bojonegoro. Ada belasan kitab dengan tebal beragam. Mayoritas setebal 300 halaman. Ukurannya pun beragam. Ada yang seukuran kertas A4, F4, hingga Legal dengan bahan kertas dari kulit lembu (lulang).
Kitab-kitab tersebut belum termasuk kitab karya Mbah Durrohman yang ditulis pada kertas biasa yang sudah lapuk dan rusak akibat dimakan rayap. Untuk kitab yang ditulis pada kertas biasa, jumlahnya juga cukup banyak. Sayang, kitab-kitab itu rusak dimakan usia, dan tak terselamatkan.
Beberapa hari lalu, penulis beserta para kerabat dan dzuriyah, menginisiasi pembacaan kitab-kitab karya Mbah Durrohman. Kegiatan ini butuh persiapan matang dan tak sederhana. Mengingat, segala hal tentang beliau dikeramatkan. Apalagi kitab yang notabene sangat dekat dengan kehidupan Mbah Durrohman.
Selain butuh persiapan intensif, juga memilih waktu dan momentum yang tepat. Proses pembacaan kitab Mbah Durrohman dipandu langsung oleh Pengasuh Pondok Pesantren Al Basyiriah Pethak, KH Atho'illah Maimun dan KH Ismail Sulaiman. Selain itu, hadir pula pendiri dan pembina Sarkubiyah Institute Padangan, Kiai Furqon Azmi.
Membaca manuskrip muskil sendiran. Harus ada yang mendampingi dan memandu. Dalam pembacaan manuskrip yang dilakukan hampir selama 5 jam tersebut, diketahui bahwa karya tulis Mbah Durrohman tak hanya banyak, tapi juga mencakup bermacam fan ilmu.
Tulisan tangan Mbah Durrohman terdiri dari banyak pembahasan. Mulai fiqih, tauhid, tasawuf, ilmu faraid, hingga ushul fiqh. Tulisan-tulisan yang menggunakan konsep Pegon Al Jawiyyah Al Merikiyyah tersebut, ada yang dijilid menjadi satu kitab, ada juga yang satu kitab berisi bermacam pembahasan.
Beberapa pembahasan kitab yang sudah terdeteksi dan sempat kami rangkum, di antaranya adalah:
Pada 1221 H atau 1806 M, Mbah Durrohman menyelesaikan penulisan tarikh fenomena sejarah. Dalam kitab ini, Mbah Durrohman mengulas tentang ensiklopedia sejarah secara umum. Ada banyak nama raja dan dinamika kejadian yang beliau tulis menjadi satu kitab.
Pada 13 Ramadhan 1236 atau 14 Juni 1821, Mbah Durrohman menyelesaikan penulisan ulang kitab Fathul Muin karya Syekh Zainuddin Al Malibari. Beliau menulis utuh-utuh kitab Fathul Muin, bukan syarah. Betapa telaten beliau, Fathul Muin ditulis utuh-utuh.
Pada 16 Jumadil Ula 1237 atau 9 Februari 1822, Mbah Durrohman menyelesaikan penulisan kitab setebal 300 halaman yang membahas bermacam fan ilmu. Kitab itu membahas masalah fiqih, tauhid, hingga ushul fiqih. Tulisan itu beliau jilid dalam satu gelondong kitab tebal utuh.
Pada 21 Rajab 1255 atau 29 September 1839, Mbah Durrohman menyelesaikan tulisan berupa pembahasan mendalam tentang Mukadimah Kitab Barzanji karya Imam Jafar bin Hasan al Barzanji. Beliau menulis manakib Barzanji dengan begitu sangat detail sekali.
Pada 1240 H atau 1825 M, Mbah Durrohman menulis tentang tarikh fenomena sejarah yang terjadi saat itu. Dalam tulisannya, beliau bercerita jika pada 1825 terjadi pagebluk di Jipang Padangan. Beliau menulis jika kala itu, sehari ada 6 ribu orang mati.
Pada 1266 H atau 1849 M, Mbah Durrohman menulis sebuah surat pada kawannya. Ini bukti bahwa beliau sangat suka bercerita dan menulis. Beliau tak hanya menulis tema-tema keilmuan besar, tapi juga menulis perihal kecil yang sedang terjadi dan beliau alami saat itu.
Pada 1270 H atau 1853 M, Mbah Durrohman menyelesaikan tulisan berupa resume (ringkasan) ilmu tauhid, ushul fiqih, hingga ilmu faroid yang dijilid dalam satu kitab setebal 300 an halaman. Di periode ini, Mbah Durrohman juga menulis sebuah kamus istilah.
Pada 1291 H atau 1875 M, Mbah Durrohman menulis catatan perjalanan haji. Ini perjalanan haji Mbah Durrohman yang ke sekian kali. Di periode ini pula, beliau menulis Manuskrip Padangan, yang membahas silsilah dan persebaran jejaring ulama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di periode masa tua, Mbah Durrohman bahkan tuntas menulis tangan Al-Quran Karim 30 Juz. Ini merupakan karya paling monumental Mbah Durrohman, selain Manuskrip Padangan dan kitab lainnya.
Belum semua karya Mbah Durrohman kami baca. Masih banyak kitab-kitab beliau yang belum tuntas kami baca. Sebab, butuh pendalaman yang lama dan tidak sederhana. Mengingat, khat dan istilah yang digunakan, tak bisa dengan mudah dipahami begitu saja. Harus di-transliterasi sesuai konteks zaman.
Tapi, dari banyaknya karya itu, kita tahu bahwa Mbah Durrohman memang bukan orang biasa. Sebab, bisa menulis dengan istiqamah, di tengah tekanan penjajah. Tak hanya istiqamah, di tiap gurat tulisan, juga menunjukan ketenangan hati yang ekstra tinggi. Ini terlihat dari goresan khat yang sangat minim typo. Benar jika beliau seorang Wali. Sosok berselimut Laa Haufun Alaihim Walahum Yahzanuun.
Selain istiqamah dalam hal ibadah, Mbah Durrohman juga sangat istiqamah dalam menulis karya ilmiah. Ini penting untuk diketahui. Agar yang diingat dari beliau tak hanya keramatnya saja. Secara tak langsung, Mbah Durrohman mengajarkan pada kita tentang kredo keramat: Al Istiqamah khairun min alfi karamah. Istiqamah lebih baik dari seribu karamah.
Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua