Tokoh SEJARAH KECIL NU

Syekh Kasyful Anwar, Kiai Karismatik Pendiri NU di Kalimantan Selatan

Senin, 3 Maret 2025 | 03:12 WIB

Syekh Kasyful Anwar, Kiai Karismatik Pendiri NU di Kalimantan Selatan

Syekh Kasyful Anwar (ulama pendiri NU dari Kalimantan Selatan)

Syekh Kasyful Anwar merupakan ulama besar dan karismatik kelahiran Kalimantan Selatan sekaligus pendiri Pondok Pesantren Darussalam. Ia lahir pada 1887 (semasa dengan tokoh NU KH Abdul Wahab Chasbullah) dan wafat pada 17 November 1940. Pemikirannya ia tuangkan dalam beberapa kitab yang memperkaya khazanah karya tulis ulama Nusantara. 


Pada beberapa tulisan yang mengungkap Syekh Kasyful Anwar, tidak ditemukan perannya yang terkait dengan pendirian NU di Kalimantan Selatan. Tulisan Erfan Maulana, misalnya, yang dimuat NU Online berjudul “Syekh Kasyful Anwar, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan”, tidak mengaitkannya dengan NU. Apalagi di Wikipedia. Mungkin juga di tulisan-tulisan lain. 


Begitu pula pada Ensiklopedia Karya Berbasis Pesantren yang diterbitkan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia (2023: 206-1010), tidak tercantum aktivitasnya terkait dengan NU. 


Padahal, berdasarkan koran-koran pada masa Hindia Belanda, ia merupakan seorang pendukung dan pendiri Nahdlatul Ulama di wilayah Kalimantan Selatan, khususnya di Martapura. Bahkan, upaya itu dilakukannya beberapa tahun setelah NU berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926. Setidaknya sejak 1930, didapatkan informasi dari koran Bintang Borneo pada sebuah artikel yang berjudul “Pergerakan Islam”: 


“Terbatja oleh kita dalam beberapa soerat kabar tentang toean H. Casjfoel Anwar jang sekarang ada di Soerabaja. Menoeroet dalam berita2 itoe, bahwa toean terseboet hendak menghoeboengkan tali silatoerrahim antara perkoempoelan Islam di martapoera dengan Nahdlatoel Oelama di Java. Poen Kabarnja di Martapoera hendak diadakan tjabangnja Nahdlatoel Oelama” (No. 108, 18 Juli 1930). 


Koran Swara Publiek bahkan lebih dulu memberitakan kehadirannya ke Surabaya pada berita berjudul “Nahdlatoel Oelama”. Dari judul dan isi berita yang sedemikian singkat, tersurat tentang upaya mendirikan NU di Kalimantan dengan ungkapan utusan Nahdlatul Ulama Cabang Martapura berikut ini:  


“Oetoesan Nahdlatoel Oelama tjabang Martapoera (Borneo) toean Kijai Kasfoelanwar dan Kamar telah dateng ditanah Djawa oentoek mengoeroes keperloean Agama Islam” (No. 144, 3 Juli 1930). 


Bintang Borneo tidak mengaitkan Syekh Kasyful Anwar dengan cabang Nahdlatul Ulama Martapura. Koran itu hanya menyebutkan “hendak menghoeboengkan tali silatoerrahim antara perkoempoelan Islam di martapoera dengan Nahdlatoel Oelama di Java.” Namun, di bagian akhir berita itu, kita mendapatkan informasi bahwa “di Martapoera hendak diadakan tjabangnja Nahdlatoel Oelama.”


Namun, Swara Publiek menyebutkan sebagai utusan Nahdlatul Ulama Martapura. Dengan ungkapan demikian, sangat memungkinkan Syekh Kasyful Anwar sepertinya benar-benar sudah mendirikan NU di Martapura. 


Lalu, apakah ia kemudian benar-benar mendirikan NU di Martapura? Terkait hal ini bisa dibaca dalam Bintang Borneo yang memuat selintas tentang profilnya pada artikel berjudul “Pilihan Mufti Martapoera”. Di satu anak judul tulisan itu tertulis “t. Hadji Kasjfoel Anwar”: 


“Siapa tidak kenal dengan ini oelama djaman kolot, tetapi boeat orang Martapoera beliau ini masih dianggapnja sebagai satoe “peneboes” dalam kedosaan. Beliau ini ada salah satoenja djagan jang toeroet memboeat aksi dalam perkoempoelan Nahdlatoel Oelama dan djoega ada salah satoenja dari orang mengepalai toeroet tidaknja pada mufti jang ada sekarang ini, dengan alasan mufti sekarang tak berilmoe, masih moeda dan lain2 alasan jang kita tidak soeka kemoekakan disini” (No. 66, 11 Mei 1931).  


Pada berita tersebut, Bintang Borneo tidak lagi menyebutkan hendak berdiri, tapi menyuratkan sudah benar-benar sebagai bagian dari NU. Mungkin, Muktamar Ke-11 NU pada 1936 yang berlangsung di Banjarmasin salah satunya adalah lantaran faktor keberadaan Syekh Kasyful Anwar.

 
Satu Guru, Satu Ilmu, Satu Tradisi
Apakah setelah mendirikan NU Syekh Kasyful Anwar berdiam diri, berpangku tangan, dan berfokus di majelis taklim di kampung halamannya? Ternyata tidak. Ia beberapa kali hadir di Muktamar NU yang berlangsung di Jawa, di antaranya pada muktamar ke-13 di Menes (Pandeglang), Banten pada 1938. 


Kemudian timbul pertanyaan, apa dan bagaimana seorang ulama dari Kalimantan Selatan mau menghubungkan dan mengaktifkan diri dengan NU?


Jawaban untuk pertanyaan ini sepertinya mengacu kepada jejaring sanad ulama Nusantara. Jika kita periksa riwayat hidupnya, ia sejak usia 9 tahun menimba ilmu agama di Makkah. 


Menurut Ensiklopedia Karya Berbasis Pesantren (hlm. 207), Syekh Kasyful Anwar berguru kepada Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar Syatha, anak dari pengarang kitab I’anah Al Thalibin; Habib Ahmad bin Hasan al-Attas penulis kitab Tadzkirunnas; Syekh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki yang bergelar Sibawaihi yang sangat alim dan memiliki pelbagai keahlian bidang ilmu; dan Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi.


Kemudian, ia berguru lagi kepada Syekh Umar Ba Junaid, Mufti Syafi’iyah; Syekh Sa’id bin Muhammad al-Yamani; Syekh Muhammad Saleh bin Muhammad Ba Fadhal; Syekh Muhammad Ahyad al-Bughuri; dan Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi. 


Beberapa guru Syekh Kasyful Anwar juga merupakan guru dari tokoh-tokoh NU. Syekh Sa’id al-Yamani, misalnya, seperti dicatat Imam Aziz dkk. dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren (2014), merupakan guru dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah.


Bahkan Syekh Kasyful Anwar pernah berguru kepada Syekh Umar Hamdan. Berdasarkan keterangan dari Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (jilid 2, hlm. 82), Syekh Umar Hamdan pernah berguru kepada KH Hasyim Asy’ari semasa mengajar di Makkah. 


Dengan demikian, Syekh Kasyful Anwar terhubung setidaknya melalui guru dari dua pendiri NU, yaitu Syekh Sa’id al-Yamani, serta pernah berguru kepada murid pendiri NU, yaitu Syekh Umar Hamdan. 


Jejaring guru tersebut, dalam khazanah pesantren, dikenal sebagai sanad—garis keilmuan yang menghubungkan seorang murid dengan sesama murid lain atau seorang guru dengan guru lain. Faktor sanad ini sangat kuat dalam tradisi pesantren karena hubungan guru-murid atau sama-sama belajar kepada seorang guru menumbuhkan sebentuk solidaritas. 


Tak heran, setelah KH Hasyim Asy’ari mendirikan NU di Jawa, Syekh Kasyful Anwar di Borneo membantunya dengan membentuk cabang NU di Martapura. Dengan mendukung NU di Kalimantan, secara langsung ia mendukung perjuangan guru dari gurunya. 


Sementara kesamaan tradisi dengan NU bisa ditelisik melalui salah satu karya Syekh Kasyful Anwar, Risalah Fi Tauhid. Kitab yang, berdasarkan Ensiklopedia Karya Berbasis Pesantren (hlm. 208), secara garis besar menjelaskan lima pokok bahasan, yaitu wajib taqlid kepada salah satu dari empat imam mazhab, karamah para wali itu ada, ziarah kubur itu dianjurkan, doa dan bacaan bermanfaat bagi mayit, serta ber-tawassul kepada nabi dan wali adalah boleh.

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.