Tokoh SUFI NUSANTARA

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Ajarannya 

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:57 WIB

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Ajarannya 

Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Foto Risalahnu.com)

Namanya Syekh Abdul Muhyi “Pamijahan”, dikenal di kalangan Tarekat Syathariyah di Jawa, generasi setelah Walisanga. Menurut buku Intelektualisme Pesantren (2003: 167) beliau disebutkan lahir di Mataram, Lombok, pada tahun 1650 M/1071 M. Penyebutan Lombok ini adalah tidak tepat, sebab maksud Mataram saat kelahiran Syekh Abdul Muhyi itu adalah Mataram Islam di Jawa Tengah yang wilayahnya sampai ke Sumedang. Penamaan “Pamjiahan”, menurut sebagian kajian soal ini adalah nama lain dari kampung yang dulu ditinggali Syekh Abdul Muhyi, yaitu Safar Wadi di Sukapura.


Tahun kelahiran Syekh Abdul Muhyi itu menunjuk pada masa Raja Mataram dipegang oleh Amangkurat I (memerintah 1646-1677) yang penuh gejolak pemberontakan Trunajaya, sampai Sang Raja harus menyingkir ke Tegalwangi. Dan, Syekh Abdul Muhyi dicatat oleh banyak kajian, wafat tahun 1730 M/1151 H, pada masa Raja Mataram diperintah oleh Pakubuwono II (1726-1742), yang juga dipenuhi banyak gejolak segitaga: Kumpeni, Kraton, dan Perlawanan Mas Garendi/Sunan Kuning.


Tarekat Syekh Abdul Muhyi telah dikaji oleh banyak sarjana, di antaranya: Tomy Christomy (2008); Oman Fathurahman (2016); dan Didin Nurul Rosidin (2019), yang menjelaskan silsilah tarekat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dari Syekh Abdurra’uf as-Sinkli. Dengan silsilah as-Singkili, Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai pembawa Tarekat Syathariyah yang silsilahnya tidak menggunakan sanad Walisanga, tetapi langsung kepada Syekh Abdurra’uf as-Singkili, dan ke atas sampai kepada Syekh Abdullah Syathari: Abdul Muhyi, dari Abdurrauf as-Singkili, dari Ahmad al-Qusysasyi, dan sampai ke atas kepada Syekh Abdullah Syathari dan kepada Nabi Muhammad SAW. 


Ayahnya disebut dengan nama Lebe Warta (Wartakusumah), termasuk keturunan dari Bangsawan Raja Galuh-Pajajaran. Sedangkan Ibu Syekh Abdul Muhyi, disebut sukapura.or.id., ketika menjelaskan “Keluarga Besar Sukapura”, bernama Nyai Syarifah Tanjiah (Nyai Rd. Adjeng Tanganziah), yang menikah dengan Lebe Wartakusumah memiliki anak bernama Abdul Muhyi dan 5 saudaranya: Nyai Abdul Arip bin Lebe Warta, Kyai Abdul Rosyid bin Lebe Warta, Nyai Kuadrat (Nyai Hatib Muwahhid) bin Lebe Warta, Kyai Abdul Khalik bin Lebe Warta, dan Kyai Andul kahar bin Lebe Warta.


Tarekat Syathariyah 
Setelah belajar kepada ayah dan ibunya, Syekh Abdul Muhyi besar di wilayah Ampel (mungkin di Tasikmalaya, atau wilayah Sukapura). Setelah agak besar beliau berkelana sampai ke Aceh, Baghdad, hingga ke Makkah. Di Aceh mengambil baiat Tarekat Syathariyah dari Syekh Abdurrauf as-Singkili, yang kemudian secara formal disebarkan ke masyarakat. Di Baghdad berziarah kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan kemungkinan besar juga mengambil baiat Tarekat Qadiriyah, karena beliau juga dikenal mengambil Tarekat Qadiriyah, tetapi tidak disebarkan secara umum sebagaimana Syathariyah. 


Bahkan dalam sebagian cerita Rakyat, Syekh Abdul Qadir ini sering mendatangi Syekh Abdul Muhyi dalam tirakat-tirakatnya, termasuk mengajarkan Qa’idah Baghdadiyah, cara membaca Al-Qur’an lama di Jawa. 


Cerita Qa’idah Baghdadiyah ini, pernah kami dengarkan dalam FGD tentang metode pengajaran Al-Quran yang diadakan Kemenag di Bumi Serpong. Dan, cerita ini adalah simbol untuk menggambarkan keterkaitan Syekh Abdul Muhyi dengan Syekh Abdul Qadir. Dalam Serat Centini, anaknya yang bernama Sayyid Faqih Ibrahim, juga disebut mengajarkan wirid cara Naqsyabandiyah (dan juga Qadiriyah), yang kemungkinan besar juga dari ayahnya.


Di Makkah Syekh Abdul Muhyi muda bertemu dengan banyak guru dan sahabat, seperti Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, dan lain-lain. Syekh Ahmad al-Qusyasyi ini disebut banyak kajian wafat tahun 1661 M/1071 H, maka dapat diperkirakan Syekh Abdul Muhyi muda menimba ilmu sebelum tahun itu. Sementara penjelasan masa studi Syekh Abdul Muhyi yang disebut sebagian sarjana berlangsung antara 1669-1675 M, perlu dikoreksi ulang karena tahun 1661 Syekh Ahmad al-Qusyasyi itu sudah wafat. Masa studi Syekh Abdul Muhyi harusnya disebut sebelum masa wafatnya Syekh Ahmad al-Qusyasyi, bila ia disebutkan pernah bertemu dan menjadi murid beliau.


Masa hidup Syekh Abdul Muhyi di Jawa sama dengan masa Syekh Ahmad Mutammakin Pati yang disebut Serat Cebolek, dan hidup 1645-1740 M: lahirnya lebih dulu Syekh Ahmad Mutammakkin (1645), dan meninggalnya (1740) juga lebih dulu 10 tahun. Syekh Ahmad Mutammakkin juga dikenal berafiliasi dengan berbagai tarekat, seperti Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Syathariyah, dan Qadiriyah. Demikian pula, Syekh Abdul Muhyi, sebagaimana guru-guru zaman itu, yang kuat tirakatnya juga tidak hanya memiliki satu tarekat.


Ketika pulang dari Makkah Syekh Abdul Muhyi tinggal di Ampel, kemudian berdakwah di Darma Kuningan (1678-1685), melanjutkan di Pameungeuk, Garut, sampai ke Batu Wangi selama 4 tahun (1686-1690), dilanjutkan memilih dan menetap di Gua Sapar, yang masuk wilayah Sukapura. Setelah lama menjadikan Gua Sapar sebagai tempat mendidik para santri pilihan, Syekh Abdul Muhyi melanjutkan ke Kampung Bojong, 6 km dari gua. Setelah itu pindah lagi untuk mendirikan perkampungan Safar Wadi, 2 km dari Bojong dan berkhidmah di sini sambal sesekali ke Gua Sapar. Safar Wadi inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pamijahan”, tempat lahirnya para kader yang akan menahkodai sebagian masyarakat Jawa.


Dari berbagai perjalanan ini, Syekh Abdul Muhyi mendidik para murid dan mengajarkan tarekat, selain memiliki 4 orang istri. Menurut kajian Didin Nurul Rosidin (2019: 126) Syekh Abdul Muhyi memiliki 4 istri: Nyi Mas Ayu Bakta, Nyi Mas Ayu Fatimah, Nyi Mas Ayu Salamah dan Nyi Mas Ayu Winangun. 


Dari 4 istri ini: (1) dari istri pertama (Nyi Mas Ayu Bakta), dikarunia 4 anak, yaitu Syekh Muhyiddin, Syekh Abdullah, Syekh Faqih Ibrahim, dan Media Kusuma; (2) dari istri kedua memiliki 5 anak yaitu: Syekh Nadzar, Syekh Atam, Raden Usim, Raden Aruna, dan Raden Haisah; (3) dari istri ketiga (Nyi Mas Ayu Salamah), dikaruniai 3 anak yaitu Kiai Bagus Muhammad, Ratu Siti, dan Ratu Ajeng; (4) dari istri keempat (Nyi Mas Ayu Winangun), dikaruniai 5 anak, yaitu Ratu Candra, Ratu Jabaniyyah, Ratu Aeng Nidor, Raden Bagus Atim, dan Raden Ali Akbar. 


Tarekat Syekh Abdul Muhyi dari Syekh Abdurrauf as-Singkili, di Jawa diteruskan melalui anak-anak dan murid-muridnya. Tomy Christomy (2008: 103) menyebut 3 orang yang meneruskan tarekatnya, yaitu Dalem Mas Bojong, Syekh Abdullah, dan Syekh Mas Faqih Ibrahim, tetapi mungkin jumlahnya sebenarnya, lebih dari 3 itu. Sayyid Faqih Ibrahim yang disebut itu, dalam sejarah di Sumedang disebut dengan Sunan Cipager dan menjadi menantu dari Arya Kikis (Penguasa Talaga-Majalengka). Tomy Christomy (2008: 103) menyebutkan Sayyid Faqih Ibrahim mengajar di lingkungan Kraton Kartasura, dan muridnya di Kartasura ini disebut namanya adalah Syekh Abdurrahman Kartasura. 


Persebarsan murid-murid Syathariyah Syekh Abdul Muhyi dalam berbagai kajian para sarjana disebut tersebar di Jawa bagian barat (meliputi Batavia, Banten, Cirebon, dan wilayah-wilayah lainnya) dan Jawa bagian tengah (meliputi Batang, Bagelen, Kraton Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Magetan). Berdasarkan data-data ini, di lingkungan Kraton Yogyakarta dan Sukarta, juga memiliki murid-murid Syathariyah Syekh Abdul Muhyi.


Lagi-lagi, perlu ditegaskan bahwa di antara perkembangan generasi Tarekat Syatahriyah Jawa, Syekh Abdul Muhyi adalah generasi kedua setelah Walisanga yang memiliki sanad Syathariyah sendiri. Dan generasi ketiga, Tarekat Syathariyah setelah Syekh Abdul Muhyi, di antaranya dibawa oleh Syekh Asy’ari Kaliwungu, yang juga memiliki sanad sendiri: menerima langsung dari Syekh Muhammad As`ad dari Syekh Thahir Madani (terus ke atas sampai kepada Syekh Abdullah Syathari), juga tersebar di sebagian wilayah Jawa, di antaranya ke Cirebon dan Yogyakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Di Yogyakarta Tarekat Syathariyah Syekh Asy`ari ditransmisi melalui Syekh Abdurra’uf Wonokromo sampai kepada Mbah Marzuki Giriloyo dan beberapa guru lain.


Martabat Tujuh 
Dalam tradisi ma’rifat Syatahriyah Syekh Abdul Muhyi, selain diajarkan penekunan untuk menapaki jenjang perjalanan al-abrar, al-ahyar, dan kemudian asy-syathar, juga dikenal dengan pengajaran martabat, yang di dalam khazanah karya Syekh Abdul Muhyi disebut martabat kang pitutu. Tujuh martabat ini diformalisasi awalnya oleh Mahaguru Syatahriyah di Burhanpuri India, bernama Muhammad Fahdlullah al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfatur Risalaah ilaa Ruuhin Nabii.


Fungsi mengenali martabat itu dalam dunia tarekat adalah untuk muraqabah mengenal level-level tajalli Al-Haqq: ajsaam, khayyal, arwaah, waahidiyah, wahdah, Ahadiyah, dan insan kamil. Ketika mencapai kesadaran insan kamil, maka yang dialami adalah seluruh apa yang pernah dialami sebelumnya dalam penyaksian batin, dialami semuanya dengan berpindah-pindah penyaksian tanpa lagi merasa berat sebagaimana awal perjalanan menaiki tangga-tangga spiritual dalam penyaksian beragam ma’rifat. 


Dengan mengenal 7 martabat di dalam tajalli Al-Haqq, menghendaki untuk mengenal jenis-jenis audisi batin yang datang atau yang menguasai diri sang pelaku, yang akhirnya berakhir pada ilmu hakikat: semua atas Kehendak Allah, dan Allah yang memperjalankan segalanya, menghendaki, membagi, dan lain-lain, yang ini semua akan sukar diterima dalam tahap para ahli jadal.


Masalah muraqabah atas tajalli al-Haqq ini selalu dipertegas di kalangan tarekat, karena untuk memperoleh iman yang kuat dalam pendakian dan penurunan perjalanan badani-ruhani, pada limitnya akan berakhir pada manunggaling karsa dengan Karsane Allah: bukan hanya manunggal dengan Srengat Kanjeng Nabi Muhammad dalam hal lahir, tetapi manunggal dengan karsa melalui titah batin, dan kehendak Af`aal Allah, sementara setiap detik ia menerima audisi-audisi batin, yang dimensinya berubah-ubah, kadang tetap, kadang menurun, dan begitu seterusnya. Bila belum sampai pada tahap demikian, muraqabah mengenal martabat berfungsi mengokohkan kesadaran akan “Kekuasaan Allah”, “Allah meliputi segalanya”, “Innahu Waliyyul muminiin”, dan beriman kepada-Nya, sesuai dengan apa yang ada dalam nilai-nilai Al-Qur’an, yang menyangganya falam kehidupan ini, tidaklah mudah.


Dan, dalam segala perjuangan dan warisan khazanah keilmuan, Syekh Abdul Muhyi untuk konteks di Jawa, menjadi mata rantai yang sering dilihat murid-murid dalam penglihatan batin mereka, untuk semakin mencintai Allah dan Nabi Muhammad. Dalam hal itu, Syekh Abdul Muhyi mentransmisikan dan mendidik murid-murid rohani tarekat agar memiliki kekuatan batin bahwa “Kekuatan itu hanya dari-Nya”, dan khidmah yang ikhlas di tengah-tengah ummah adalah koenci. Manifestasinya: secara fisik bersetubuh dengan karya-karya fisik dalam segala profesi yang halal, dan secara batin menyambung dengan dunia batin yang telah dibuka oleh Allah, sehingga mengalami audisi-audisi batin yang mensyaratkan kekuatan tertentu. Dalam hal ungkapan-ungkapan, Syekh Abdul Muhyi sebagian menggunakan bahasa lokal, sebagaimana dalam karyanya Martabat kang Pitutu, tetapi juga dengan banyak bahasa Arab seperti dalam Bayaan al-Qahhaar. 


Dalam hal inilah, “Perahu Syekh Abdul Muhyi” telah menakhodai “sebagian” masyarakat Jawa di kalangan para ahli tarekat dan yang mengenal audisi-audisi batin demikian, karena Syekh Abdul Muhyi juga harus berbagi dengan “Perahu Syekh Ibrahim Brumbung”, dan beberapa syekh lain yang menjadi kutubnya berbagai tarekat di Jawa. Wallaahu A’lam. 


Nur Khalik Ridwan, berafiliasi dengan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah, dan Tarekat Syathariyah, menjadi Syuriyah Ranting Sitimulyo dan Lurah NDiko Publishing.