Tokoh SEJARAH KECIL NU

Muhammad Shadiq alias Sugeng Yudhodiwiryo: Penyusun, Pengatur, dan Pembangun NU di Masa Awal

Ahad, 2 Maret 2025 | 03:15 WIB

Muhammad Shadiq alias Sugeng Yudhodiwiryo: Penyusun, Pengatur, dan Pembangun NU di Masa Awal

Logo Nahdlatul Ulama (Foto: Aceng Darta/NU Online)

Pada awal abad ke-20, dunia Islam mengalami perubahan besar. Dua di antaranya adalah runtuhnya Turki Utsmani dan berdirinya Kerajaan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Ibnu Saud. 


Ibnu Saud yang didukung paham Wahabi berupaya menghapus tradisi keagamaan yang telah berkembang di Makkah dan Madinah, termasuk praktik mazhab-mazhab yang dianut umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ulama di Hindia Belanda, terutama dalam menjaga eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah di Tanah Suci.


Raja Arab Saudi itu kemudian menyampaikan undangan kepada seluruh pemimpin dunia Islam untuk menghadiri Muktamar Alam lslamy di Makkah pada 1 Juni 1926. Menurut Heru Sukadri dalam Kiai Haji Hasyim Asy’ari: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1985: 73), muktamar tersebut digelar guna mencari kata sepakat dari seluruh dunia Islam tentang Tanah Hijaz.


Di Hindia Belanda, undangan Ibnu Saud disambut Centraal Comite Chilafat (CCC) dengan rencana menggelar Kongres Islam di Yogyakarta pada Agustus 1925 bersamaan dengan kongres Sarekat Islam (SI). Setelah kongres Yogyakarta, datang kembali undangan dari Ibnu Saud untuk menghadiri Muktamar Alam Islamy. CCC memutuskan untuk membahas undangan itu pada Kongres Al-Islam ke-5 di Bandung pada Februari 1926. 


Sebagaimana kongres di Yogyakarta, salah seorang tokoh Ahlussunah wal Jamaah, KH Abdul Wahab Chasbullah, meminta agar delegasi mendesak Ibnu Saud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Namun, seperti sebelumnya, usulannya tidak mendapat tanggapan CCC. 


Secara kebetulan, Kiai Wahab tidak bisa hadir ke Bandung karena ayahnya sakit keras. Dia lalu mengirimkan surat kepada panitia kongres yang isinya serupa, yaitu mendesak Ibnu Saud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Nasib usulan itu, sebagaimana dicatat Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010: 57), juga sama: Kongres tidak menggubrisnya. 


Kongres kemudian menetapkan H.O.S. Cokroaminoto (SI), KH Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Haji Sujak (Muhammadiyah) sebagai utusan Hindia Belanda ke Muktamar Alam Islamy.


Karena itulah, para ulama pesantren yang dipimpin Kiai Wahab mencari jalan sendiri. Bersama kiai-kiai Ahlussunah wal Jamaah, ia membentuk Komite Merembuk Hijaz (lebih dikenal dengan nama Komite Hijaz) setelah mendapatkan izin dari KH Hasyim Asy’ari.  Menurut M. Mukhsin Jamil dkk. dalam Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan NU (2007: 208) yang mengutip KH Saifuddin Zuhri dari Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), susunan kepengurusan komite itu sebagai berikut: 


Penasihat    : KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Masyhuri Lasem, KH Chalil Lasem
Ketua         : Hasan Gipo 
Wakil Ketua    : Saleh Syamil
Sekretaris    : Moh. Shodiq
Pembantu    : KH Abdul Chalim


Nama Muhammad Shadiq tercantum pula pada kepengurusan NU di awal berdiri sebagaimana dicatat dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010: 75-77).


Dengan demikian, Muhammad Shadiq berperan sejak masa awal para kiai pesantren mendirikan organisasi dengan posisi sekretaris di Komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama. Ia pula salah seorang yang mengupayakan NU resmi menjadi organisasi yang sah di mata hukum ketatanegaraan Hindia Belanda pada Februari 1930. 


Bisa dikatakan, Muhammad Shadiq berperan sebagaimana KH Saifuddin Zuhri, KH M. Dachlan, Aminuddin Aziz, dan lain-lain pada tahun-tahun kemudian, yakni sebagai Sekretaris Jenderal PBNU. Hanya, pada zamannya tidak menggunakan ‘jenderal’, melainkan ‘sekretaris’ saja, namun fungsinya sama. 


Dalam posisi sebagai sekretaris, Muhammad Shadiq bertugas menyusun dan mengelola administrasi, mencatat dan menyusun notulen rapat, dan menyimpan dokumen-dokumen penting seperti surat menyurat atau peraturan organisasi. Ia juga mengelola arsip dan dokumentasi, menjalin komunikasi dengan anggota dan pihak eksternal, serta bertanggung jawab atas korespondensi resmi organisasi.


Ia juga berperan dalam hubungan dengan tokoh pergerakan atau pemerintah kolonial, selain mewakili organisasi dalam berbagai pertemuan atau negosiasi. Di samping itu, Muhammad Shadiq bertanggung jawab membuat laporan berkala tentang perkembangan organisasi, menyusun pernyataan atau propaganda, dan mengelola penerbitan buletin atau majalah.


Seorang sekretaris organisasi pada masa itu tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga memiliki peran strategis dalam menjaga eksistensi dan keberlanjutan organisasi, terutama dalam konteks pergerakan nasional.


NU Kehilangan Tenaga yang Amat Penting

Siapakah sebenarnya Muhammad Shadiq? 


Heru Sukadri menyebutkan bahwa NU saat awal berdiri dibantu seorang penulis (sekretaris) bernama Muhammad Sidiq atau Sugeng Yudodiwiryo dari Pemalang, sementara Choirul Anam hanya menyebut “Sugeng” dalam tanda kurung setelah menulis  Moh. Shadiq. Sepertinya, Muhammad Sidiq dan Moh. Shadiq yang masing-masing disebutkan dalam dua buku itu mengacu kepada orang yang sama, yaitu Muhammad Shadiq. Nama lainnya memang Sugeng Yudhodiwiryo. 


Apa peran Muhammad Shadiq alias Sugeng Yudhodiwiryo ini? 


Heru Sukadri menulis demikian: 


"Setelah konsep syuriyah-tanfiddziyah selesai dan susunan pengurus terbentuk, tugas penyusunan konsep anggaran dasarnya diserahkan kepada Muhammad Sidiq. Setelah dia menyelesaikan tugasnya, giliran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menyusun Qanun Asasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama" (hlm. 78).


Sedemikian singkat ia ditulis dalam sejarah NU. Tak banyak informasi tentang sosoknya. Sedikit keterangan lain tentang Muhammad Shadiq termaktub dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 24 edisi 15 Oktober 1936 tahun ke-5 (hlm. 3). Media ini menyampaikan tentang perannya dalam obituari setelah ia meninggal dunia pada Kamis malam, 10 Jumadil Akhir 1355 H. 


BNO menyebut Muhammad Shadiq sebagai “penyusun, pengatur, dan pembangun NU” seraya mengajak Nahdliyin untuk mengirim doa dan shalat gaib untuknya. Pada obituari itu disebutkan, NU kehilangan tenaga yang amat penting. 


“Kehilangan seorang organisator yang cakap, pembawa semangat yang berkobar-kobar. Namanya terukir di dalam hati kaum NU karena namanya tak dapat diceraikan dari NU. Dengan itu kita serukan pada Cabang, Centraal Kring, dan Kring NU menyembahyangkan gaib dan tahlil.”
 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.