Warta

Delik Agama Dalam RUU KUHP Belum Terukur

Selasa, 13 Desember 2005 | 11:49 WIB

Surabaya, NU Online
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menilai, delik agama di dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum terukur.

"Kalau tidak terukur akan sangat bergantung interpretasi aparat penegak hukum yang sangat mungkin akan subyektif," kata Ketua PWNU Jatim KH Drs Ali Maschan Moesa MSi, dalam sebuah seminar di Surabaya, Selasa.

<>

Ia mengemukakan hal itu saat berbicara dalam seminar bertajuk "Kriminalisasi Atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama" dengan pembicara lain pengamat politik Unair Dr Daniel Sparringa, dosen FH Unair Surabaya Dr Sarwirini, dan tokoh agama Kristen Romo Benny Susetyo.

Ali Maschan di hadapan peserta seminar yang dibuka Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara itu, menjelaskan, delik pidana dalam bentuk merusak tempat ibadah merupakan hal yang terukur, namun jika menghasut itu tidak terukur.

"Pasal pidana tentang penghasutan juga disebutkan delik itu dilakukan di depan umum, namun tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan di depan umum, melainkan dalam pasal penjelasan hanya ditulis ’cukup jelas’ meski tidak jelas," paparnya.

Menurut dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, ukuran yang tidak jelas itu akan menimbulkan interpretasi subyektif dari para penegak hukum, kemudian sangat tidak mustahil akan memancing intervensi negara dalam memberi tafsir.

"RUU KUHP yang berkaitan dengan delik agama itu sendiri, terkesan mengambil model simbiotik yang merupakan akibat dari upaya negara untuk melakukan akomodasi segala bentuk tindak pelecehan agama dalam rumusan hukum," ucapnya.

Namun, menurut kandidat doktor bidang Ilmu Sosial di Unair Surabaya itu, akomodasi atau model simbiotik yang ditempuh akan memancing masuknya intervensi negara dalam urusan agama, sehingga negara akan dapat "memperalat" agama, karena delik agama harus terukur.

Pandangan senada juga dikemukakan pakar politik Unair Daniel Sparringa yang menyatakan, delik agama dalam RUU KUHP seharusnya tidak bersifat multi interpretatif, karena itu istilah menghasut harus dihindari.

Menurut dosen Fisip Unair Surabaya itu, delik agama memang harus terukur seperti kasus pidana pada umumnya yakni merusak, menghalangi orang beribadah, menyembelih bayi untuk kepentingan ibadah, dan tindak kejahatan lainnya yang serupa.
 
"Kalau menghasut itu sangat interpretatif, karena itu harus dihindari. Kalau orang menyatakan Tuhan itu ada 17, maka hal itu tak boleh disentuh negara atau hukum, karena hal itu menjadi wilayah agama, sebab jika negara menghakimi akan menyebabkan kriminalisasi delik agama. Jadi, delik agama memang harus merupakan pidana yang terukur," katanya.

Namun, dosen FH Unair Surabaya Dr Sarwirini memiliki pandangan agak berbeda. "RUU KUHP bukan kriminalisasi delik agama, melainkan perluasan delik agama, sebab delik agama itu sudah ada sejak 1965 yang merupakan usulan Prof Umar Senoadji pada 1963," ungkapnya.

Masalahnya, delik agama memang sulit dalam pembuktian, karena itu delik agama sebaiknya diselesaikan di tingkat kepolisian melalui musyawarah yang melibatkan tokoh agama. "Jika diselesaikan sampai ke pengadilan akan sangat lama dan justru luka yang ada akan semakin dalam, sehingga akar masalah akan semakin sulit ditemukan," ucapnya.