Warta Meski Idul Fithri Diperkirakan Sama

NU Tetap Tunggu "Rukyatul Hilal"

Jumat, 28 Oktober 2005 | 09:43 WIB

Jakarta, NU Online
Meskipun secara hisab kepastian hari raya Idul Fithri sudah bisa dipastikan, namun NU baru akan memutuskan kapan jatuhnya 1 Syawal setelah mengadakan Rukyatul hilal.

"Secara hisab memang 1 Syawal jatuh pada 3 Nopember, dan berdasarkan perhitungan itu, Insya Allah tidak ada perbedaan soal penetapan Idul Fithri, namun sikap NU tetap menunggu rukyatul hilal yang di gelar oleh cabang Falakiyah di seluruh Indonesia," ungkap Ketua Lembaga Falakiyah NU, KH.Gojali Masruri kepada NU Online, Jum'at (29/10).

<>

Memang, lanjutnya berdasarkan hitungan hisab ijtima terjadi pada hari Rabu, 2 Nopember jam 8.16, 49 detik dan matahari terbenam ketika tinggi hilal berada pada 0,3 derajat 18 menit 29 detik, letak matahari terbenam di sebelah selatan titik barat pada 14 derajat, 57 menit, 55 detik, sedangkan kedudukan hilal sebelah selatan matahari pada, 0,3 derajat, 39 menit, 28 detik. Sedangkan keadaan hilal posisinya miring ke selatan dan lama hilal di atas wukuf 15 menit, 38 detik.

"Meskipun sudah ada perhitungan seperti itu, kedudukan hisab bukan sebagai penentu awal Idul Fithri. Hisab hanyalah sebagai pendukung rukyah, dengan lain perkataan hisab sebagai karya ilmiah itu perlu dikontrol tingkat akurasinya dengan observasi di lapangan  yang dalam bahasa Nahdlatul 'Ulama disebut dengan rukyatul hilal," kata kyai lulusan Krapyak ini.

Jadi, kalau rukyah berhasil, berdasarkan perhitungan hisab tersebut, Kamis sudah masuk Idul Fithri, kalau rukyah gagal karena mendung, kabut, dan sebab lainnya maka hitungan bulan digenapkan atau istikmal, jadi Idul Fithri jatuh pada hari Jum'at. "Namun, meski hisabnya sudah ada, tetapi itu tidak digunakan, karena NU dalam menetapkan 1 Syawal tetap menunggu rukyah," tandasnya.

Ia menjelaskan Rasululah sendiri tidak pernah meramal jauh-jauh hari, tapi kalau sekadar ramalan jangankan besok, 10 tahun yang akan datang kapan hari raya juga bisa. Dalam konteks ini NU mempunyai azaz di dalam mengamalkan agama itu selalu mendahulukan  azaz  ta'abud (ketundukan, ketaatan dan penghambaan) artinya taat, lalu barulah ta'aqul (rasionalisasi) penggunaan rasio, rasio tidak boleh didahulukan, kalau Mu'tazilah kan rasio dulu. setelah itu baru kalau akalnya menerima barulah dia menyerahkan pilihan keputusan. "kalau NU tidak, kita ta'ati dulu ajaran alqur'an dan sunnah untuk menyempurnakannya itu barulah akal kita mendasarkan pada akal supaya lebih sempurna ibadahnya," tegasnya.

Sedangkan ketika ditanyakan mengenai patokan dasar yang dapat dijadikan pijakan apakah NU sudah menetapkan, ia menjawab NU mendasarkan pada rukyatul bil fi'li sesuai dengan tuntutan rasullulah, yang menjelaskan tidak kurang  ada 23 hadist yang menyuruh berpuasa ataupun berhari raya dengan terlebih dahulu melihat rukyatul hilal.

Lebih jauh ia mengatakan, sesuai dengan paham yang diyakini NU bahwa melakukan rukyah itu suatu kewajiban ibadah. "Jadi itu fardu kifayah, orang melihat bulan lalu berpuasa, kalau kewajiban berpuasa atau berhari raya menjadi keputusan pemerintah maka, harus berdasarkan pada rukyah," katanya. Dan kalau pemerintah memutuskan tidak berdasarkan pada rukyah NU pasti menolak dengan cara membuat siaran sendiri kepada seluruh wilayah dan cabang-cabangnya diseluruh Indonesia.

Dan hal itu, katanya pernah terjadi pada tahun 1984 dan tahun 1993, ketika itu NU berbeda dalam penentuan 1 Syawal dengan organisasai lain dan terjadi perbenturan yang sangat keras di tingkatan grass root karena pada saat itu kental nuansa politisnya, setalah NU kembali ke khittah. "NU berharap 1 Syawal bisa bersama, tetapi jika terjadi perbedaan harus disikapi secara wajar dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah," paparnya.
 
Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Humas Departemen  Agama menyebutkan, Sidang Itsbath penetapan 1 Syawal akan  dilakukan pada Rabu (2 Nopember) mulai jam 17.30 WIB, yang akan dihadiri MUI dan seluruh Ormas Islam.Seperti tahun-tahun sebelumnya, Sidang Istinbath akan didahului dengan "rukyatul hilal" (melihat bulan baru) yang dilakukan di 323 Pengadilan Agama dan 25 Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia. (Cih)

 


Â