Rektor Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, Abdul Jamil, mengisyaratkan menolak dicalonkan menjadi ketua tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Ia mengakui, masih banyak kader NU lainnya yang lebih layak dari pada dirinya.
“Mengapa harus saya? Kan, ada yang lebih senior,” ungkap Jamil usai menjadi narasumber pada sarasehan bertajuk Kerukunan Intern Umat Beragama Islam di Aula Kantor Departemen Agama Kabupaten Brebes, Jateng, Selasa (8/7) lalu. Demikian dilaporkan Kontributor NU Online, Wasdiun.<>
Ia mengaku masih harus berkonsentrasi mengurus pendidikan, terutama di kampus yang dipimpinnya. Selain itu juga sebagai pengurus Badan Pengelola Masjid Agung Jateng (MAJT). “Kegiatan saya sudah padat. Siang di kampus, sore di MAJT,” ucapnya ringan.
Namun, ia mengatakan sangat mendukung upaya pergantian kepemimpinan di PWNU Jateng. Sebab, hal itu dapat dijadikan sarana untuk “menyegarkan” kembali semangat keorganisasian dalam melayani umat.
Jamil mengaku bangga dan menghargai penuh dinamika demokratisasi di tubuh NU Jateng. Hal itu telah terbangun suasana baru. Semua pihak memiliki tanggung jawab bersama untuk menata kembali kehidupan sosial NU. Jalan yang ditempuh, yakni dengan optimalisasi substansi nilai Khittah NU 1926.
“Yang penting jangan sampai NU ‘terbius’ tarikan formal dalam bingkai politik praktis. Sebab, imbasnya masyarakat tidak lagi simpatik pada NU,” ujar Jamil.
Kebesaran NU ini, katanya, pada kenyataannya tidak bisa melarang individu warganya dalam berpolitik. Maka, Konferensi Wilayah NU Jateng di Pondok Pesantren Al-Hikmah, Brebes, pada 11-13 Juli nanti, jangan sampai muncul klaim bahwa NU hanya memiliki sebuah partai politik.
“Nahdliyin ada yang di PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Golkar bahkan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Justru ada di mana-mana itulah NU menjadi besar,” terangnya.
Baginya, pergulatan NU, sementara ini masih berkutat pada persoalan fikih dan politik. Hal tersebut harus segera diubah ke bidang garapan lain yang lebih menyentuh permasalahan uma.
“Persoalan krusial yang saat ini membutuhkan penanganan serius, yakni pemberdayaan ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Dalam sejarah, NU tidak pernah berada di kutub ekstrim. Modal inilah yang menjadikan NU besar dan menghargai kebudayaan dan keberagaman beragama,” pungkasnya. (rif)
Terpopuler
1
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
2
Kiai Ubaid Ingatkan Gusdurian untuk Pegang Teguh dan Perjuangkan Warisan Gus Dur
3
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
4
Pilkada Serentak 2024: Dinamika Polarisasi dan Tantangan Memilih Pemimpin Lokal
5
Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
6
Habib Husein Ja'far Sebut Gusdurian sebagai Anak Ideologis yang Jadi Amal Jariyah bagi Gus Dur
Terkini
Lihat Semua