Warta

Soal Isu Sidik Jari Para Santri, Kapolri Klarifikasi ke PBNU

Selasa, 13 Desember 2005 | 02:26 WIB

Jakarta, NU Online
Kepala Kepolisian RI, Jenderal Polisi Sutanto menegaskan, wacana pengambilan sidik jari bagi para santri di pondok-pondok pesantren tidak pernah menjadi kebijakan jajarannya sehingga masyarakat tidak perlu resah karena hal itu tidak pernah akan dilakukan.

"Terus terang, hal-hal seperti itu meresahkan masyarakat seolah komunitas tertentu kami awasi. Saya tegaskan, hal itu tidak pernah menjadi kebijakan kami jadi kami tidak pernah berniat melakukan hal itu. Saya justru heran, kenapa masalah ini terus-terusan berkembang padahal berkali-kali pula telah saya tegaskan," katanya kepada pers, di rumah dinasnya, di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, (11/12).

<>

Sutanto yang mengetahui perkembangan masalah itu dari kalangan media massa mengungkapkan, dia telah berbicara secara pribadi dengan beberapa pemimpin organisasi massa berbasis Islam. Bahkan secara khusus Kapolri Minggu menelepon Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi memberi klarifikasi tentang hal itu.

Hasyim Muzadi, pada Minggu siang mengatakan, reaksinya atas wacana yang berkembang itu sebagai tindakan yang tidak produktif dan hanya melahirkan kontroversi. Lagi pula, langkah itu tidak perlu dilaksanakan karena para pengasuh pondok pesantren pasti melakukan pembinaan kepada para santrinya.

"Saya bicara kepada beliau (Ketua Umum PBNU). Saya pribadi menjamin wacana itu bukan kebijakan kepolisian jadi tidak akan pernah terjadi. Lagi pula, kalau itu kami laksanakan, untuk apa? Malah bikin capek diri sendiri apalagi kami telah punya peta para pelaku dan orang-orang yang potensial untuk diajak serta menjadi teroris," ujar Sutanto.

Dia menjelaskan kronologi sampai wacana itu berkembang luas dan meresahkan masyarakat, yaitu sejak para ulama di Ciamis, Jawa Barat, bertemu dengan petinggi kepolisian di kabupaten itu. Mereka mengusulkan agar polisi mengambil sidik jari para santri agar pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan namun usulan ini tidak pernah dibahas serius oleh jajaran kepolisian. Begitupun, ternyata masyarakat menanggapi wacana itu secara serius dan mulai mengambil ancang-ancang sikap menolak  pengambilan sidik jari para santri. Bahkan ada yang mulai melakukan penjagaan khusus di pondok pesantrennya agar wacana itu jangan sampai terjadi.

"Saya malah mengajak para pengasuh agar bisa menangkal nilai-nilai ajaran sesat yang mengatasnamakan ajaran agama yang mengarah pada tindak terorisme kepada para santrinya. Ini malah lebih efektif, efisien, dan lebih diterima masyarakat," ungkapnya.

Secara umum, katanya, guna menanggulangi tindak dan jaringan terorisme, jajarannya memiliki skenario besar dalam tiga langkah. Yaitu langkah "pre-emtive", preventif, dan penindakan. Semua langkah ini bukan dikerjakan tunggal oleh polisi melainkan bekerja sama dengan semua unsur negara dan masyarakat.

Langkah pertama, jelasnya, ditempuh dengan menyentuh langsung ke akar masalah yang terjadi di masyarakat. Sudah terbukti kemiskinan dan kebodohan bukan penyebab tunggal seseorang tertarik menjadi teroris.

"Lihat saja Cholili alias Yahya itu. Dia mahasiswa yang kondisi ekonominya cukup baik. Ternyata dia tertarik karena ada iming-iming masuk surga dan dikelilingi tujuh bidadari cantik jika mau berjihad versi sesat menurut ajarannya Azahari itu," paparnya.

Langkah kedua, tuturnya, bisa ditempuh dengan berbagai cara, di antaranya menerapkan pendataan kependudukan memakai sistem "Single ID Number" (SIN), sehingga seseorang tidak mungkin mempunyai identitas ganda. SIN ini juga bisa dimanfaatkan banyak pihak, di antaranya keimigrasian, asuransi, dan sebagainya.

Di tataran teknis, kepolisian akan mendorong semua pemerintahan daerah agar mau mengeluarkan peraturan daerah yang mengharuskan semua sarana umum dan strategis dipasangi jaringan televisi pemantau terbatas, seperti yang dilakukan negara-negara tetangga dan negara maju.

"Di London saja ada sekitar 5 juta televisi pemantau terbatas ini di semua titik yang dianggap perlu untuk dimonitor. Dengan demikian saat ada bom di metro mereka, ada 16.000 rekaman video yang disetorkan ke polisi sana untuk diteliti dan dijadikan barang bukti. Jangan heran kalau pengungkapannya bisa cepat."

Adapun langkah terakhir adalah dengan menggelar operasi penanggulangan, mulai dari pengumpulan data, penelusuran, operasi intelijen, hingga operasi pelaksanaan dan pemukulan langsung seperti yang terjadi pada kawanan Azahari di satu perumahan di Kota Batu, Jawa Timur, pada awal bulan lalu.

Dia mengakui, terkadang gerak cepat jajarannya terhambat aturan perundangan yang berlaku sehingga dia akan mengusulkan agar produk perundangan terkait itu terlebih dahulu di