Tolak Uji Formil UU TNI, MK Nilai DPR dan Pemerintah Sudah Fasilitasi Partisipasi Publik
Rabu, 17 September 2025 | 16:30 WIB
Para hakim konstitusi saat sedang membacakan putusan Mahkamah Konstitusi soal gugatan UU TNI, Rabu (17/9/2025). (Foto: NU Online/Haekal)
Jakarta, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menolak permohonan nomor perkara 81/PUU-XXIII/2025 tentang uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (17/9/2025).
"Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima, dua menolak permohonan pemohon II sampai dengan pemohon IV untuk seluruhnya," katanya.
Semula, pemohon mengaku kesulitan mengakses dokumen terkait revisi UU TNI. Menurut pertimbangan hukumnya, Hakim MK Guntur Hamzah mengatakan bahwa DPR dan pemerintah telah berupaya untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembuatan RUU Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
"Sejalan dengan itu, pembentuk undang-undang juga melakukan upaya baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman (website) resmi maupun kanal Youtube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, terutama para pemangku kepentingan (stakeholders) yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi," katanya.
Oleh karena itu, kata Guntur, MK menilai bahwa pembuat undang-undang telah menyediakan berbagai alternatif metode atau mekanisme partisipasi publik. Selain itu, tidak terdapat indikasi adanya tindakan yang menghambat keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan RUU Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Partisipasi ini, lanjutnya, dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan norma dalam setiap proses legislasi, termasuk dalam hal RUU Perubahan atas UU 34/2004.
"Berdasarkan fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, berkenaan dengan permasalahan dokumen yang tidak dapat diakses, adalah tidak tepat jika dikaitkan dengan pelanggaran asas keterbukaan sebagaimana didalilkan oleh para pemohon," ucapnya.
Namun demikian, terdapat empat hakim yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan MK, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
"Empat hakim tersebut berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Suhartoyo.
Sebelum putusan, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti proses pembentukan UU TNI yang bermasalah, baik secara formil maupun substansi. Dari sisi formil, penyusunan undang-undang berlangsung terburu-buru, minim partisipasi publik, bahkan naskah akademiknya tidak dapat diakses masyarakat. Proses pembahasan juga kerap dilakukan secara tertutup dan di luar jam kerja.
"MK dalam putusan terdahulu kerap menggarisbawahi pentingnya partisipasi publik. Sementara UU TNI, sejak perumusan naskah akademik hingga pembahasan, tidak memenuhi kategori partisipasi publik," tegas Usman dalam konferensi pers daring, Selasa (16/9/2025).
Dari sisi substansi, UU TNI melemahkan prinsip kontrol sipil atas militer. Misalnya, perubahan Pasal 3 UU TNI yang membuka kembali ruang dominasi militer dalam urusan sipil.
"Dua hal ini, yaitu kontrol sipil atas militer dan urusan pertahanan, merupakan prinsip-prinsip sentral dalam konstitusi sehingga memerlukan peranan MK sebagai benteng terakhir," ujar Usman.