Opini

Menjadi Mukmin yang Beruntung  

Sabtu, 4 Januari 2020 | 12:00 WIB

Oleh Mukhamad Zulfa
 
Kadar keislaman tak cukup untuk menjadi tolok ukur agar kita bisa masuk surga. Dalam hadist diterangkan tentang tiga segitiga kebajikan; Islam, iman dan ihsan. Pondasi ini menjadi penting untuk membangun berbagai amal yang dikerjakan berdasarkan kekuatan pokok ini. Setelah menjadi muslim perlu menjadi mukmin hingga akhirnya mampu menyandang muhsin. Tentu ini tak berdiri satu persatu namun, berjalan beriringan. 
 
Pada tulisan kali ini akan membahas tentang seberapa beruntungkah menjadi seorang mukmin. Bila prinsip ini dibalik bagaimana menjadi mukmin yang beruntung? Tentu akan menjadi berbeda pandangan dalam menjadi beruntung. Dalam sumber hukum Islam (baca al-Quran) banyak istilah yang digunakan untuk menyebut beruntung, muflih, rabih, najin, said,  dan faiz. Namun pembahasan akan panjang kalau mengungkapkan satu persatu kata tersebut. 
 
Secara ringkas penulis akan mengajak pembaca untuk memahami bersama apa yang disampaikan dalam QS al-Hajj: 77: "Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan."
 
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang mengimani ajaran Nabi secara khusus, bukan kepada khalayak umum. Tentu untuk mencapai keyakinan tak hanya sekadar ucapan bahwa menjadi muslim belaka. Ada pergerakan berupa perbuatan untuk mengimplementasikan apa yang telah menjadi keyakinannya hingga menjadi mukmin. 
 
Terdapat dua dimensi yang ditekankan dalam pembahasan ini, pertama dimensi vertikal hubungan antara mukmin dengan Allah. Yaitu dengan cara mengerjakan shalat maktubah dan beribadah kepada-Nya. Relasi ini penting sebagai bagian dari tabungan di akhirat kelak. Selain itu, ini merupakan bagian tak terpisahkan ikatan antara ciptaan dengan Sang Pencipta. Maka bagian terpenting dari ayat ini berada di depan. 
 
Beribadah menjadi kewajiban hamba kepada tuhannya untuk menggapai keridhaan tuhan. Ibadah adalah jalan menuju pada Nya. Berusaha mendekatkan diri kepada sang Khalik. Hanya dengan cara inilah seorang mukmin mampu menjadi pribadi yang selalu dilindungi. Terdapat timbal balik secara tak kasat mata yang menjadikan seorang hamba menjadi baik bahkan terhindar dari marabahaya berkat ibadah kepada Nya. 
 
Selain beribadah wajib, ibadah yang masuk kategori sunah menjadi bagian pendukung. Kalau diibaratkan bahwa ibadah sunnah ini menjadi pelengkap terhadap ibadah wajib. Seorang mukmin akan terus menerus menambahkan ibadah sunahnya. Tentu dimulai dengan cara yang sederhana, dikerjakan dengan istiqomah kemudian bertambah sedikit demi sedikit. 
 
Kedua, dimensi horisontal. Berbuat baik kepada manusia menjadi perimeter untuk mencapai keberuntungan. Ulama-ulama mengajarkan yang dimaksud dengan berbuat baik sebagai individu yang berakhlak mulia dan menyambung silaturahim. Ditambah dengan sopan santun menjadi kunci penting untuk bersosial dengan masyarakat. Silaturahim ini berarti membuka jaringan baru baik dengan mukmin ataupun yang lainnya. 
 
Harusnya silaturahim tak hanya sekadar bertemu. Namun, perlu ditindak lanjuti dengan bertukar gagasan (silatulfikri). Setelah terjadi komunikasi ide diteruskan dengan tindak lanjut follow up yang kongkret dengan adanya kerjasama dan sama-sama bekerja (silatulamal). Tentu itu saja tak cukup dengan silaturahim, silatulfikri dan silatulamal kalau tak ada kedekatan batin yaitu dengan silaturruh yakni elasi kesamaan dalam ruh atau batin untuk menyamakan pandangan satu dengan yang lainnya. Dengan menjalin relasi-relasi seperti ini seorang mukmin harapannya mampu menumbuhkan banyak kebaikan berbagai pihak. 
 
Bila ditilik lebih dalam, mengerjakan kebaikan ini memiliki dua sumber yakni dari Tuhan dan manusia. Kebaikan-kebaikan yang tercurahkan dari tuhan merupakan kasih sayang sang Pencipta terhadap seluruh makhluknya tanpa terkecuali. Sedangkan manusia yang sedari awal terlahir dalam keadaan suci memiliki potensi besar untuk berbuat kebaikan baik itu mukmin ataupun tidak. 
 
Demikian penjelasan terkait meraih keberuntungan tak pernah habis untuk dibahas. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana mengembangkan kebaikan untuk sesama. Selain itu, segitiga kebajikan menjadi pondasi yang diperkuat dengan membangun relasi vertikal dan horisontal. Semoga. 
 
Penulis adalah pengajar di Madrasah Diniyah Al-Uswah Semarang.