Risalah Redaksi

Menegakkan Kembali Etika Kaum Santri

Selasa, 1 April 2008 | 03:21 WIB

Kaum santri selama ini dikenal memiliki semangat pejuang, pengabdian, kewiraswastaan dan kesederhanaan. Kegigihan dan kuletan itu tumbuh dari spirit yang dikenal dengan etos atau  etika kaum santri. Dengan kapasitas semacam itu maka kaum santri dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mampu mendorong tumbuhnya masyarakat harmoni dan sehat.

Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk jauh kedalam pusaran modernitas dan kehidupan kota yang hedomis, lambat-laun etika yang dimiliki tersebut pudar. Cara berpikir, bersikap dan bertindak lama-kelamaan semakin jauh dengan etika santri sebagaimana semula.<>

Pada mulanya ini dianggap sebagai proses adaptasi yang masih dalam batas kewajaran, sehingga diterima dengan kewajaran. Ternyata perilaku itu semakin lama semakin menyimpang, apalagi ketika menempatkan termasuk kehidupan agama tidak lagi bersifat teosentris (bermuara pada Tuhan), kemudiam membalik dengan kehidupan yang sepenuhnya antroposentris (bertolok ukur pada manusia). Inilah yang disebut dengan humanisme, semangat humanisme itulah yang kemudian melahirkan etika baru dalam kehidupan moldern yang tidak bersendikan lagi pada agama, tetapi pada kemanusiaan, atau lebih tegasnya nafsu dan ambisi manusia. Lalu diarahkan pada hasrat kebendaan dan gaerah kekuasaan.

Humanisme yang mengarah pada harta dan kekuasaan itulah yang menjadikan kaum beragama meninggalkan etika santri dan menggantinya dengan etika humanistis. Dengan dasar itu mereka berusaha mengubah seluruh tafsiran agama atas kepentingan humanisme kebendaan dan kekuasaan. Apalagi setelah berbagai penghargaan yang bertaraf internasional diberikan atas jasanya membuat tafsiran baru atas agama yang sesuai dengan kepentingan pemilik modal, maka semakin kuatlah mereka untuk membalik etika santri yang tak lain adalah etika Islam.

Untuk mendapatkan penghargaan, baik jasa maupun materi, kelompok ini tidak segan memalsukan tafsiran Al-Qur’an, seolah kitab suci ini membolehkan homoseksual, padahal perbuatan itu dikutuk oleh Islam dan semua agama. Lalu kelompok Islam liberal itu juga membela pornografi, padahal jelas dalam Islam sangat menekankan penutupan aurat, sebagai lambang kehormatan seorang manusia. Semua ini dianggap diskriminasi, bahkan dianggap sok bermoral. Kelompok ini mengklaim diri sebagi  anti moral, yang dianggap menghambat krativitas. Bukan sok bermoral, tetapi kapanpun setiap muslim berkewajiban menegakkan moralitas Islam, hanya dengan moralitas itulah kehidupan bisa berlangsung. Mereka tidak sadar bahwa amoralitas baik sosial, maupun kesenian adalah candu untuk menjebak agar tidak bisa melihat ketimpangan sosial.

Betapa ironisnya para muslimah yang belum melepas pakain muslimnya itu berdemonstrasi membela pornografi, membela homoseksualitas. Orang boleh saja mencarai popularitas dan kehidupan materi yang lebih sejahtera, tetapi tidak perlu membongkar ajaran dasar agama. Tetapi karena mereka talah terikat oleh humanisme sekuler bahkan ateis, mereka tidak surut dari gerakan itu dan tidak dianggap menyimpang dari agama, malah dianggap memajukannya, apalagi mereka terlanjur terjerat pada agenda  moderasi dan pluralisme, agenda yang lagi popular sebagai bungkus berbagai konspirasi politik dan ekonomi yang penuh konflik.

Sikap moderat dan pluralis memang harus dijaga, tetapi tidak boleh diperdagangkan apalagi dijadikan simbol yang sekadar untuk pameran. Bagaimanapun moderatnya kalau tidak punya prinsip, tidak memiliki komitmen pada agama yang dimilikinya, seseorang tidak lagi bisa disebut moderat karena tidak memiliki moralitas apapun. Mereka tidak lebih dari seorang calo, yang memang tidak memiliki apa-apa, hanya menawarkan kekayaan orang lain pada pihak lain.

Melihat kenyataan ini, dengan semakin menjauhnya para aktivis dan intelektual dari etika santri yang menggantinya dengan etika humanistik-ateistik itu, maka perlu ditegaskan kembali etika santri yang memperkenalkan kehidupan yang mengutamakan, pengabdian, perjuangan, kesederhanaan dan kemandirian, baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak, agar umat Islam kembali menjadi umat yang berharga tidak hanya menjadi suruhan orang lain untuk merongrong agama dari dalam seperti yang dilakukan kelompok liberal yang hanya mementingkan sanjungan dan kekayaan yang dikendalikan oleh kapitalisme.

Penegakan kembali etika santri ini justru untuk menjaga harmoni kehidupan sosial, kalau kehidupan yang hidonis dan sikap hidup yang pragmatis materialistis ini dibiarkan, maka dengan sendirinya kesenjangan sosial akan terus melebar. Ketika kesenjangan sosial menganga, konflik antar kelompok tidak bias dihindarkan. Dalam kondisi begini, teriakan para aktivis tentang tentang humanisme, tentang toleransi dan moderasi tidak ada gunanya.

Hanya kehidupan yang disemangati pengabdian dan rasa persaudaraan dengan kaum miskin tertidas yang mampu menjadikan kehidupan harmoni dan sejahtera. Inilah etika santri yang perlu ditegakkan kembali untuk mengatasi hedonisme dan prgmatisme yang menyengsarakan manusia, dengan kedok pendewaan manusia. (Abdul Mun’im DZ)