Balitbang Kemenag

Rekomendasi Kemenag terkait Tradisi di Kawasan Indonesia Timur

Ahad, 28 April 2019 | 14:20 WIB

Rekomendasi Kemenag terkait Tradisi di Kawasan Indonesia Timur

Trasisi bakar batu di Papua (bensradio)

Hasil penelitian tahun 2018 oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, Badan Penelitan Pengembangan dan Pendidikan Pelatihan (Balitbang Diklat) Kementerian AgamaBalai Litbang Agama Makassar terkait tradisi-tradisi di Kawasan Indonesia Timur, dapat disimpulkan bahwa nilai yang tergali dalam tradisi masyarakat Indonesia Timur setidaknya dapat menjadi bagian penting, kaitannya dengan pemajuan kebudayaan, resolusi konflik, dan menginspirasi pengayaan kurikulum dalam media pendidikan.

Untuk itu, peneliti merekemondasikan agar temuan-temuan yang terungkap melalui penelitian di masyarakat dapat ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Pertama, kaitannya dengan pemajuan kebudayaan, poin pelestarian nilai-nilai dalam Bakar Batu, Posuo, dan Kololi Kie serta Fere Kie antara lain kegotongroyongan dan solidaritas, serta membangun harmoni antar masyarakat adalah bagian integral dari memperkukuh nilai-nilai budaya tempatan.

Baca: Tiga Tradisi Masyarakat Indonesia Timur Sarat Nilai Agama

Secara teknis, dapat dilakukan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan masing-masing tradisi itu sebagai tradisi lokal milik Papua, Buton, dan Ternate yang meng-Indonesia.

Kedua, Bakar Batu juga bisa dijadikan sebagai pengembangan perwujudan resolusi konflik baik yang terjadi di tanah
Papua maupun di Indonesia. Karena dengan melihat cara dan prinsip kerja Bakar Batu yang mengelaborasi kearifan lokal individu menuju kearifan bermasyarakat adalah hal penting yang terintegrasikan dengan perwujudan wawasan kebinekaan dan kebangsaan Indonesia, yang menghendaki hidup berdampingan dengan damai meskipun berasal dari latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda-beda.

Sementara itu, Kolili Kie dan Feri Kie adalah sebuah tradisi yang dapat dikembangkan dalam rangka penjagaan alam dan lingkungan, khususnya dalam hal pelestarian ekosistem dan kekayaan alam lainnya. Posuo juga demikian, sebuah tradisi yang menjanjikan harmonis sosial kemasyarakatan yang berimplikasi pada penanaman nilai-nilai luhur budaya dan agama kepada generasi muda bangsa yang dapat diintegrasikan dengan materi Kurus Calon Pengantin (Suscatin) di KUA.

Ketiga, nilai-nilai keagamaan dan kearifan sosial yang terkandung dalam tradisi Bakar Batu, Posuo, dan Kololi Kie serta Fere Kie juga dapat menjadi pokok-pokok ajaran yang bisa dimasukkan dalam muatan kurikulum pendidikan lokal di tanah Papua, Buton, dan Ternate.

Keempat, Penyuluh Agama diharapkan dapat menggunakan instrument nilai keagamaan dalam tradisi masyarakat ini untuk materi penyuluhannya. (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)