Temanggung, NU OnlineÂ
Era digital, membuat mahasiswa terserat ke dalam gelombang teknologi informasi dan dimanjakan dengan media sosial, gadget, juga bahan bacaan yang berbasis elektronik. Semua dikonversikan menjadi elektronik, mulai dari adanya e-book, e-paper, e-journal, dan lainnya.Â
Akan tetapi, bahan bacaan cetak tetap menjadi prioritas nomor satu bagi mahasiswa, dan perpustakaan adalah benteng terakhir bagi masyarakat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan mendapatkan informasi.
Di sisi lain, gaya hidup modern juga menjalar di kalangan mahasiswa. Sehingga yang disebut mahasiswa gaul tidak lagi yang intelektual, rajin baca buku, punya IPK tinggi, namun mahasiswa gaul sudah melekat pada mereka yang bermotor keren, memiliki ponsel mahal, baju bagus dan juga mereka yang memiliki alat-alat modern mulai dari laptop, gadget dan sejenisnya.Â
Namun bagi Kepala Perpustakaan STAINU Temanggung, Jawa Tengah, Gufi Ulfah Inasari, hal itu justru tidak lah makna mahasiswa sebenarnya. Menurut dia, mahasiswa harus selalu dekat dengan literasi, terbukti dengan aktivitas membaca dan menulis yang berdekatan dengan ilmu pengetahuan.
"Mahasiswa Gaul adalah mahasiswa yang tahu hal baru, up to date dan punya rasa ingin tahu tentang hal-hal baru," ujar Gufi Ulfah Inasari Kepala Perpustakaan STAINU Temanggung, Sabtu (7/10).
Usaha untuk menjadi mahasiswa gaul, menurut dia, salah satunya adalah datang ke perpustakaan, untuk membaca buku atau mencari berita baru (koran).
"Perpustakaan STAINU Temanggung punya koleksi 3845 judul dan 4885 ekslempar buku dan difasilitasi dengan koran harian," beber dia di sela-sela melayani mahasiswa yang meminjam buku.
Ia juga menandaskan, bahwa kemampuan literasi mahasiswa tidak lain dimulai dari perpustakaan meski sekarang zamannya sudah milenial. Bahkan, perempuan berkerudung ini menegaskan bahwa mahasiswa gaul adalah yang sering ke perpustakaan.
"Bisa disebut bahwa mahasiswa gaul adalah mereka yang sering keperpustakaan. Oleh karena itu, mahasiswa harus menumbuhkan literasi membaca, selain untuk memenuhi tugas dari dosen saja," tegas dia.
Menumbuhkan Budaya Literasi
Sebagai pegiat literasi, ia juga memiliki beberap trik untuk menumbuhkan budaya literasi mahasiswa. Â
"Menumbuhkan budaya literasi mahasiswa memang harus digalakkan sejak dini. Pertama, membuat program seperti 15 menit membaca (boleh buku atau koran). Kedua, perlombaan membuat karya tulis seperti artikel, puisi dan dimuat di mading perpustakaan," beber dia.
Ketiga, kata dia, menyediakan koleksi/bahan pustaka yang lengkap juga berkualitas. Keempat, bedah buku (kegiatan ini harus diagendakan 1 bulan sekali).
"Kelima, yaitu diskusi dosen juga diskusi antarmahasiswa dan keenam memberikan hadiah bagi mahasiswa yang aktif keperpustakaan," lanjut dia.
Ia juga mengakui, ada beberapa masalah atau kendala dalam menumbuhkan budaya literasi. Mulai dari biaya yang minim untuk menjangkau toko buku, tidak punya media/alat untuk mendapatkan/ mengakses bahan bacaan seperti HP, laptop, dan motor dan ketiga kurang tersedianya bahan bacaan yang dibutuhkan mahasiswa di perpustakaan.
Sampai saat ini, Perpustakaan STAINU Temanggung punya koleksi 3845 judul dan 4885 ekslempar buku dan difasilitasi dengan koran harian.
"Koleksi yang dimiliki sampai tahun 2017 yaitu koleksi buku Bahasa Indonesia 3796 judul 4823 ekslempar, lalu koleksi buku Bahasa Arab 39 judul, 40 ekslempar. Sementara koleksi Bahasa Inggris ada 10 judul, 22 ekslempar," jelas dia.
"Minat baca mahasiswa STAINU memang kurang, karena mahasiswa yang datang ke perpustakaan untuk mencari dan membaca buku di luar ada tugas dari dosen," tandasnya.
Oleh karena itu, ke depan ia berharap agar mahasiswa STAINU Temanggung melek budaya literasi. Hal itu, menurut dia, tidak bisa dimulai jika tidak dimulai dari perpustakaan, cinta buku dan menjadikan membaca buku sebagai candu. (Red: Abdullah Alawi)