Daerah

Istiqamah dalam Mengaji, Kiai Zahid Klaten Saat Kesulitan Temui Hal yang Ajaib

Senin, 23 November 2020 | 05:00 WIB

Istiqamah dalam Mengaji, Kiai Zahid Klaten Saat Kesulitan Temui Hal yang Ajaib

Almarhum KH Muhammad Zahid (Foto: Istimewa)

Klaten, NU Online
Wafatnya Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Klaten KH Muhammad Zahid, Kamis (19/11) pekan lalu, seperti mengiringi kepergian sahabatnya, KH Abdullah Sa’ad yang dimakamkan hanya terpaut sehari sebelumnya (18/11). 

 

Hubungan keduanya, pernah ditulis sendiri oleh Kiai Abdullah Sa’ad (Kiai Dullah), dalam buku berjudul 'Tahu Menceng'. Sepenggal kisah yang sebagaimana tertulis dalam buku 'Tahu Menceng' menceritakan tentang KH Muhammad Zahid.

 

“KH Muhammad Zahid, Wedi, Klaten. Seorang teman, saudara, bahkan beliau juga seorang guru bagi saya. Kiai Zahid dan saya adalah saudara tunggal guru. Kami berdua sama-sama mendapat anugerah menjadi muridin Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan," ungkap Kiai Abdullah Sa’ad. 

 

Dijelaskan, Kiai Zahid merupakan cucu Mursyid KH Abdul Mu’id Tempursari, seorang Mursyid Thariqah Syadziliyah. Beliau diambil menantu oleh KH Abdul Hadi Klaten, salah seorang murid KH Abdul Malik Kedungparuk Purwokerto, Jateng. 

 

Di buku 'Tahu Menceng', juga pernah ditulis sebuah kisah yang sangat berkesan di mata Kiai Abdullah Sa’ad tentang sosok Kiai Muhammad Zahid. Salah satunya yakni kisah Kiai Zahid ketika hendak berangkat mengaji ke Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan.

 

“Sebagai muridin, salah satu kewajiban yang harus jalankan adalah memelihara suluk bertemu guru minimal sekali dalam satu bulan. Kiai Zahid berusaha menjaga khidmah kepada guru ini dengan istiqamah. Setiap Jumat Kliwon. Kiai Zahid bertekad untuk hadir rutinan di  Pekalongan, apapun yang terjadi,” terang Kiai Dullah.

 

Saat masa-masa awal mengaji kepada Habib Luthfi, ujian keistiqamahan itu datang. Kiai Zahid hendak berangkat ke Pekalongan pada Kamis Wage, sehari sebelum rutinan. Namun, suatu hari hingga Kamis Wage, ia sama sekali tidak memiliki uang untuk berangkat. Kiai Zahid tidak mengeluh dengan kesederhanaan hidup yang harus dijalaninya saat  itu, namun hatinya menangis. Terbayang, dirinya yang gagal memelihara suluk seorang murid.

 

Beliau bertekad menjalani khidmah ini semampunya, bukan semaunya. Semaksimal apa yang dapat dikerjakan dan usahakan. Kiai Zahid tidak langsung menyerah. Kiai Zahid mandi, kemudian berganti baju dan menyiapkan tas yang berisi pakaian ganti serta perlengkapan mengaji lainnya. Kiai Zahid siap berangkat ke Pekalongan.  

 

Dengan hati yang penuh kerinduan kepada gurunya, dirinya keluar rumah dan hatinya menjerit,  “Abah, kulo sampun niat ngaos. Saged kulo namung dugi mriki (Abah, saya sudah niat pengajian. Bisa saya hanya sampai di sini, yaitu di depan rumah)”.

 

Tiba-tiba, sebuah mobil sedan Corolla kuning berhenti di depan rumah. Ternyata yang datang adalah almaghfurlah KH Mursyidi Mangkuyudan Solo, salah seorang badal thariqah Habib Luthfi bin Yahya.

 

Melihat Kiai Zahid yang berpakaian rapi, Kiai Mursyidi berkata, “Arep ten pundi, Kang? (Akan  pergi ke mana Kang?)”.

 

Dijawab Kiai Zahid, “Kula badhe sowan ten Habib Luthfi, rutinan Pekalongan (Saya mau pergi ke rutinan Pekalongan)”. 

 

Kiai Mursyidi berkata lagi, “Yen ngono, tak terke tekan Kartosuro, mengko kari numpak bus (Kalau begitu, aku antar sampai Kartasura, nanti tinggal naik bus ke Pekalongan)”. 

 

Kiai Zahid kemudian ikut naik mobil Kiai Mursyidi. Sepanjang perjalanan, beliau tidak menceritakan kesulitan yang sedang beliau alami hingga sampai Kartosuro. Hati kecilnya berkata “Abah, Alhamdulillah saged kulo dugi Kartasura (Abah, Alhamdulillah kemampuan saya hanya sampai Kartasura)”.

 

Namun, setelah mobil sampai di Kartasura, Kiai Mursyidi memberi hadiah kepada Kiai  Zahid, berupa sejumlah uang yang cukup untuk ongkos pulang pergi Pekalongan. Sungguh, beliau menahan tangis keharuan menerima hadiah tersebut.

 

Akhirnya, Kiai Zahid sampai di Pekalongan dengan perasaan yang sangat bahagia. Kiai Zahid menjalani kewajiban sebagai murid, yaitu ngaji rutinan, berkumpul dengan muridin, dan berhasil memandang wajah sang guru ruhani. Setelah itu, beliau kembali pulang ke Klaten. 

 

Di lain kesempatan, setelah pulang dari Pekalongan, Kiai Zahid bertemu kembali dengan Kiai Mursyidi. Beliau kemudian buka-bukaan kepada Kiai Mursyidi tentang kejadian sebelumnya.

 

Kiai Zahid mengucapkan terima kasih kepada Kiai Mursyidi. “Matur nuwun ya Kang. Yen ora mbok sangoni wingi kae. Aku ora iso tekan Pekalongan. Aku kae ora duwe sangu (Terima kasih ya Mas. Jika aku tidak kamu beri uang saku kemarin itu, aku tidak bisa sampai Pekalongan. Sebenarnya, saat itu aku tidak punya uang saku)” 

 

Mendengar perkataan tersebut, Kiai Mursyidi menjawabnya dengan sebuah pertanyaan dengan nada serius bercampur heran. “Lho, kapan? Ora, aku ora neng omahmu, Kang? (Lho, kapan aku tidak ke rumahmu. Mas),”

 

Kiai Zahid balik kaget mendengar jawaban itu. “Kae lho Kang, pas arep Jumat Kliwon, nggawa sedan Corolla kuning (Itu lho Mas, sebelum Jumat Kliwon, bawa sedan Corolla kuning)”.

 

Kiai Mursyidi bertambah bingung, “Lho, sedan Corolla kuningku wis payu rong wulan wingi (Lho, sedan Corolla kuningku sudah laku dua bulan yang lalu)”. 

 

Mendengar cerita Kiai Mursyidi di atas, hati Kiai Zahid langsung teringat kepada Habib Muhammad Luthfi. Sungguh, beliau benar-benar memiliki seorang guru mulia. Guru yang mendengar jeritan hati seorang murid. Guru yang dengan kemuliaannya, membimbing murid-muridnya untuk memahami makna sebuah kalimat: 'Istiqamah lebih baik dari 1000 (seribu) karamah'. 

 

Tidaklah, seorang guru memperlihatkan karomah yang melekat dalam dirinya, kecuali disebabkan oleh kesungguhan istiqamah seorang murid. Hati seorang murid yang telah terikat dengan gurunya.

 

Tidaklah, Allah SWT memuliakan para kekasih-Nya dengan karamah, kecuali hasil dari keistiqamahan penghambaan dirinya yang tiada putus-putus. Hati seorang hamba yang selalu memandang  Allah SWT. Allah  SWT  berfirman:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Tuhan Kami adalah Allah'  kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: 'Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”  (Fushshilat:30) 

 

Malaikat bukan hanya membisikkan kepada batin Kiai Zahid, ‘jangan takut dan jangan bersedih’, namun menghilangkan kesedihan itu dengan langsung ‘menghampiri’ dan menyelesaikan keperluan dirinya.

 

Kontributor: Ajie Najmuddin
Editor: Abdul Muiz