Daerah

Melihat Islam Indonesia Ada di NU dan Muhammadiyah

Senin, 24 Februari 2020 | 12:45 WIB

Melihat Islam Indonesia Ada di NU dan Muhammadiyah

Prof Musahadi (kiri) (Foto: NU Online/A Rifqi Hidayat)

Semarang, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah KH Tafsir mengatakan, Islam Indonesia tak bisa lepas dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari. Karena itu, suka atau tidak suka, ikon Islam Indonesia tak bisa lepas dari ketokohan dua ulama Indonesia yang melahirkan dua ormas keagamaan terbesar dan terus eksis saat ini, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). 
 
"Melihat Islam Indonesia pasti melihat NU dan Muhammadiyah," katanya.
 
Hal itu disampaikan dalam Bedah Film 'Jejak Langkah 2 Ulama' yang dilaksanakan Bidang Remaja Pelaksana Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah (PP MAJT) bersama PW Prima DMI Jawa Tengah dan Aliansi 3 Remaja Masjid Besar Semarang (Risma JT, Ikamaba, dan Karisma) di Perpustakaan MAJT Semarang, Ahad (23/2) malam.
 
"Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran untuk bisa meneladani bagaimana bisa mewarnai Indonesia," imbuhnya.
 
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) UIN Walisongo Semarang ini menuturkan, spirit yang dibangun oleh pendiri Muhammadiyah membangun Islam yang berkemajuan, bukan semangat pemurnian. 
 
"Semangat kemajuan dan semangat kebangsaan," ucapnya.
 
Oleh karena itu lanjutnya, film tersebut telah mencerminkan karakter melankolis KH Ahmad Dahlan yang menjadi karakter orang-orang Muhammadiyah. "Memberikan layanan pendidikan, sosial, dan kesehatan," ujarnya.
 
Wakil Ketua PWNU Jawa Tengah Prof H Musahadi mengapresiasi film tersebut yang berani menampilkan artis yang tergolong baru di dunia perfilman. "Jangan menyepelekan orang baru, bisa jadi kualitasnya tidak kalah dengan yang lama," katanya.
 
"Coba diperankan artis yang sudah dikenal?, pasti di sini cewek-cewek sudah pada ngantri minta foto bersama" kelakarnya.
 
Pria asal Demak yang gemar mencermati dinamika perfilman ini mengungkapkan, selama ini masyarakat disuguhi film bergenre religius Islam yang diperankan artis yang tidak mengenal tradisi pesantren yang tidak mampu melafalkan Al-Qur'an atau bahkan membaca kitab kuning. 
 
"Film tersebut malah terdapat santri yang sedang menghafalkan nadzam Alfiah. Ini bukti bahwa film ini diperankan orang-orang yang paham agama," ungkapnya.

Ketua IKA PMII Jawa Tengah ini melanjutkan, film Jejak Langkah 2 Ulama lebih mirip film sejarah. "Ini seperti film sejarah karena film ini menuturkan perjuangan tokoh yang bersejarah," katanya.
 
Meski demikian, Musahadi meminta untuk bisa memahami film tersebut secara kritis, "Kita pahami secara kritis dengan hati-hati. Jangan dianggap seperti film dokumenter," ucapnya.
 
Karena lanjutnya, di situ (film-red) sudah memasukkan kreasi atau bumbu-bumbu yang membuat film itu menjadi lebih enak ditonton. 
 
Sebagai perbandingan, Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang ini menyebut film Janur Kuning yang dirasa merekonstruksi sejarah dengan memunculkan Soeharto sebagai tokoh. Karena memang film itu diproduksi di era Soeharto yang mana di situ ada kepentingannya dalam melanggengkan Orde Baru.
 
 "Film ini lebih objektif dari film-film NU yang dibikin orang-orang NU atau film Muhammadiyah yang dibikin oleh orang-orang Muhammadiyah," tegasnya.
 
Meski menilai film tersebut cukup sukses, namun dirasa kurang mengangkat perselisihan pendapat antar keduanya karena hanya mengambil kesamaan guru dalam belajar ilmu agama, berjuang membimbing masyarakat sampai bisa mendirikan sebuah organisasi dan berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan. 
 
"Tidak memperlihatkan perbedaan prinsip yang sering terjadi di kalangan NU dengan Muhammadiyah," katanya.
 
Karena itu, ia berpendapat penuturan dalam film tersebut menjadi seperti menafikan sebuah realitas yang kerap terjadi di masyarakat. "Ini seperti meniadakan konflik," urainya.
 
Dia menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih dan rokok sebagai contoh perbedaan pendapat yang kerap terjadi di masyarakat berfaham NU dengan yang berfaham Muhammadiyah, namun tidak pernah terjadi di masa awal berdirinya organisasi tersebut. 
 
"Perbedaan itu sebuah keniscayaan," tutupnya. 

Kontributor: A Rifqi Hidayat
Editor: Abdul Muiz