Fragmen

Dulu Riyadlatut Thalabah Kini Lembaga Falakiyah, Penentu Awal dan Akhir Ramadhan NU

Ahad, 30 Maret 2025 | 07:00 WIB

Dulu Riyadlatut Thalabah Kini Lembaga Falakiyah, Penentu Awal dan Akhir Ramadhan NU

Ilustrasi perukyah NU sedang melakukan rukyatul hilal. (Foto: NU Online/Suwitno)

Peranan vital Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dalam menentukan awal –  dan juga akhir –  Ramadhan, menumbuhkan pertanyaan, bagaimanakah dahulu di masa-masa awal Nahdlatul Ulama (NU) berdiri, tugas-tugas rukyatul hilal itu dilaksanakan? Siapakah yang mengambil peran tersebut?


Dalam sejumlah catatan sejarah, ternyata NU telah melakukan ikhbar Ramadhan sejak masa-masa awal berdirinya. Hal ini terungkap dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 6 Tahun I, Rabiul Awal 1346 H. Pada edisi ini dimuat jadwal imsakiyah Ramadhan 1346 H dan diawali dengan penjelasan seputar hasil rukyatul hilal.


“Dados akmalu Sya’ban (tsalatsina yauman), dados awitipun siyam dinten khamis tanggal 23 Februari.” 


Dari hasil rukyah yang dilakukan pada 29 Syaban 1346 H atau bertepatan dengan 21 Februari 1928 M, hilal tidak tampak. Oleh karena itu, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari dan puasa dimulai hari Kamis yang bertepatan dengan tanggal 23 Februari.


Begitu juga ikhbar tentang akhir Ramadhan 1346 H juga diumumkan dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 8 Tahun I, Rajab 1346 H. Setelah dilakukan rukyatul hilal dinyatakan bahwa awal Syawal jatuh pada 23 Maret 1928 M. Puasa hanya berlangsung selama 29 hari sebagaimana telah diprediksi (hisab) pada pengumuman yang awal di edisi sebelumnya.


Dari dua ikhbar tersebut, ternyata tidak dilakukan langsung oleh Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO/ penyebutan PBNU pada masa kolonial). Akan tetapi, merupakan hasil hisab dan rukyah yang dilakukan oleh organisasi bernama Riyadlatut Thalabah Jombang.


Riyadlatut Thalabah merupakan organisasi (jam’iyah) yang berada di Dusun Seblak, Desa Kwaron, Jombang. Dalam SNO, No. 2 Tahun I, Safar 1346 H, dikabarkan tentang pendirian Jam’iyah Riyadlatut Thalabah tersebut.


“Kantor Swara Nahdlatoel Oelama terami khabar ing Kwaron, Jombang kawontenaken perkempalanipun para murid-murid pondok. Perlu hangerembak pinten-pinten masail kang perlu kerembak. Wahu perkempalan dipun namini Riyadlatut Thalabah.”


[Kantor Swara Nahdlatoel Oelama menerima kabar jika di Kwaron, Jombang telah didirikan perkumpulan para murid-murid pondok pesantren. Tujuan dari perkumpulan tersebut guna merembukkan sejumlah perkara yang perlu dibahas. Perkumpulan tersebut diberi nama Riyadlatut Thalabah].


Perkumpulan tersebut digerakkan oleh 18 orang dengan ketuanya adalah KH. Mashum bin Ali, Seblak, Kwaron, Jombang. Sedangkan wakilnya adalah Abdullah Syathari. Lalu, dibantu oleh sejumlah jajaran sekretaris. Yakni, Ahmad Dawam, Ahmad Sahal, Haji Mahfudz dan Abdul Jalil. Ada pula Ahmad bin Bajuri sebagai Rais Lajnah al-Iftirahat. Sedangkan anggotanya yang tercatat adalah Ahmad Wildan bin Hasan, Abdul Karim bin Musthafa, Thahir bin Muhammad Rawi, Shulhan bin Ramli, Ustman bin Isa, Yasin bin Umar, Haji Thohir bin Nawawi,  Syamsul Huda bin Haji Imam, Haji Jazuli bin Ustman, Hasbullah bin Salim, Haji Abdurrahman bin Syansuri.


Pendirian Riyadlatut Thalabah ini, tidak terlepas dari dorongan dan restu dari Rais Akbar PBNU, Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari. Sebagaimana ditegaskan dalam kabar tersebut: kawontenan utawi tindakanipun perkempalan wahu kaliyan penyerungipun Syaikhuna as-Syaikh Hasyim Tebuireng [Keberadaan ataupun pergerakan dari perkumpulan tadi, atas dorongan dari guru kami, Syaikh Hasyim, Tebuireng].


Perlu diketahui, Kiai Maksum bin Ali, Ketua Riyadlatut Thalabah tersebut, tak lain merupakan anak menantu dari KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Maksum memang dikenal sebagai salah seorang ulama ahli falak. Hal tersebut terbukti dengan lahirnya dua buah kitab tentang ilmu falak dari tangannya. Kitab tersebut adalah kitab Ad-Durusu-l-Falakiyah yang pertama kali diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada 1375 H dalam tiga jilid. Kemudian ada pula kitab Badiatu-l-Mitsal  yang membahas secara khusus tentang penentuan awal bulan dengan berbagai sistem kalender dan perhitungannya.


Keberadaan Riyadlatut Thalabah tersebut tidak semata hanya membahas tentang awal dan akhir Ramadhan, tapi juga mengabarkan tentang hisab akan datangnya gerhana. Seperti halnya dimuat dalam SNO, No. 4, Tahun I, Jumadil Awal 1346 H, yang mengabarkan hasil hisab Ketua Riyadlatut Thalabah bahwa pada 14 Jumadil Akhir 1346 H akan terjadi gerhana bulan.

Wafatnya Kiai Maksum bin Ali pada 1933 menyisakan kegundahan di kalangan Nahdlatul Ulama. Hal tersebut, lantas membuat sejumlah pengurus NU untuk membentuk lajnah falakiyah sebagai instrumen resmi NU dalam menyelesaikan perihal penentuan awal dan akhir Ramadhan ataupun hal ihwal lainnya berkaitan dengan fenomena astronomi tersebut.


Usulan tersebut kemudian dibahas secara resmi dalam Muktamar ke-9 NU yang berlangsung di Banyuwangi pada 1934. Dalam  SNO No. 4 Tahun III, Jumadil Akhir 1354 H, disebutkan  jika voorstel (usulan) keempat dari HBNO untuk menetapkan pengurus Lajnah Falakiyah disetujui oleh para muktamirin.


Adapun pengurus Lajnah Falakiyah tersebut diketuai oleh Kiai Manshur Betawi. Sedangkan sekretarisnya (katib) adalah Kiai Munif, Bangkalan. Diikuti oleh sejumlah anggota, yakni, Kiai Dimyathi (Mojokerto) dan Kiai Abdul Jalil (Kudus). Di kemudian hari, personalia anggotanya ditambah dengan Haji Muhammad Thohir (Masteer Cornelis), Tuan Sodri (Masteer Cornelis), Kiai Muhammad Imam (Cirebon)  dan Kiai Ahmad Nawawi (Pelihari, Kalimantan). Selain itu, juga ditetapkan Kiai Mas Badar dari Pasuruan sebagai Mustasyar, namun di kemudian hari dicabut oleh HBNO.


Dipilihnya Kiai Manshur Betawi sebagai Ketua Lajnah Falakiyah tersebut tidak terlepas dari keahliannya dalam bidang astronomi itu. Sebagaimana Kiai Maksum, Guru Manshur – demikian beliau akrab disapa – juga mengarang sejumlah kitab falakiyah. Di antaranya adalah Sullamu-n-Nayrain, Khulashoh Al-Jadawil, Kaifiyah Al-Amal Ijtima, Mizan Al-`Itidal, Jadwal Dawair Al-Falakiyah, Majmu` Arba` Rasail fi Mas`alah Hilal, Rub`u Al-Mujayyab, Mukhtashar Ijtima` An-Nairain dan lain sebagainya.


Sejak saat itulah, Lajnah Falakiyah terus berkontribusi dalam membantu Nahdlatul Ulama dalam urusan falak, khususnya dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Saat ini, Lajnah tersebut telah bertransformasi menjadi lembaga sebagaimana diputuskan pada Muktamar 33 NU di Jombang (2015). Sehingga saat ini dikenal dengan nama Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama. 

 

Ayung Notonegoro, Founder Komunitas Pegon/ Pegiat sejarah Nahdlatul Ulama