Tahun lalu, PBNU mengadakan multaqo sufi al-alami (pertemuan sufi dunia). Di samping kalangan tarekat Nusantara, hadir pula berbagai tokoh sufi dari macam-macam aliran tarekat seluruh dunia.
<>
Tercatat misalnya Syekh Hisyam Khabani dari Amerika, Syekh Rajab Dib al-Naqsabandi dari Syiria, Syekh Zaid bin Abdurrahman bin Yahya dari Yaman, Syekh Jibril Fuad dari Brunei Darusalam, Syekh Abdurrahman ar-Rukaini dari Sudan, KH al-Habib Luthfi bin Yahya dari Indonesia dan masih banyak lagi.
Pertemuan sufi tersebut merumuskan beberapa hal, yaitu Nadwah Shufiyyah, terdiri dua sesi yaitu membahas peranan tasawuf dalam membangun peradaban Islam: capaian masa lalu dan agenda masa depan. Sesi kedua, “Peranan thoriqoh dalam membangun persaudaraan umat Islam dan perdamaian dunia.”
Sebagaimana biasa acara NU, selalu dimulai menyanyikan Indonesia Raya. Begitu pula pada pertemuan itu. Tujuh ratus orang kalangan tarekat berdiri tegak menyanyikan buah karya W.R. Supratman ini.
Dalam suasana seperti tersebut, sang dirigen melakukan kesalahan. Ia memberi aba-aba bahwa nyanyian sudah selesai. Memang lirik terakhir lagu pengiring naiknya merah putih ini, sama dengan bait sebelumnya.
Tapi kalangan tarekat mengabaikannya. Mereka terus melantunkan Indonesia Raya hingga selesai.
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Ini salah satu penanda bahwa kalangan tarekat mencintai Tanah Airnya. Jauh ke belakang, mereka telah mendarmabaktikan perjuangannya. Di samping menyebarkan Islam di Nusantara, mereka juga bahu-membahu melawan penjajahan dan merebut kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda, kalangan tarekat adalah salah satu elemen bangsa yang sangat ditakuti. Ikatan persaudaraan yang kuat di bawah bimbingan seorang mursyid dikuatirkan memicu pemberontakan. Buktinya mereka pernah melakukan perlawanan terhadap kolonial. Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan Banten tahun 1888.
Oleh karena itu, Belanda memberikan pengawasan ketat terhadap mereka. Kemudian menuduhnya keluar dari Islam, pengamal ajaran bid’ah dan syirik. Tuduhan kolonial ini masih membekas hingga sekarang, meski itu tak terbukti.
Pada perkembangan selanjutnya, tarekat berkembang di pesantren-pesantren. Banyak pesantren yang merupakan basis gerakan tarekat. Para kiai dan santri sering mengamalkan hizib atau wirid yang biasa diamalakan kalangan tarekat. Amalan ini digunakan juga untuk melawan penjajah. Tentara TKR dan kesatuan laskar-laskar lain “mengisi” senjata mereka dengan doa kiai.
Di alam kemerdekaan, kalangan tarekat mengorganisir diri dalam sebauah badan. Pada tanggal 1o Oktober 1957, didirikan satu badan bernama Jam’iyyah ahl-Thriqah Mu'tabarah sebagai tindak lanjut dari muktamar NU tahun 1957 di Magelang.
Dalam muktamar NU di Semarang, tahun 1979, jamiyyah ini bernama Jam’iyyah ahl-Thriqah Muktabarah an-Nahdliyyah. Penambahan an-Nahdliyyah menandakan bahwa badan ini bernaung di bawah ormas Islam terbesar, NU.
Kiai-kiai besar pernah mengetuai badan ini, yaitu KH. Baidhwi, KH. Ma’sum, KH. Hafidz (ketiganya pemimpin pesantren Lasem, Rembang). Selanjutnya KH. Muslih dari Mranggen (Semarang), KH. Adlan Ali dari Tebuireng (Jombang) dan kiai Arwani dari kudus. Kini dipimpin olah KH al-Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan. Mereka adalah kalangan tarekat yang juga tokoh NU. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
3
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
4
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Menag Nasaruddin Umar: Agama Terlalu Banyak Dipakai sebagai Stempel Politik
Terkini
Lihat Semua