Tokoh

Kang Ayip, Sosok Kiai Egaliter

Sabtu, 14 Maret 2020 | 08:00 WIB

Kang Ayip, Sosok Kiai Egaliter

KH Ayip Abbas. (Foto: istimewa)

Sudah tujuh hari KH Ayip Abbas berpulang. Sikapnya yang egaliter begitu dikenang oleh siapa saja yang mengenalnya. Beliau mampu bergaul dengan semua kalangan, dari presiden hingga pengamen, dari politisi hingga penjual nasi, dari kiai hingga anggota Ex Ti Si (XTC). Sikap egaliternya itu juga ditunjukkan dengan enggannya dipanggil dengan sebutan kiai. Maka, orang-orang akrab menyapanya dengan sebutan Kang Ayip atau Mang Ayip.

Kang Ayip kerap datang ke Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta. Beliau biasa ngopi joinan di lantai satu, dekat dengan Bank Sampah Nusantara (BSN). Ya, di lorong itu, beliau biasa berbincang-bincang hingga malam. Bahkan, Kang Ayip tidur di tempat yang penuh sampah yang akan di daur ulang itu.

Bang Anto, pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PBNU tercekat menceritakan hal tersebut. Ia betul-betul tak sanggup meneruskan kenangannya dan  langsung menyerahkan mik kepada pembawa acara pada gelaran Istighatsah rutin dan Tahlil untuk Kang Ayip yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Pencak Silat Pagar Nusa di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU Lantai 1, Senin (10/3).

Menurut penuturannya, dua kali Kang Ayip istirahat di tempat yang sangat tidak layak bagi seorang kiai besar. Tapi begitulah karakter Dewan Khos PP Pencak Silat Pagar Nusa itu.

Ia juga menceritakan Kang Ayip menolak beragam jabatan penting yang ditawarkan kepadanya. Sebab, beliau ingin dapat terus menemaninya, membersamai masyarakat biasa sepertinya, ingin melayani dengan sepenuhnya.

Kiai yang pernah mengenyam pendidikan di Darul Ulum Nadwatul Ulama, Lucknow, India itu juga karib dengan geng motor XTC. Dulu, masyarakat Cirebon tentu geram dengan kelompok ini. Pasalnya, oknum anggota geng tersebut kerap membuat onar dengan aksinya di jalanan.
 
Namun, Kang Ayip perlahan masuk dan mengayomi mereka. Aksi jalanannya itu diubah menjadi aksi santunan untuk anak yatim. Biasanya, kegiatan tersebut diawali dengan shalawatan bersama.

Ya, shalawatan ini juga yang menjadi kegemarannya. Di mana-mana, putra ketiga KH Abdullah Abbas ini mengajak orang bershalawat bersama. Beliau membentuk majelis-majelis shalawat yang dipimpin langsung olehnya di berbagai tempat. Tak ayal, saban pekan beliau pasti berkeliling ke berbagai daerah untuk menggemakan shalawat.

Menurutnya, shalawat ini sangat penting. Sebab, kelak di hari akhir nanti, amal baik kita semua bukanlah apa-apa, yang mampu menolong hanyalah syafaat dari Nabi Muhammad saw.

Kebiasaannya berzikir ini dilakukan sejak dulu. KH Yumni Al-Hilal, keponakan sekaligus rekan seangkatannya di India, menuturkan kepada penulis pada tahlil hari pertama di kediaman KH Abdullah Abbas, Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Sabtu (7/3), bahwa Kang Ayip saat di India kerap kali menghabiskan waktunya untuk berzikir, bertaqarrub kepada Allah swt.

Bahkan, pamannya itu sendiri menuturkan kepadanya saat itu, tidak pernah ia temukan kenikmatan ruhani sebagaimana yang dirasakan saat melafalkan, mengingat-Nya di Negeri Bollywood itu.

Kemampuannya berinteraksi dengan semua kalangan itu menunjukkan bahwa beliau dapat menyesuaikan mitra tuturnya, siapa yang sedang diajaknya bicara. Dengan mahasiswa, seperti saya, misalnya, beliau selalu memotivasi agar dapat terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
 
Tidak saja mendorong, bahkan beliau sendiri siap menyambungkan dengan relasi-relasinya agar saya dapat menempuh studi tanpa perlu memikirkan biaya, alias mendapatkan beasiswa. Tentu saja saya harus dapat memenuhi syarat dan ketentuan lebih dahulu.

Dengan anggota geng motor XTC juga, Kang Ayip tidak membicarakan perihal keagamaan yang muluk-muluk. Beliau cukup mengajaknya bershalawat sembari terus menuturi kebaikan-kebaikan.

Ketua XTC Kota Cirebon Jaka Permana mengaku bahwa Kang Ayip tidak pernah mengguruinya. Ia dan para anggotanya bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. “Kalau sama kang Ayip, ya terserah kita aja maunya gimana,” kata Jaka Sebagaimana dikutip dari situsweb Pondok Buntet Pesantren.

Meskipun demikian, mereka berubah dengan sendirinya, dengan kehendaknya tanpa paksaan. Jaka dan ratusan anggotanya biasa mengikuti shalawatan bersama di kediaman Kang Ayip di Padabeunghar, Kuningan, Jawa Barat. Bahkan pada satu kesempatan, keberangkatan mereka dilepas langsung oleh Walikota Cirebon Nasruddin Azis dari kawasan kota tua Cirebon pada 27 Januari 2018.

Kang Ayip mengaku memang membiarkan mereka. Menurutnya, orang yang sudah beranjak remaja dan dewasa sudah mengerti dan bertanggung jawab sendiri atas apa yang dilakukannya.

Jaka merasa justru perubahannya disebabkan sikap Kang Ayip yang tak pernah memaksanya dan melarangnya untuk melakukan apapun. Dengan begitu, ia mengaku segan dan malu jika ia tak melaksanakan kewajiban agama atau melanggar apa yang telah diharamkan dalam syariat.

“Kang Ayip itu tidak memaksa kita untuk ini, untuk itu. Kang Ayip juga jarang membahas masalah agama dan lainnya. Tapi karena sikapnya ini, kami jadi nyaman. Karena sebelumnya, kalau kami bertemu orang yang mengerti agama, maka langsung ada aturan dan selalu disalahkan,” jelas Jaka.
 

Syakir NF, jamaah majelis Kang Ayip di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten