Fragmen

NU Tolak Pajak Guru Madrasah Pemerintah Kolonial Belanda

Senin, 6 Januari 2025 | 09:00 WIB

NU Tolak Pajak Guru Madrasah Pemerintah Kolonial Belanda

Lambang Nahdlatul Ulama yang diciptakan KH Ridlwan Abdullah. (NU Online)

“Pembajaran loonbelasting oleh Madrasah-Madrasah N.O. jang beloem membajar akan dipertoendakan.”


Demikian pungkas surat dari Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau sekarang dikenal dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Surat bertarikh 19 Januari 1940 dan ditandatangani langsung oleh Ketua Muda HBNO HM. Noer dan Penulis A.A. Dijar itu, merespons surat dari pemerintah kolonial yang hendak menarik pajak loonbelasting kepada para guru madrasah di bawah naungan NU.


Dalam bahasa Indonesia, loonbelasting dapat diartikan sebagai pajak upah. Pajak upah sendiri merupakan pajak yang dikenakan kepada seseorang, jika orang yang bersangkutan mendapatkan upah. Pajak upah diperuntukkan bagi seseorang dengan status pegawai tidak tetap atau disebut tenaga kerja lepas. Pegawai tidak tetap ini hanya mendapatkan pengahasilannya saat dia bekerja. Hal ini berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.


Aturan tentang pajak tersebut dimuat dalam Ordonansi Loonbelasting di dalam Staatblad 1934 No. 611. Direncanakan akan diterapkan sepenuhnya pada 1 Januari 1935. Bahkan, seiring waktu, cakupannya diperluas. Tidak hanya pada kalangan industri yang kala itu sedang berkembang di kawasan Hindia-Belanda, tapi juga menyasar ke sekolah-sekolah swasta.


Cakupan pajak yang juga menyasar ke guru-guru sekolah itu, menimbulkan polemik. Di antaranya datang dari Ki Hajar Dewantara yang mengelola sekolah Taman Siswa. Berdasarkan besluit dari Departement van Financien (Departemen Keuangan) Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tertanggal 13 Mei 1939 dengan nomor LB.1/12/7, menetapkan bahwa Taman Siswa terkena pajak loonbelasting dan wajib membayarnya per tanggal 1 Januari 1940. Akan tetapi, dalam surat kabar Pemandangan, 16 Januari 1940, tenggat tersebut tak segera dieksekusi. Antara pemerintah kolonial dan pihak Taman Siswa masih terus menuntut pembatalan pajak tersebut.


Keberhasilan dari Taman Siswa untuk menunda pembayaran tersebut, semakin memperkokoh Nahdlatul Ulama untuk melakukan hal yang sama. Sebagaimana surat yang disinggung di awal, secara jelas ditulis demikian:


“Djikalau menoeroet kejakinan padoeka atoeran padjak itoe haroes kami tjoekoepi, walaupoen sifat dan keadaannja sebagian madrasah N.O. seperti di atas, maka permohonan kami, soepaja disamakan berlakoenja dengan pergoeroean Taman Siswa, sebab tidak ada alasan akan membedakan antara kedoea pendirian itoe.”


Sejak 1938 sebenarnya Nahdlatul Ulama telah melakukan upaya penolakan penerapan loonbelasting terhadap guru-guru madrasah. Meski masih belum diterapkan, tapi penolakan tersebut tak kunjung mendapat kepastian. Bahkan, pada 22 Juni 1939, pemerintah kolonial berkirim surat dengan nomor 1348/Jn tentang kehendak menarik loonbelasting atas sekolah-sekolah NU.


Upaya keras untuk menolak pajak loonbelasting itu, terus dilakukan oleh HBNO. Pada 21 Mei 1940, sebagaimana dimuat ulang di majalah Berita Nahdlatoel Oelama No. 15 Tahun IX (1 Juni 1940), HBNO kembali mengirimkan surat memprotes loonbelasting. Surat yang ditujukan kepada Directeur Departement van Financien itu, dipicu atas adanya petugas pajak yang menagih pajak loonbelasting kepada NU pada 18 dan 21 Mei 1940.


Dalam surat tersebut, poin yang menjadi keberatan dari Nahdlatul Ulama, tentang tidak adanya jawaban pasti akan surat awal dari HBNO. Sebagaimana dibahas di awal, jika belum ada jawaban dari gubernur jenderal Hindia Belanda akan surat NU yang pertama, maka sementara waktu akan melakukan penundaan terhadap pembayaran pajak loonbelasting itu.


Pada Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 10 Tahun IX (15 Maret 1940), sebenarnya HBNO telah memberikan sinyal positif terhadap perubahan jenis pajak yang dikenakan ke guru-guru madrasah. Dari loonbelasting menjadi pajak penghasilan (inkomsten belasting). Hal ini sebagaimana yang diputuskan kepada Taman Siswa yang diwartakan di harian Pemandangan edisi 29 Februari 1940.


Atas serangkaian protes tersebut, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda memanggil HBNO. Pada 20 Juni 1940, bertempat di Gedung Gubernur Jenderal yang kini menjadi Istana Negara, Ketua Umum HBNO KH. Machfudz Shiddiq menghadap langsung. Ia diterima oleh Gubernur Jenderal dan ditemani oleh Adviseur voor Inlandsche Zaken G.F. Pijper.


Dalam Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 17 Tahun IX (1 Juli 1940), Kiai Machfudz menceritakan pertemuan yang berlangsung dengan gayeng tersebut. Mengenai loonbelasting  kepada guru-guru madrasah NU itu, ada dua hal yang disampaikan oleh kiai asal Jember itu. Pertama, antara HBNO dengan madrasah-madrasah NU tersebut tidak ada hubungan finansial yang mengikat. Guru-guru madrasah itu dibayar dengan uang iuran yang dikumpulkan dari para siswa. Jika ada uang lebih, maka dikumpulkan sebagai kas yang nantinya akan dipergunakan untuk gaji guru apabila uang iurannya tidak mencukupi.


Sedangkan yang kedua, Kiai Machfudz juga membantah anggapan para petugas pajak yang beranggapan jikalau guru-guru madrasah itu adalah “buruhnya” HBNO. Bahkan, HBNO tidak kuasa untuk mengangkat ataupun membayar guru-guru tersebut.


Dalam pertemuan itu, Pijper meminta data tentang madrasah-madrasah di bawah naungan NU. Dengan data tersebut, diharapkan akan menjadi acuan pemerintah untuk mengambil keputusan yang tepat perihal loonbelasting. Pijper menyarankan kepada HBNO untuk mengumpulkan data dari Cabang-Cabang NU yang tersebar di seluruh Indonesia.


“Menilik djalannja pembitjaraan besarlah harapan dan kepertatjajaan kami teroetama dengan bantoean padoeka toean Dr. Pijper akan tertjapainja maksoed kita. Amin!”


Selang beberapa hari kemudian, Gubernur Jenderal bersurat kembali ke HBNO. Tepatnya pada tanggal 23 Juni 1940 yang dikirim lewat anggota Volksraad dari golongan Islam, Wiwiho. Kemudian, disusul dengan surat tertanggal 4 Juli 1940 yang dikirim oleh G.F. Pijper yang mengabarkan pertemuan tersebut akan diselenggarakan pada 11 Juli 1940.


Pertemuan yang berlangsung di Batavia itu dihelat pada pukul 09.00 sampai 14.00 waktu setempat. Yang hadir antara lain Wiwoho, KH. Abdul Wahab Chasbullah (Katib Aam HBNO), Kiai Machfudz (Ketua HBNO) dan KH. Zainul Arifin (Konsul Daerah NU Masteer Cornelis). 


Menyikapi pertemuan tersebut, HBNO membuat pernyataan tertulis tertanggal 10 Juli 1940 dengan nomor surat 2237/HB yang ditandatangani oleh KH. Machfudz Shiddiq selaku Ketua HBNO dan sekretarisnya, A.A. Dijar. Ada enam isu yang disampaikan dalam surat yang dimuat dalam Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 19 Tahun IX (1 Agustus 1940) itu. Mulai dari perlindungan jamaah haji, kemerdekaan agama Islam dan perlindungan atasnya, penghentian subsidi bagi agama Kristen, hal waris, hingga peningkatan kesejahteraan umat Islam.


Persoalan loonbelasting sendiri berada di urutan kelima. Ada empat hal yang dikemukakan perihal pajak tersebut. Pertama, madrasah tersebut memiliki kontribusi penting untuk mencerdaskan rakyat jelata. Kedua, para guru yang mengajar di madrasah tersebut tidak berorientasi finansial. Mereka hanya bertujuan untuk mengabdi. 


Sedangkan yang ketiga, tidak ada pihak yang berkewajiban untuk membayar gaji para guru tersebut. Mereka diupah hanya dari iuran murid-muridnya. Sehingga hal tersebut tidak masuk dalam kategori wajib pajak yang diatur dalam loonbelasting. Adapun yang keempat, NU memohon untuk membebaskan pajak upah itu kepada seluruh madrasah Nahdlatul Ulama.


Dengan serangkaian upaya tersebut, akhirnya madrasah-madrasah Nahdlatul Ulama dibebaskan dari pajak loonbelasting. Sama dengan sekolah Taman Siswa yang juga mendapatkan perlakuan yang sama. Dengan sikap tersebut, sejatinya NU tidak menolak pajak. Namun, menempatkan pajak secara proporsional demi kesejahteraan bersama. Bukan begitu?


 Ayung Notonegoro,founder Komunitas Pegon, kolektor naskah langka, penulis buku tentang sejarah NU dan tokoh-tokohnya