Pelarian di Antara Dua Ancaman: Kisah AA Achsien di Pusaran Peristiwa Madiun 1948
NU Online · Rabu, 24 September 2025 | 17:04 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Pada September 1948, tepatnya tanggal 18, menjadi salah satu momen yang mengguncang bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, di saat situasi pelaksanaan Perjanjian Renville, di mana Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Di saat itulah, Front Demokrasi Rakyat (FDR) mendeklarasikan Republik Soviet Indonesia, yang dimulai dari Madiun.
George M Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell SAP, 2003, hlm. 277) menyebut FDR di bawah kepemimpinan Mr. Amir Syarifuddin dan Mr. Tan Ling Djie ini merupakan gabungan dari berbagai elemen, di antaranya Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh, Pesindo, dan SOBSI.
Perlu diingat pula, bahwa situasi politik dan keamanan di Indonesia kala itu, juga tidak lepas dari pengaruh dari situasi global. Perang Dingin yang terjadi pasca-Perang Dunia II, antara blok barat dan timur, Amerika Serikat dan Uni Soviet beserta sekutu masing-masing saling berebut pengaruh ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang baru beberapa tahun memproklamirkan kemerdekaannya.
Alhasil, selain Belanda beserta sekutunya yang kembali ke Indonesia untuk menancapkan kolonialisme, dari kelompok FDR juga melancarkan aksi revolusi agar pengaruh ideologi ala Uni Soviet dapat berkuasa di Indonesia. Keduanya menggunakan cara kekerasan, untuk dapat mendapatkan tujuan yang mereka inginkan.
Dalam konteks peristiwa September 1948, salah seorang tokoh NU dan GP Ansor, H Alwi Abubakar (AA) Achsien, menuliskan kenangannya pada saat meletus peristiwa tersebut. Dalam Harian Duta Masjarakat edisi 18 September 1959, ia menuliskan sebuah judul "Pilih Muso-Amir atau Sukarno-Hatta, Mengenangkan Kembali Pem. Madiun".
Menjelang tanggal 18 September 1948, Achsien berada di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang kala itu berada di Jalan Dr Sutomo No 9, akibat Agresi Militer Belanda yang ke-I. (Mengenai perpindahan kantor PBNU ini, baca: Kantor PBNU dari Masa ke Masa: Pernah di Surabaya, Pasuruan, dan Madiun)
Tepatnya pada tanggal 15 September 1948, Achsien bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH M Dachlan. Ia kemudian diperintahkan untuk ikut membantu kegiatan latihan ulama di Ngawi, yang diselenggarakan oleh PBNU.
Namun, karena merasakan firasat yang tidak enak, alih-alih pergi ke Ngawi, Achsien memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Kudus, dengan menggunakan kereta api. Rutenya melewati Solo, Gundih (Grobogan), Cepu, dan Rembang. Setelah itu, ia akan melanjutkan perjalanannya ke Kudus.
Sewaktu tiba di Gundih, ia sempat bertemu dengan salah satu tokoh NU dan Ansor, Ir Safwan. Achsien pun sempat mendapatkan tawaran untuk membantu kegiatan propaganda NU dan Ansor di Purwodadi Grobogan.
"Kembali saja dapat firasat kurang enak, dan saja menolak dengan djalan halus. Maka, oleh karena itu, saja teruskan perdjalanan saja pulang ke Kudus," tulis Achsien.
Cepu, Rembang, dan Kudus Dikuasai FDR
Benar saja, belum sampai di Kudus, Achsien mengetahui informasi dari radio bahwa pasukan FDR di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin telah memulai pemberontakan di Madiun, dan kemudian menjalar ke beberapa daerah di sekitarnya, termasuk Cepu, Rembang, dan Kudus yang juga telah diduduki FDR.
Hingga ketika akhirnya sampai di Kudus, Achsien mendapatkan berbagai kabar informasi yang membuat ngeri. Dari seorang Kapten TNI bernama R Ishak, ia disarankan agar bersembunyi, sebab Kudus telah diduduki oleh kelompok merah. Beberapa tokoh dari kalangan nasionalis dan agama juga telah dieksekusi.Â
Belakangan, ia juga mendapat kabar, Ir Safwan yang sempat ditemuinya di Stasiun Gundih, nasibnya sungguh tragis. Setelah tertangkap kelompok merah, ia dan beberapa tokoh lainnya di Grobogan dieksekusi mati, dan bahkan setelah itu, jasadnya tidak diketahui rimbanya.
"Kapten Ishak memberi advis kepada saja, supaja saja melarikan diri sadja ke Semarang, dengan pertimbangan: kalau masuk ke daerah Belanda, maka paling banjak akan ditangkap, dimasukkan penjara, tetapi masih hidup, lantaran tentunja dikasih makan dan masih ada harapan untuk lolos dan merdeka lagi, tetapi kalau tertangkap oleh komunis, maka tidak akan ada proses lagi, tentu djiwa akan melajang," ungkap Achsien.
Achsien pun menuruti saran dari Kapten Ishak. Ia menumpang sebuah perahu kecil yang memuat barang dagangan pisang sale, jeruk nipis dan lain-lain, yang memiliki rute dari Wedung Jepara menuju ke Semarang. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam (berangkat sejak pukul empat pagi), sampailah ia di Semarang pada pukul sembilan pagi.
"Sjukur Alhamdulillah, saja terlepas dari tangkapan Belanda dan hanja ditahan kira2 setengah hari sadja dan dilepaskan kembali setelah diperiksa dengan teliti. Tetapi saja lolos, lolos djuga dan bisa kembali ke Bandung dengan selamat," tuturnya.
Beberapa hari kemudian, ia mendengar kabar Kudus dan daerah-daerah lain yang sempat dikuasai oleh FDR, termasuk Madiun, berhasil diamankan kembali oleh Tentara Nasional Indonesia.
KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren (Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2020) menyebut pemberontakan PKI di Madiun praktis dapat dipadamkan dengan cepat setelah Bung Karna berpidato di muka corong RRl dan mempersilakan rakyat Indonesia untuk memilih: "Sukarno-Hatta atau Muso-Amir Syarifuddin.
"Tentu saja tidak sulit bagi rakyat untuk memilih Sukarno-Hatta, dan itu berarti membantu pemerintah menumpas PKI. Dari sisi militer, kekuatan PKI plus komunis-komunis yang bersenjata dan orang-orang bersenjata yang dipengaruhi komunis dapat ditumpas dalam waktu 3 minggu. Pemerintah menggunakan pasukan Siliwangi (tentaraHijrah) sebagai kekuatan inti operasional yang dibantu oleh TN I yang lain, Hizbullah-Sabillilah, dan laskar-laskar rakyat yang setia pada pemerintah." (Berangkat dari Pesantren, 2020, hal 462-463)
Setelah Madiun direbut, situasi keamanan dapat ditertibkan kembali, hingga pada tanggal 15 Desember 1948 Presiden Sukarno mencabut Undang-undang negara dalam keadaan darurat. Muso tewas dalam gerakan penumpasan tersebut. Adapun Mr. Amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Setiadjit, Mayor Jenderal Joko Suyono mati di depan regu tembak.
Meski akhirnya dapat ditumpas, Peristiwa Madiun 1948 ini menjadi sebuah tragedi pahit. Pemberontakan yang diawali dengan perampokan-perampokan, pembakaran-pembakaran, dan penculikan-penculikan, tersebut menelan ribuan korban, termasuk di antaranya para kiai, mubalig, kalangan pamong praja dan lain sebagainya. Semoga peristiwa semacam ini, tak terjadi lagi di Bumi Pertiwi.
Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua