Fragmen

Penghormatan Kiai Ishaq untuk Muridnya

Jumat, 8 Juni 2012 | 07:02 WIB

Tahun 1972, mobil masih tergolong barang langka. Dalam satu kampung, pemilik mobil bisa dihitung dengan jari. Kampung jenis apa saja bisa, kampung di desa maupun di kota. Tentu saja, pasti ada kekecualiannya. Dengan kata lain, ada kampung yang warganya pada punya mobil. Tapi silakan cari sendiri, kampung mana yang banyak mobilnya.

<>
Gandaria, sebuah kampung di Jakarta Selatan, ada seorang yang terkenal gara-gara punya mobil, lebih terkenal lagi, karena ia seorang ulama, Kyai Ishaq Yahya namanya. “Wah, hebat nih ulama kite, bukan hanya punya ilmu agama, tapi juga punya ilmu lari kenceng,” begitu orang berdecak pada Kyai Ishaq. Maksudnya punya ilmu lari kenceng adalah punya mobil.

Ishaq terbilang kiai kondang Jakarta di zamannya. Tentu saja, popularitasnya hadir jauh sebelum masyarakat mendengar nama KH Zainuddin MZ, yang juga asal Gandaria. Karena mobilnya itu, sebuah sedan yang sudah berumur, rutin menyambangi sejumlah titik di Jakarta. Sedan itu membuat kyai kita ini mudah ke mana-mana, bahkan tampak sigap dan cepat.

Selain mendatangi majelis taklim, Kiai Ishaq juga guru agama di sejumlah yayasan pendidikan agama, dan tentu saja ceramah di acara yang diadakan masyarakat, entah itu kawinan, maulidan, dan lain-lain. Dan penguasaannya yang baik dalam “bahasa orang sekolah”, membuatnya sering diundang ke sekolah-sekolah.

Namun, itu semua tidak berlaku untuk kasus berikut. Satu malam, Hasbullah mengadakan kenduri pertemuan (upacara pelepasan naik haji). 

Hasbullah seusia dengan kiai Ishaq. Meski begitu, Hasbullah tetap berguru dan menaruh takzim kepadanya. Hasbullah pernah mengaji dua kitab pada Kyai Ishaq, Riyadlus Shalihin dan Mawahibus Shamad.

Mendengar kabar murid mengadakan kenduri, ia langsung menjulurkan tangan. Kunci mobil diraihnya. Mobil pun melesat cepat dari Gandaria menuju Pondok Pinang Bletan (Timur), kediaman Hasbullah. Tidak jauh, kedua desa ini hanya dipisahkan oleh aliran sungai. Namun, perjalanan akan lama ditempuh dengan jalan kaki karena medan persawahan dan rawa-rawa. Karenanya, Kyai Ishaq memilih mobil, meski harus memutar sedikit jauh.

Sampai di tujuan, masyarakat menghentikan sejenak rangkaian wirid untuk menyongsong kiai. Hasbullah tidak menyana kiai Ishaq datang. Keguggupan Hasbullah sedikit reda setelah menemukan tempat bagi gurunya.

“Ah Ente, kenapa kagak bilang-bilang ada acara?” tanya Kiai kepada muridnya usai pembacaan wirid.“Bukan begitu Kiai, ane khawatir Kiai kerepotan, teganggu,” tanggap Hasbullah sambil menyuguhkan teh pahit.

“Jangan begitu dong. Ente kan ama ana bukan orang lain?” jawabnya enteng sambil merenggut pisang rebus.

Pertemuan ditutup dengan saling mendoakan antara kiai dan muridnya.

Kilasan Kyai Ishaq Yahya
Ishaq Yahya lahir pada 28 April 1928 di Jakarta. Ia mendirikan Pondok Pesantren Miftahul Ulum di halaman rumahnya. Waktunya dihabiskan untuk mengajar dan berorganisasi.

Sejak kecil, ia sangat gemar menuntut ilmu. Tamat di Jamiatul Khair 1949, ia melanjutkan pendidikannya di Mekkah. Di tanah suci, ia menahan diri selama 8 tahun untuk menimba ilmu. Dari kota ini, ia banyak mengambil ilmu dan pengalaman.

Lembaga pendidikan yang dimasukinya adalah Darul Ulum. Nama ini pula yang mengilhami nama pesantrennya di Jakarta. Di lembaga ini, ia belajar kepada banyak guru ahlusunnah wal jamaah. Mereka antara lain Syekh Yasin Alfadani, Guru Muhajirin asal Bekasi, Guru Abdurrazak Makmun asal Mampang, Kiai Ali Syibromalisi asal Mampang, Sayyid Alwy Almaliki, dan lain-lain.

Ia pun aktif dalam NU. Baginya, kiai mesti melek banyak hal, termasuk organisasi. Keorganisasian yang menunjang kekuatan umat, adalah perihal penting. Pendidikannya di Mekkah, menautkannya dengan NU. Karena, banyak kiai NU berjejaring ke Mekkah. Ia Wafat di Jakarta, 28 September 1980 (AlHafiz Kurniawan)