Fragmen

Persinggahan KH Wahid Hasyim di Turipinggir

Sabtu, 21 Juli 2012 | 07:14 WIB

Meski telah 62 tahun berlalu, peristiwa itu masih terkenang dan tertanam  di hati sanubari masyarakat Turipinggir dan diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ya, suatu peristiwa, di saat masyarakat desa Turipinggir mendapatkan penghormatan disinggahi dan ditempati seorang tokoh besar bangsa, putra pendiri NU, Pahlawan Nasional, yaitu KH. A. Wahid Hasyim.<>

Beliau tinggal di desa Turipinggir semasa Perang Kemerdekaan RI (Revolusi Fisik) antara tahun 1945-1950. Zaman Perang Kemerdekaan, disebut sebagai  saat-saat yang sangat sulit, penuh perjuangan dan penderitaan di waktu  usia Republik  Indonesia yang masih sangat muda. Ibukota RI (Yokyakarta) pada 19 Desember 1948 telah  dikuasai Belanda, para pemimpin nasional RI ditangkapi, diantaranya  Presiden dan Wakil Presiden RI yang dibuang ke Pulau Bangka. Tokoh-tokoh nasional yang lain bersembunyi atau mengungsi ke desa dan membaur bersama rakyat biasa. 

Beliau, KH. A. Wahid Hasyim, seorang  tokoh muda NU, pernah menjabat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), adalah tokoh nasional yang mempunyai jasa besar dalam pendirian Republik ini. Beliau juga menjabat sebagai Menteri Negara dalam  Kabinet Presidentil I (1945), dan  Kabinet Syahrir (1946-1947).

Tidak diketahui dengan pasti kenapa beliau memilih pindah   di desa Turipinggir. Mungkin karena lokasi desa tersebut yang berada di ujung barat Kabupaten Jombang,  dan tidak tarlalu jauh dari Tebuireng. Atau juga karena adanya persahabatan yang sudah lama dengan Bapak Munandar (1913 – 1990) dan Bpk. KH. Salamun (1917-2005) yang beliau berdua sering bersilaturrahmi ke rumah para kyai di daerah Jombang. Keduanya juga penganut dan pengamal Tarekat Qodiriyyah wa al-Naqsybandiyyah.

KH. Salamun  adalah santri yang lama mondok  di Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, santri generasi kedua KH. Bisri Syansuri, dan menurut penuturannya beliau menyaksikan sendiri peristiwa perkawinan KH. Wahid Hasyim dengan Ibu Solichah Bisri Syansuri. Mungkin sebelumnya, sudah ada perkenalan dengan KH.A. Wahid Hasyim. Dengan demikian, dengan rentang  usian yang hanya tiga tahun lebih muda dari KH A. Wahid Hasyim,  tentu KH Salamun memberikan rasa  hormat dan ta’dhim kepada menantu gurunya, KH Bisri Syansuri . 

Tidak bisa dipastikan, berapa lama KH. A. Wahid Hasyim berdiam di Desa Turipinggir. Menurut beberapa penuturan, cukup lama, apalagi dalam situasi yang masih bergejolak dan keadaan fisik beliau yang kurang sehat (kaki beliau sakit). Ada yang bercerita, sekitar 4-6 bulan tepatnya  masa di antara Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948 sampai waktu penyerahan Kedaulatan RI oleh Pemerintah Belanda yang dilakukan oleh Ratu Yuliana di Belanda, tanggal 27 Desember 1949). 

Beliau tinggal di  rumah Bpk. Munandar dan Bpk. KH. Salamun. Masjid Baitussalam (yang berada tepat di depan rumah Bpk. Munandar) adalah tempat beliau bersembahyang,  berdzikir dan berdoa. Beliau bermunajat di masjid ini, memohon perkenan doa  Allah SWT akan keselamatan dan kelangsungan bangsa dan  negara di Republik yang masih baru  diproklamirkan. 

Menurut penuturan Bapak Madaim (Ahmad Daim), 79 tahun, saksi peristiwa yang masih hidup hingga sekarang, KH Wahid Hasyim selalu beri’tikaf dan bertafakkur di masjid Turipinggir.  Beliau menderita luka yang cukup lama di jempol kaki kirinya. Sering sekali Belanda mengadakan patroli sampai ke Desa Turipinggir. Bila pasukan patroli Belanda datang, warga desa berhamburan lari menyelamatkan diri. Kebanyakan ke pinggir kali Brantas, atau menyeberang ke wilayah perbatasan di Kabupaten Nganjuk. KH. Wahid Hasyim sering digendong untuk menyelamatkan diri dari kejaran patroli Belanda. Menurut Bpk. KH. Salamun, bila Belanda datang ke Desa Turipinggir dan tidak mendapati warga, Belanda marah-marah sambil merobohkan lemari buku dan membanting buku-buku agama di rumah Bpk. KH. Salamun. 

Akan hal luka di kaki KH A. Wahid Hasyim, menurut penuturan Bpk. Madaim, sembuhnya lama sekali, sampai infeksi (maaf, mborok). Tak pasti apa sebabnya. Ada yang mengatakan karena tersandung benda keras sewaktu lari. Kalau di zaman sekarang,  mungkin beliau ada gejala diabetes. Apabila masuk waktu shalat, KH. A. Wahid Hasyim, menyuruh seorang atau beberapa orang mencarikan debu untuk bertayammum. Nanti beliau pilih debu yang terbaik. Kadang kalau tidak cocok, beliau menyuruh dicarikan lagi debu yang lebih baik. Sering kali, beliau merasa cocok dengan debu yang dicarikan Bapak Madaim. Debu yang terbaik adalah debu dari lumpur kali dari dusun Pulo di tepian Kali Brantas yang sudah mengering.

Dalam sebuah wawancara antara KH. Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI) dengan KH Salamun pada sekitar pertengahan tahun 2002 di  Jl. Wilis, Jombang, di rumah KH. Hasyim Karim dengan didampingi oleh Dr. Drs. Ali  Sukamtono, Msi, (Ketua MWC NU Kec. Megaluh 1991-2002), Bpk. Chudlori Masrur dan KH. Anas Salamun   terjadilah dialog sebagai berikut : 

Gus Dur: Kiai, Bapak saya (KH.A. Wachid Hasyim) kalau ke Turipinggir naik apa?

KH. Salamun : Kadang naik andong (dokar), sambil membawa mesin ketik, tak jarang sewaktu naik andong, beliau menyempatkan diri menulis dengan menggunakan mesin ketik. Kadang juga beliau dibonceng naik sepeda onthel.

Gus Dur : Kiai, Bapak saya kalau ke Turipinggir pakai sandal apa pakai sepatu?

KH. Salamun : Pakai sepatu, ya pakai jas juga.

Gus Dur : Kiai, yang paling digemari Bapak saya kalau makan sukanya pakai lauk apa?

KH. Salamun : Ini Gus, sukanya kalau makan pakai lauk kepala kambing. 

Gus Dur : Siapa yang menemani Bapak saya waktu di Turipinggir?

KH. Salamun : Yang menemani kalau pas Belanda lagi berpatroli  adalah Bpk.  Munandar. Beliau yang menemani KH. A; Wahid Hasyim dengan dibantu beberapa warga, bersembunyi  ke pinggir Kali Brantas, sampai ke Buntu dan Proko (desa tetangga). Sementara kalau keadaan sudah aman, maka yang menemani adalah KH. Salamun. 

Gus Dur :   Kiai, apakah Bapak saya ’wayuh” lagi di Desa Turipinggir? 

KH. Salamun : Mboten pernah Gus.

Gus Dur : Kiai, apa janji KH. A. Wahid Hasyim kepada Kiai?

KH. Salamun :   Beliau berjanji bahwa akan datang kembali ke  ke Desa Turipinggir dengan menaiki kapal muluk (mungkin yang dimaksud helikopter) bila Indonesia sudah merdeka penuh (sayang niatan dan janji  itu tidak pernah kesampaian karena Beliau lebih dulu dipanggil Sang Kekasih dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi, Bandung pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 38 tahun).


Kelak setelah RI mendapatkan kedaulatan penuh dari pemerintah Belanda, beliau menjabat lagi sebagai Menteri Agama pada Kabinet RIS (1949- 1950), Menteri Agama pada Kabinet Natsir (1950- 1951), dan Menteri Agama pada Kabinet Sukiman (1951-1952).    Pada tanggal  24 Agustus 1964, Presiden Sukarno menganugerahkan beliau sebagai  Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sebuah dipan sebagai tempat tidur dan beristirahat   KH A. Wahid Hasyim di  desa  Turipinggir masih terawat baik hingga  sekarang. Hubungan kekeluargaan antara  Keluarga KH A. Wahid Hasyim dengan keluarga Bpk. Munandar dan masyarakat Turipinggir terpelihara  dengan baik, yaitu dengan hadirnya  Nyai Solichah binti KH. Bisri Syansuri dan puteranya KH Abdurrahman Wahid  pada tahun 1974 sewaktu diundang oleh Bpk. Munandar yang mengadakan hajatan sunatan cucunya   Saifuddin Zuhri. Foto-foto kedatangan beliau berdua terlampir. Bahkan Gus Dur dan Ibunya Nyai Solichah telah dua kali datang ke Desa Turipinggir.



Mishbahus Shudur
Ketua Ta’mir Masjid Baitussalam Turipinggir Periode 2011-2015, dan Dosen Bahasa Arab Lembaga Pengembangan Bahasa Arab (LPBA) IKAHA Tebuireng