Sejarah LP Ma'arif NU (1): Jejak-Jejak Perintisan
NU Online · Sabtu, 20 September 2025 | 13:46 WIB
Ayung Notonegoro
Kolomnis
“Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.”
Kutipan di atas merupakan bunyi dari Fatsal 3 poin statuten atau Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama yang pertama kali disahkan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 6 Februari 1930. Kutipan tersebut menegaskan jika sejak awal Nahdlatul Ulama didirikan bertujuan untuk mengembangkan dunia pendidikan.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Salah seorang pendiri NU itu, menyebutkan jika pendirian NU bertujuan untuk mengembalikan kejayaan pendidikan Islam yang mengalami kemerosotan di awal abad 20. Sebagaimana dituliskan pada Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 1 Tahun I, Muharram 1346 H.
“...Wendiona awit punika mangsa dumugi semangkin murid agami Islam mboten munda’ nanging malah saya sudo. Mekoten wahu saking sembrononipun para mengertos hing puniki zaman. Mboten sami tuminda’ kados kang kino…”
Terjemahnya kurang lebih:
“….Sejak zaman itu hingga tiba masa sekarang (1928), murid agama Islam [santri] tidaklah bertambah, malah semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena sembrononya orang-orang yang mengerti [kiai] zaman sekarang. Tidaklah bertindak sebagaimana para ulama terdahulu [yang semangat dan gigih]…”
Kemerosotan jumlah santri itu, bukan semata dugaan. Namun, Kiai Wahab juga melengkapinya dengan data. Ia menyigi kondisi pesantren di empat daerah, Surabaya, Jombang, Sidoarjo dan Mojokerto. Dalam kurun waktu 40-50 tahun terakhir, terdapat penurunan jumlah santri. Di Surabaya, dari 2.065 santri menjadi 1.602 santri. Sedangkan di Sidoarjo dari 1.740, tersisa 484 santri saja. Adapun Jombang setali tiga uang. Dari 2.450 santri menyusut menjadi 1.607 santri.
Hal yang sama juga dialami di Mojokerto. Kota perlintasan antara Jombang ke Surabaya ini, tercatat jumlah santri tersisa 300 saja dari yang awalnya ada 620 santri. Dari 12 lembaga pendidikan yang disigi, bahkan empat di antaranya sudah tutup. Di antaranya adalah Pesantren Melagi, Bangsal, Cakar Ayam (Kiai Hasan) dan Keboan. Bahkan, nama terakhir ini tertulis “risak, kosong, malah dados kali – rusak, kosong dan telah berubah menjadi sungai.”
Bahkan, kegundahan akan merosotnya pendidikan Islam tersebut telah muncul sejak Nahdlatul Ulama belum didirikan. Sehingga melahirkan gagasan untuk mendirikan madrasah yang diberi nama Nahdlatul Wathan. Sebagaimana termaktub dalam iklan yang tercantum dalam surat kabar Islam Bergerak (10 April 1917), Nahdlatul Wathan didirikan untuk menjawab kegundahan tersebut.
“Jaitoelah lantaran dari adanja anak-anak Islam bangsa Boemi-poetera, jang telah sampai oemoernja, kebanjakan koerang mengerti tentang Igama Islam sebagaimana haroesnja, oleh karena tiada dipelihara dan dididik dengan betoel waktoe masih ketjilnja, sehingga mereka itoe selama-lamanja tinggal di dalam koerang pengertiannja tentang hal igamanja. Oleh karena hal jang demikian itoe, maka timboellah fikirannja sebahagian kaoem moeslimin akan mengadakan Sirkah boeat mendirikan Madrasah ini.”
Kondisi tentang merosotnya pengetahuan akan agama Islam itulah yang mendorong untuk mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan. Di madrasah itulah nantinya akan diajarkan berbagai keilmuan, tak hanya tentang keislaman, tapi juga ilmu umum lainnya. Seperti halnya baca-tulis huruf Arab, Latin dan bahasa Belanda.
“...ia akan memberikan pengadjaran hal Igama Islam seperti kitab Fakih, kitab Akaid, kitab Tadjoeid, kitab Nahwu, kitab Sarak dan Falak, setjoekoepnja. Begitoe djoega akan diadjarkannja hal toelis menoelis hoeroef Arab, hoeroef Latjin [Belanda], hitoeng-menghitoeng dan lain-lain sebagainja.”
Nahdlatul Wathan tersebut, merupakan ambisi besar dari para pendirinya untuk mewujudkan prototype pendidikan keislaman yang bermutu. Sebagaimana diungkapkan dalam Het Nieuws Van Den Dag, Voor Nederlandsch Indie, No. 275, Dinsdag 23 November 1915, pendirian Nahdlatul Wathan punya cita-cita yang ambisius. Memajukan pendidikan Islam yang lebih maju dari pendidikan keislaman yang pernah ada, seperti halnya langgar, pesantren dan lain sebagainya (Nahdlatoel Wathan opgericht met het doel de stichting te bevorderen van een godsdienst school, die verder gaast dan de bestaande langgars pesantrens, enz).
Ambisi tersebut tak sekadar menjadi mimpi. Namun, diperjuangkan sedemikian rupa sehingga Nahdlatul Wathan berkembang pesat di berbagai daerah. Di Surabaya dibuka 18 madrasah baru yang berafiliasi dengan NW. Di Malang, NW berkembang di tiap kecamatan dengan jumlah ratusan murid. Di daerah lain juga sama. Mulai dari Banten, Semarang, Jombang, Gresik, Sidoarjo, Lumajang, Jember hingga di Banyuwangi. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Sala: Jatayu Pres, 1984, Hal. 84 - 85).
Di Gresik sendiri, pendirian Madrasah Nahdlatul Wathan cukup progresif. Sebagaimana diwartakan di SNO No. 2 Tahun I, Shafar 1346 H, telah didirikan tiga madrasah di Gresik yang dipelopori oleh Kiai Faqih (Kebongson) yang saat itu berusia 41 tahun. Tiga madrasah tersebut terletak di Blandungan (satu sekolah) dan di Kebongson (dua sekolah). Salah satunya digratiskan untuk anak yatim dan fakir miskin.
Seiring dengan berdirinya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, visi pendidikan yang dikembangkan di Nahdlatul Wathan tersebut mulai terintegrasi. Termasuk pula dengan visi yang termanifestasi pada Taswirul Afkar dan Takmirul Massajid. Keempat organisasi itu, oleh Kiai Wahab disebut dengan “Sekawan perkempalan maksud setunggal – empat organisasi dengan satu tujuan” sebagaimana tercantum dalam SNO, No. 2 Tahun I, Shafar 1346 H.
Simbiosis antara Nahdlatul Wathan dengan Nahdlatul Ulama (juga Taswirul Afkar dan Takmirul Massajid) semakin mengokohkan pengembangan pendidikan Islam di Nusantara. Berbagai lembaga pendidikan baru pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Seperti halnya yang dilakukan oleh NU Sepanjang, Sidoarjo sebagaimana dilaporkan dalam SNO No. 10 Tahun III, Syawal 1348 H.
Dalam laporan berjudul “Ing Sepanjang Bestuur Cabang Nahdlatul Ulama Sampun Ngawontenakan Madrasah-Madrasah” itu, disebutkan jika telah didirikan 20 madrasah di wilayahnya. Berikut adalah nama-nama madrasahnya tersebut:
Madrasah Bebekan, Sepanjang (400 murid anak-anak), Madrasah Pandehan, Waru (250), Madrasah Kiriman, Waru (140), Madrasah Kasmin, Sukodono (150), Madrasah Melathin, Karangpilang (50), Madrasah Gedangan, Sidoarjo (60), dan Madrasah Kriyan (160).
Selain itu, ada sejumlah yang terdiri dari murid-murid dewasa. Di antaranya adalah Madrasah Kelitik, Taman (150), Madrasah Karangpilang (100), Madrasah Pandehan, Waru (80), Madrasah Kiriman, Waru (60), Madrasah Melathin, Karangpilang (50), Madrasah Bandar, Sepanjang (140), Madrasah Wonocolo (110), Madrasah Ketikan, Taman (60), Madrasah Gedangan, Sidoarjo (50), Madrasah Meyanggung, Taman (60), Madrasah Guluran, Taman (80), Madrasah Wiyung, Karangpilang (68), dan Madrasah Kriyan (80).
Selain itu, di Madrasah Bebekan juga diselenggarakan Nahdlatus Syibyan yang menjadi aktivitas tambahan bagi pelajar. Di mana, dalam organisasi tersebut, mereka menghelat pembacaan Maulid Barzanji secara bergiliran dari rumah ke rumah anggotanya.
Perkembangan tersebut juga berlaku sebaliknya. Tatkala NU mulai merintis berdirinya cabang kepengurusannya di berbagai daerah pada 1927, stakeholder madrasah yang telah eksis sebelumnya lantas menjadi figur-figur utama dalam pendirian Cabang NU itu. Seperti di NU Cabang Mojokerto yang didirikan pada 18 Dzulqaidah 1347 H/ 28 April 1929. Sebagaimana diberitakan pada SNO No. 7 Tahun II, Rajab 1347 H, saat itu yang terpilih sebagai Rais Syuriyah pertamanya adalah KH Zainul Alim yang merupakan salah satu pendiri Madrasah Al-Muhsinun, Mojokerto. Begitu pula di Sidoarjo, Gresik, Jember dan lain sebagainya.
Perkembangan pendidikan Islam maupun Cabang NU ini semakin menegaskan jika NU dan pendidikan ibarat dua keping mata uang yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling menguatkan. NU tanpa dunia pendidikan kehilangan khittahnya, pendidikan Islam (madrasah) di Nusantara tanpa melibatkan NU akan hilang ruhnya. (Bersambung)
Ayung Notonegoro, pemerhati sejarah NU, founder Komunitas Pegon
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua