Internasional

Jejak Islam di Kamboja (5): Kondisi Kehidupan Muslim Keturunan “Champa”

Jumat, 8 Desember 2017 | 06:59 WIB

Phnom Penh, NU Online 
Setelah sebulan menjalani program magang di Kingdom of Cambodia, di sela-sela itu akhirnya saya bisa mengunjungi kawasan Chrang Chomres, Phnom Penh. Kawasan dipinggiran ibu kota negara yang berjuluk “Negeri Seribu Candi” ini terdiri dari tiga kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kawasan ini juga dikenal dengan KM. 7, 8, dan 9, sebab di situ merupakan jalur lintas yang menghubungkan ibu kota ke daerah-daerah.

Di Masjid Jamee’ Yassir bin Ammar yang berlokasi di KM. 9, selepas menunaikan ibadah Shalat Jumat (1/12), saya berjumpa dengan Muhammad Irsyad bin Muhammad Nuh, laki-laki berumur 50 tahun yang menjadi imam masjid setempat. Beruntungnya, ia bisa berbahasa Melayu, sehingga memudahkan saya untuk berkomunikasi.

Ada hal yang tak terduga sebelum mengunjungi kawasan tersebut. Ustadz Irsyad, begitu saya menyapanya, menceritakan bahwa mayoritas penduduk yang hidup sepanjang jalur KM. 7-9 merupakan muslim keturunan “Champa”. Istilah Champa begitu terkenal terutama di Indonesia, sebab sejarah penyebaran Islam di pulau Jawa berasal dari Kerajaan Champa, sebagaimana kisah Sunan Ampel dan Sunan Gunung Djati yang mempunyai garis keturunan Champa.

Ustadz Irsyad yang juga Wakil Mufti Majlis Tertinggi Umat Islam Kamboja itu mengatakan bahwa dahulu Vietnam tidak ada, adanya negara Champa. Namun ia menilai itu adalah masalah politik, ia tidak berani banyak berkomentar soal itu. Yang jelas, kepindahan etnis Cham ke Kamboja karena mengalami genosida dari Kerajaan Dai Viet (Vietnam bagian utara). 

Seperti data yang saya temukan, Dai Viet melakukan invasi pada 1471. Saat itu, komunitas Champa sudah menganut agama Islam. Invasi ini merupakan awal kehancuran Champa secara massif yang berujung pada terhapusnya negara Champa dari peta dunia. Ibu kota Vijaya dihancurkan, yang menelan korban hingga puluhan ribu. Peristiwa ini memicu emigrasi besar-besaran dari rakyat Champa yang tersisa ke Kamboja (Khmer), Malaka, Aceh dan wilayah lain di Sumatera.

Di kawasan Chrang Chomres, mereka juga disebut Melayu-Cham sebab adanya percampuran etnis warga muslim di kawasan tersebut. Selain itu, di Kamboja ada dua etnis muslim, Melayu-Cham dan Jawi Indonesia. Melayu-Cham yang paling bertempat tinggal wilayah Kampong Cham, sedangkan Muslim Jawi bermukim di sebuah kampung dekat perbatasan dengan Thailand.

Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Khmer sebagai bahasa resmi Kamboja, dan bahasa Cham. Uniknya, beberapa bahasa Cham mirip dengan bahasa Melayu, seperti kata tang (tangan), ta (mata), tenye (telinga), dung (hidung). Namun untuk khutbah Jumat di masjid menggunakan bahasa Khmer untuk mempermudah jamaah selain keturunan Cham. Kalau di madrasah, bahasa yang sering digunakan justru bahasa Melayu dan Arab.

Total jumlah di tiga kampung ini mencapai 4.000 keluarga dengan tiap keluarga berjumlah 3-6 orang. Mata pencaharian mereka ada yang menjadi supir tuk-tuk (kendaraan umum khas Kamboja yang bisa memuat hingga 20 orang), penangkap ikan di sungai Tonle Sap (anak sungai Mekong), pedagang, buruh pabrik, ada juga perangkat pemerintahan.

Adapun mazhab yang dianut oleh muslim keturunan Cham ini hampir semuanya bermazhab Syafi'i. Tradisi masyarakat juga ada Maulid Nabi, ziarah kubur, pembacaan yasin dan tahlil. Ketika beribadah, mereka sering memakai sarung dan peci putih, beberapa juga menggunakan jubah, namun bawahnya tetap memakai sarung.

Meskipun masyarakat Kamboja beragama Buddha sebagai agama resmi, tapi pihak Kerajaan Kamboja membebaskan umat Islam untuk menjalankan kegiatan keagamaan. Bahkan beberapa tahun belakangan, pihak Kerajaan memberikan gaji (semacam tunjangan) seperti guru-guru di sekolah. Tunjangan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan kepada sekitar 1500 ustadz yang biasanya mengajar di masjid, surau, dan rumah-rumah warga. (M. Zidni Nafi’, Peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri Kemenpora RI 2017).