Yuhansyah Nurfauzi
Kolomnis
Apa hikmah kebiasaan berpuasa atau tidak berpuasa dalam bulan Sya'ban berdasarkan Thibbun Nabawi? Apa relevansi anjuran untuk tidak berpuasa di pertengahan hingga akhir bulan Sya’ban dalam konteks kekinian?
Puasa di bulan Sya’ban tidak ditentukan jumlah hari pelaksanaannya. Ada yang melaksanakannya sejak hari pertama, bersama dengan puasa hari Senin dan Kamis, dan ada pula yang 3 hari berturut-turut pada pertengahan bulan. Sebagian kaum Muslimin tidak mengkhususkan tanggal atau hari tertentu. Dengan kata lain, mereka melaksanakan puasa Sya’ban sekehendaknya.
Apabila dimulai dari awal bulan Sya’ban hingga pertengahannya, pola Senin-Kamis akan menghasilkan 4 hari puasa. Apabila mengambil konsep Ayyamul Bidh, maka umat Islam minimal akan mendapatkan 3 hari puasa, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Sya’ban. Seseorang yang terbiasa berpuasa dapat memperoleh bilangan hari yang lebih banyak tergantung pada kebiasaan puasa sebelumnya.
Beberapa model puasa Sya’ban sudah tentu bermanfaat untuk melatih kesiapan seseorang memasuki Ramadhan. Islam tidak mematok jumlah hari untuk berpuasa Sya’ban sehingga masing-masing orang dapat mengamalkannya sesuai dengan kemampuan. Uniknya, bila seseorang tidak terbiasa berpuasa sunah, maka dua pekan sejak pertengahan hingga akhir Sya’ban justru tidak dianjurkan untuk berpuasa.
Apa hikmah kebiasaan berpuasa atau tidak berpuasa berdasarkan Thibbun Nabawi? Apa relevansi anjuran untuk tidak berpuasa di pertengahan hingga akhir Sya’ban dalam konteks kekinian?
Di dalam kitab At-Thibbun Nabawi, Al-Hafizh Ad-Dzahabi membahas tentang penjagaan terhadap kebiasaan atau pola hidup. Salah satu pola hidup yang perlu dijaga kebiasaannya adalah pola makan yang sehat. Diet atau pola makan menjadi salah satu resep hidup sehat dan dapat menjadi obat bagi banyak penyakit. ( Az-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 61-62).
Ajaran tentang pola makan mempengaruhi kesehatan manusia yang mengamalkannya. Orang yang memiliki riwayat penyakit lebih patut untuk melaksanakan ajaran kebiasaan diet berdasarkan kemampuan tubuh. Karena itu, konsep kebiasaan juga relevan dengan kegiatan puasa Sya’ban bagi kaum Muslimin yang status kesehatannya berbeda-beda.
Karena perbedaan riwayat kesehatan individu itulah, dimungkinkan pengamalan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانَ فَلَا تَصُومُوا. رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, sungguh Rasullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Ketika Sya’ban sudah melewati separuh bulan, maka janganlah kalian berpuasa.” (HR Imam Lima: Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Pada zaman modern seperti sekarang, jumlah orang yang mengalami gangguan lambung terus meningkat. Pasien dapat mengalami berbagai kondisi mulai dari gejala yang paling ringan seperti dyspepsia hingga yang lebih berat seperti gastritis kronis. Kelompok seperti ini bisa saja tidak dianjurkan berpuasa rutin di luar Ramadhan oleh dokternya.
Mungkin saja mereka berpuasa sunah dalam frekuensi yang tidak sering. Ketika Sya’ban datang, mereka juga ingin mengamalkan sunah Rasul dengan ikut berpuasa Sya’ban. Namun, ketika Ramadhan semakin dekat, lambung mereka harus dipersiapkan secara khusus agar ibadah wajib puasa Ramadhan tetap dapat dijalankan tanpa mengalami gangguan kesehatan.
Karena itu, bila sudah lewat tanggal 15 Sya’ban, orang yang tidak biasa berpuasa hendaknya tidak berpuasa hingga akhir Sya’ban. Konsep ini dikenal sebagai kebiasaan seseorang di dalam diet. Apabila tidak terbiasa berpuasa, justru kondisi tubuhnya akan lebih siap untuk memasuki bulan Ramadhan.
Meskipun tidak berpuasa, seseorang yang menjalani sisa bulan Sya’ban juga tidak dianjurkan untuk makan sebanyak-banyaknya. Porsi makan secukupnya dan teratur adalah yang paling ideal untuk tetap menjaga kebugaran tubuh. Besaran porsi makanan itu sangat erat kaitannya dengan kesehatan lambung dan usus menjelang bulan Ramadhan.
Sebagai seorang mukmin, umat Islam hendaknya mengamalkan ajaran Rasulullah saw tentang karakter di dalam mengonsumsi makanan yang membedakannya dengan orang tidak tersentuh ajaran Islam. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyifati mereka dengan cara makannya yang melibatkan tujuh perut, sedangkan orang beriman makan dengan satu perut.
Lambung berbentuk seperti kantung dan volumenya dapat berubah. Karena sifatnya yang fleksibel, lambung dapat membesar dan mengecil dengan mudah. Apabila seseorang telah terbiasa menahan lapar dan dahaga, maka lambung juga terbiasa dalam volumenya yang kecil.
Sebaliknya, bila seseorang telah terbiasa makan dalam waktu-waktu yang teratur, maka lambung juga dapat mengenali kebiasan itu.
Apabila sudah waktunya diisi tetapi terlambat, maka asam lambung yang terlanjur keluar bisa merepotkan. Inilah sebabnya ketika seorang yang memiliki riwayat penyakit lambung merasa perih ketika terlambat makan.
Puasa sunah tentu berbeda dengan puasa wajib. Puasa Sya’ban sebagai contoh puasa sunah dalam hal ini sangat relevan untuk menjelaskan fenomena orang yang memiliki riwayat penyakit lambung. Ketika dianjurkan untuk makan sedikit-sedikit tetapi sering, tentu seseorang yang memiliki gangguan lambung diarahkan untuk tidak terlalu sering berpuasa di bulan Sya’ban.
Ketika puasa Ramadhan, Allah yang mewajibkannya kepada umat Islam akan memberikan pertolongan kepada pemilik gangguan lambung. Mereka yang masih memungkinkan untuk berpuasa dapat berpuasa sebulan penuh dan bahkan menjadi lebih sehat. Fenomena ini tentu sebagai bentuk keadilan dan kebesaran Allah Yang Maha Kuasa pada perintah puasa wajib Ramadhan.
Untuk menyiapkan energi yang cukup ketika memasuki Ramadhan itulah, orang yang tidak biasa berpuasa sebaiknya mengatur pola makannya selama dua pekan di sisa bulan Sya’ban dengan baik. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini bisa jadi adalah pemilik gangguan lambung kronis, anak-anak, lansia, atau pasien diabetes mellitus. Tidak tertutup kemungkinan pula generasi muda yang memiliki kesibukan luar biasa, pekerja berat, maupun orang yang baru sembuh dari sakit juga masuk dalam kelompok tersebut.
Berdasarkan ajaran puasa di bulan Sya’ban, selayaknya kaum Muslimin melihat kebiasaan pola makannya. Selanjutnya, dimungkinkan mengamalkan puasa sunah Sya’ban sesuai dengan kondisi kesehatan. Bagi yang tidak berpuasa sunah Sya’ban karena riwayat kesehatan, dapat juga menerapkan kebiasaan makan sehat dengan teratur agar lebih siap menghadapi ibadah puasa wajib di Bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua