Kesehatan

Waktu Ideal Makan Buah-Buahan saat Berbuka Puasa sesuai Thibbun Nabawi

Sabtu, 30 Maret 2024 | 17:45 WIB

Waktu Ideal Makan Buah-Buahan saat Berbuka Puasa sesuai Thibbun Nabawi

Buah - Rambutan (NU Online - Ahmad Muntaha AM)

Buah-buahan termasuk hal yang sering disebut dalam Al-Quran. Penyebutannya sering didahulukan daripada makanan yang lainnya. Apakah penyebutan buah yang didahulukan dibandingkan dengan makanan lain itu memiliki hikmah secara khusus? Mengapa ketika berbuka puasa salah satu kesunnahannya adalah dengan kurma yang merupakan buah-buahan? Bagaimana tinjauan Thibbun Nabawi dalam mengonsumsi buah?
 

Buah-Buahan dalam Al-Quran dan Hadits

Ilmu pengetahuan masa kini telah membuktikan bahwa buah-buahan yang dikonsumsi sebelum makan akan mempermudah proses pencernaan. Buah-buahan mengandung senyawa gula buah atau fruktosa yang kalorinya rendah sehingga mudah diserap oleh tubuh. Karena itu, saluran pencernaan dapat menyerap kandungan gula dalam buah secara singkat segera setelah dimakan.
 

Efek baik dari kandungan gula buah yang mudah diserap adalah membuat tubuh menjadi segar kembali, menghilangkan rasa lapar, dan mengurangi kadar gula darah yang menumpuk di dalam tubuh. Berdasarkan efek inilah, buah dipilih sebagai makanan untuk berbuka puasa. Karena di Arab buah kurma adalah buah yang sangat mudah ditemukan, maka tidak mengherankan bila dipilih untuk berbuka puasa.
 

Kondisi puasa identik dengan perut yang kosong. Karena itu, apabila ada makanan yang dipilih oleh Nabi Muhammad ketika berbuka puasa, maka itu adalah makanan ideal yang sangat baik dikonsumsi sebelum makan. Dalam hadits, telah dikenal bahwa kurma adalah buah yang dianjurkan sebagai makanan pertama saat buka puasa.
 

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ
 

Artinya, “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah ia berbuka dengan buah kurma karena buah kurma mengandung berkah.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi).
 

Selain di dalam hadits, salah satu penyebutan buah yang didahulukan dari bahan makanan lainnya ada pada tata urutan ayat di dalam Al-Quran, yaitu surat Al-Waqi’ah ayat ke-20 sebagai berikut:
 

وَفَاكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُوْنَۙ
 

Artinya, “(Mereka menyuguhkan pula) buah-buahan yang mereka pilih.”
 

Setelah itu, baru di ayat ke-21 surat Al-Waqi'ah disebutkan makanan yang lain yaitu dari jenis daging burung
 

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُوْنَۗ
 

Artinya, “Dan daging burung yang mereka sukai.”
 

Tinjauan Aspek Kesehatan

Apabila dilihat dari aspek kesehatan, mengonsumsi buah-buahan sebelum makan dapat dipahami dengan urutan proses pencernaan makanan. Jika seseorang langsung mengonsumsi makanan yang beraneka ragam, lambung memerlukan waktu hingga tiga jam agar selanjutnya usus dapat menyerap makanan tersebut dengan optimal. Dalam jangka waktu tersebut, perasaan seseorang dapat tetap lapar meskipun telah memenuhi perutnya dengan berbagai makanan.
 

Hal yang berbeda akan terjadi bila mengonsumsi buah terlebih dahulu sebelum makan makanan yang lain. Selain mudah dicerna dan diserap, kandungan gula buah atau fruktosa yang rendah kalori adalah bahan bakar siap guna bagi sel-sel tubuh. Sel tubuh yang menyerap fruktosa dengan cepat adalah sel-sel yang terdapat pada dinding usus halus yang disebut vili.
 

Sel-sel di vili usus merespons dengan cepat kehadiran gula buah yang sampai di usus halus. Setelah mendapatkan energi dari gula buah, sel-sel usus itu lalu menjalankan fungsinya dengan menyerap berbagai makanan lain yang dikonsumsi oleh seseorang setelah makan buah. Inilah salah satu hikmah bahwa penyebutan buah didahulukan daripada makanan lainnya di dalam Al-Qur’an dan Hadits (Editor: Sakho Muhammad, 2010, Ensiklopedi Kemukjizatan Ilmiah dalam Al-Quran dan Sunnah, PT Kharisma Ilmu, Jakarta: halaman 167-168). 
 

Tinjauan Aspek Thibbun Nabawi

Dari aspek Thibbun Nabawi, konsumsi buah sering disebutkan sebaiknya pada saat perut sedang dalam kondisi kosong. Perut kosong mudah dipahami ketika berbuka puasa atau sebelum makan makanan lainnya. Namun, ternyata perut kosong juga bisa terjadi sekitar dua jam setelah makan makanan besar.
 

Waktu pengosongan lambung dapat terjadi karena lambung memerlukan waktu untuk menampung makanan yang masuk ke dalamnya untuk sementara waktu, lalu meneruskannya ke usus hingga lambung kosong kembali. Karena itu, apabila seseorang terlanjur makan makanan selain buah seperti nasi dan lauk pauk maka buah masih bisa dikonsumsi setelah perut kosong kembali.
 

Kondisi itu terjadi sekitar 1-2 jam setelah seseorang mengonsumsi makanan berat.
Beberapa contoh buah yang disebutkan dalam kitab At-Thibbun Nabawi sangat baik dikonsumsi dalam keadaan perut kosong. Buah tin, kurma, anggur kering (kisimis) dan quince (safarjal) sebaiknya dikonsumsi pada saat perut dalam keadaan kosong. Selain buah tersebut, konsumsi kacang-kacangan seperti almond dan walnut juga sebaiknya pada saat perut dalam kondisi kosong (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 91-92).
 

Ketika seseorang berpuasa dan bangun pada sepertiga malam terakhir, kondisi perut juga dalam keadaan kosong. Hal ini terjadi karena makanan yang dicerna sejak buka puasa pada malam hari telah selesai dikosongkan oleh lambung dan telah terserap oleh usus. Karena itu, konsumsi buah juga sangat baik ketika dilakukan sebagai makanan pembuka saat sahur.
 

Berdasarkan uraian tersebut, konsumsi buah sebenarnya tidak harus pada waktu sebelum makan. Secara umum, memang kondisi perut kosong merupakan saat yang tepat untuk mengonsumsi buah. Kondisi perut kosong itu dapat terjadi pada saat sebelum makan, bangun tidur, atau dua jam setelah makan.
 

Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari kandungan nutrisi buah-buahan, selayaknya kaum muslimin memperhatikan waktu yang tepat untuk mengonsumsi buah-buahan itu. Selain mendapatkan energi yang optimal dari kandungan gula buah, maka manfaat kesehatan dari buah-buahan itu semakin terasa ketika dikonsumsi saat perut kosong. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memilih buah-buahan yang telah masak agar manfaat nutrisinya diperoleh secara optimal oleh tubuh. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.