Nasional

3 Makna Bencana dalam Pandangan Islam

NU Online  ·  Senin, 1 Desember 2025 | 17:00 WIB

3 Makna Bencana dalam Pandangan Islam

Ilustrasi bencana alam. (Foto: Canva/NU Online)

Jakarta, NU Online

Indonesia kembali diguncang oleh banjir besar, tanah longsor, dan gempa dari Aceh, Sumatra, hingga Jawa. Dalam pandangan Islam, bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan bagian dari sunnatullah yang mesti disikapi dengan bijak sebagai ujian, peringatan, dan panggilan moral.


Sri Dewanto Pinuji dalam artikelnya berjudul Bencana dalam Pandangan Islam mengklasifikasikan makna bencana menjadi 3 macam.


"Seringkali suatu kejadian bencana dihubungkan dengan azab atau pembinasaan, bencana diartikan sebagai hukuman Tuhan kepada manusia karena tidak mematuhi perintah Tuhan. Padahal sesungguhnya terdapat tiga macam artian bencana bagi seseorang," tulisnya, dikutip pada Ahad (30/11/2025).


Pertama, bencana dimaknai sebagai bala'. Menurut Sri Dewanto, bencana tersebut sebagai ujian yang mengangkat derajat seseorang jika ia mampu melewatinya dengan baik, penuh kesadaran, keikhlasan, dan tawakkal.


"Bala' memperkuat keimanan dan memperkokoh ketaatan seorang hamba. Bahkan, bala' juga menjadi media peleburan dosa bagi hamba yang mampu menjalaninya dengan baik dan penuh kesabaran," terangnya.


Kedua, bencana dimaknai sebagai hukuman atau iqab. Kata Sri Dewanto hal tersebut terjadi jika manusia melampaui batas dengan melanggar aturan Tuhan.


"Contohnya manakala manusia mengeksploitasi sumber daya alam sehingga merusaknya dan mengganggu keseimbangan alam," ungkapnya.


Ketiga, bencana dimaknai sebagai pembinasaan atau azab. Sri Dewanto menjelaskan bahwa bencana ini adalah apa yang terjadi pada umat terdahulu yang menolak ajakan para nabi untuk bertauhid kepada Allah.


"Manakala para nabi itu menyerukan keimanan, suatu kaum justru kian asyik tenggelam dalam kekufuran. Sebagai respon dari ketidakpatuhan secara berkesinambungan tersebut, maka Allah mengirimkan musibah yang membinasakan suatu kaum," ujarnya.


Hal itu diperkuat oleh pendapat Abdul Wahab Ahmad. Dalam artikelnya yang berjudul Bolehkah Menghubungkan Gempa Bumi dengan Teguran Tuhan?, ia mengatakan bahwa bencana gempa bumi atau bencana alam lainnya tidak bisa langsung ditafsirkan sebagai teguran Tuhan.


"Dari aspek teologis tak ada kekhususan dalam hal bencana alam dari kejadian apapun. Bila bicara soal teguran Tuhan, maka teks-teks agama Islam menegaskan bahwa semua hal bisa menjadi bentuk teguran Tuhan," ungkapnya.


Wahab lantas memberi contoh bahwa sakit, rezeki yang sulit, gagal panen, kematian, dan segala ketidaknyamanan bisa menjadi bentuk teguran Tuhan agar seorang hamba kembali mengingat-Nya.


"Rasa berat dan enggan untuk beribadah juga bentuk teguran yang paling nyata. Selain itu, ada juga teguran yang tampak sebagai kenikmatan, misalnya kekayaan, kesuksesan dan umur panjang yang disertai meningkatnya jumlah maksiat," terang Wahab.


Ia menjelaskan bahwa teguran semacam itu disebut sebagai istidrâj dan ini banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadits.


"Jadi, jangan gegabah memvonis bahwa korban gempa bumi adalah orang-orang yang mendapat teguran (azab) dari Allah. Vonis semacam ini dilarang sebab hanya Allah yang tahu rahasia di balik setiap kejadian," ujarnya.


Ia menambahkan bahwa dulu umat dapat mengetahui bahwa suatu bencana merupakan teguran Tuhan terhadap suatu kaum itu sebab ada seorang Nabi yang menjelaskannya.


Namun di era ketiadaan Nabi seperti sekarang, kata Wahab, manusia hanya bisa berprasangka dan Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa kebanyakan prasangka itu adalah dosa.


Dari sisi teologis, Wahab berpendapat bahwa peristiwa yang dialami manusia seluruhnya adalah bagian dari kehendak Allah yang sudah tercatat seluruhnya di Lauh Mahfudz. Ia lantas mengutip Qur'an dalam Surah Al-Hadid ayat 22, yang artinya:


"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."


Oleh karenanya, Wahab menekankan bahwa gempa bumi tak mempunyai status khusus yang berbeda dengan seluruh kejadian lainnya, seperti tersandung, jatuh, pegal-pegal, tertusuk duri dan seterusnya.


"Semuanya terjadi atas izin Allah (qadar) dan sudah tercatat proses kejadiannya sejak sebelum alam semesta tercipta (qadla’). Ini adalah konteks teologis murni yang letaknya ada dalam hati sebagai bagian dari keimanan seorang Muslim," tutupnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang