Nasional

6 Cara Cegah Perundungan dan Kekerasan Seksual di Pesantren

Selasa, 24 September 2024 | 11:00 WIB

6 Cara Cegah Perundungan dan Kekerasan Seksual di Pesantren

Ilustrasi stop perundungan. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Maraknya kasus kekerasan dalam bentuk perundungan hingga seksual di pesantren. Maka perlunya pencegahan untuk memutuskan mata rantai kekerasan yang kerap terjadi.


“Jika kita tidak memutus mata rantai senioritas di pesantren, maka kasus kekerasan akan terus terjadi,” ujar Khumaero, Kepala SMK Maarif Al-Munawwir, Yogyakarta kepada NU Online Senin (23/9/2024).


Khumaero menyampaikan terdapat enam cara pencegah kasus kekerasan di pesantren. Pertama, membangun lingkungan belajar dan keseharian yang aman. Hal tersebut dapat dilakukan ketika santri baru menjalani masa awal pengenalan pesantren maupun mengaplikasikan dalam kehidupan kesehariannya. 


“Santri baru wajib disosialisasikan pada masa pengenalan pesanten maupun kesehariannya memang harus diaplikasikan dengan sebenar-benarnya,” ujarnya.


Ia menambahkan contoh pengaplikasian yang dapat dilakukan seperti penggunaan tutur kata yang baik, kesopanan, dan keterbukaan terhadap santri, sehingga santri yang melihat kiai, ustad, guru, dan tenaga pendiknya melakukan hal tersebut membuat santri merasa lingkungan belajar selama di pesantren menjadi nyaman dan aman. Sehingga santri mudah untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.


Kedua, tenaga pendidiak harus mengawasi aktivitas santri. “Dibukanya pesantren maka kiai, ustad, dan tenaga pendidik harus mau mengawasi santri-santrinya selama 24 jam selama di pesantren sebagai bentuk tanggung jawabnya,” ujar Khumaero.


Ketiga, tenaga pendidik mendampingi permasalah santri dapat melalui guru bimbingan konseling (BK) atau wali kelas.


“Tenaga pendidik harus bertanggung jawab untuk melindungi santri dari kekerasan dapat melalui guru bk atau tenaga pendidik lainnya,” ungkapnya.


Keempat, pendidikan karakter dan moral melalui nilai toleransi, empati, dan saling menghargai. Latar belakang santri yang berbeda-beda ini, penting untuk mengajarkan toleransi, empati, dan saling merhargai sehingga santri akan merasa nyaman di pesantren.


“Kiai, guru, ustadz, dan tenaga pendidik harus mampu megajarkan pendidikan karakter dan moral melalui sikap toleransi, empati, dan saling menghargai sehingga santri baru yang baru datang kepesantren dengan latar belakang yang berbeda-beda merasa tidak tertolak dan aman di lingkungan pesanten,” ujar Khumaero.


Kelima, pesantren dan orang tua membangun komunikasi yang aktif dan terbuka. Dengan membangun komunikasi yang aktif dan terbuka, harapannya orangtua menjadi lebih percaya akan pendidikan pesantren.


“Kunci utamanya adalah komunikasi dan keterbukaan, sehingga kegiatan belajar di pesantren membuat orang tua percaya dan yakin menitipkan anaknya,” ujarnya.


Terakhir, menyusun dan mensosialisasikan prosedur-prosedur layanan pengaduan. Pesantren perlu memiliki tim penanganan kasus kekerasan baik secara verbal dan fisik, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan sebagai bentuk menghargai korban kekerasan.


“Pesantren harus tegas memberikan sanksi kepada pelaku sebagai bentuk menghargai korban, kita berharap kejadian kekerasan tidak akan terulang lagi,” ujarnya.


Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat menegaskan pesantren perlu memastikan sanksi penjeraan terhadap pelaku kekerasan dan menjamin hak korban atas pendidikan serta pemulihan dari dampak kekerasan seksual yang dialami.


“Pesantren perlu memastikan sanksi penjeraan terhadap pelaku tindak kekerasan seksual yang dilakukannya dan menjamin hak korban atas pendidikan serta pemulihan penuh dari dampak kekerasan seksual yang dialami,” ujar Rainy kepada NU Online Selasa (24/9/24).


Ia juga menambahkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren harus menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan tidak  hanya sanksi administrasi.