AJI Minta Media Terapkan SOP Kekerasan Seksual: Keamanan Jurnalis Perempuan Harus Jadi Prioritas
NU Online · Rabu, 26 November 2025 | 14:30 WIB
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dalam Diskusi Publik bertema Mekanisme Keselamatan Jurnalis Perempuan dan Pentingnya Menyusun SOP Perlindungan Serta Penanganan Kekerasan Seksual di Media yang digelar secara daring, Rabu (26/11/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube AJI Indonesia)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menegaskan bahwa keamanan jurnalis perempuan harus menjadi prioritas dalam kerja redaksi dan meminta seluruh media menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Kekerasan Seksual secara konsisten.
Hal itu disampaikan Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dalam Diskusi Publik bertema Mekanisme Keselamatan Jurnalis Perempuan dan Pentingnya Menyusun SOP Perlindungan Serta Penanganan Kekerasan Seksual di Media yang digelar secara daring, Rabu (26/11/2025).
Nany menekankan bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan dalam proses peliputan. Ia mempertanyakan apakah ruang redaksi di berbagai media sudah benar-benar aman bagi jurnalis perempuan dan kelompok rentan?
“Saya percaya bahwa tidak ada berita yang layak ditulis dengan mengorbankan martabat orang lain. Kita bicara kebebasan pers, tetapi apakah ruang redaksi kita sudah benar-benar aman untuk perempuan dan kelompok rentan?” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan media masih terjadi dan sering dilakukan oleh narasumber, atasan, maupun rekan sekerja. Merujuk riset AJI, pelaku terbanyak justru berasal dari sesama jurnalis.
“Kekerasan seksual itu ada di dalam ruang redaksi, itu ada, dan itu terjadi. Riset AJI menunjukkan pelaku yang paling banyak justru adalah rekan kerja,” ungkapnya.
“Mereka menganggap itu cuma bercanda, padahal itu kekerasan. Saya belum tahu apakah peraturan Dewan Pers sudah benar-benar diterapkan di banyak media,” tambahnya.
Nany menambahkan bahwa pemimpin redaksi memiliki peran penting dalam membentuk budaya kerja yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual. Ia mengingatkan bahwa kasus di internal media dapat merusak kepercayaan publik.
“Kita bukan hanya penentu angle berita, tapi penentu budaya kerja. Kalau ada kasus kekerasan seksual di redaksi, itu bisa menghancurkan kepercayaan publik terhadap kita,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota Satgas Kekerasan Seksual AJI Ira Rachmawati memaparkan bahwa riset AJI tahun 2023 menunjukkan 82,6 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Dalam satu tahun terakhir, AJI mencatat 25 kasus yang melibatkan narasumber, aparat, dan sesama jurnalis.
“Dari 852 jurnalis perempuan, 82,6 persen pernah jadi korban kekerasan seksual. Dalam satu tahun terakhir kami mencatat 25 kasus, dengan pelaku mulai dari narasumber sampai sesama jurnalis,” paparnya.
Ira menjelaskan bahwa AJI telah memiliki SOP Kekerasan Seksual yang mengikat seluruh anggota dan sedang diperkuat menjadi Peraturan Organisasi. SOP tersebut juga berlaku bagi jurnalis profesional, jurnalis warga, dan pers mahasiswa yang mengalami kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik.
“Kami sudah punya SOP KS yang mengikat anggota AJI dan kini dikembangkan jadi Peraturan Organisasi. SOP ini juga berlaku untuk jurnalis warga, profesional, dan Pers mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual saat bekerja,” tuturnya.
AJI juga bekerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) untuk membekali Satgas dalam mendampingi korban, termasuk memastikan tiga kebutuhan dasar korban.
“Ada tiga hak dasar korban kekerasan seksual yang harus dipenuhi yang pertama dia dapat tempat aman, kedua dia dalam kondisi berpakaian, dan yang ketiga dia tidak dalam kondisi lapar dan haus,” ujarnya.
Terkait kasus yang sudah lama terjadi, Ira menegaskan bahwa semuanya tetap dapat diproses selama korban bersedia mengisi formulir pelaporan untuk mencegah bias informasi. Proses asesmen kemudian dilakukan untuk menentukan langkah penanganan yang paling sesuai dengan kebutuhan korban.
“Kasus yang sudah dua tahun tetap bisa diproses. Kalau ada yang melapor lewat chat tentang kejadian tahun lalu, saya akan memastikan dulu kondisi emosionalnya dengan menanyakan lima benda yang ia lihat, empat hal yang bisa ia sentuh, dan aroma yang ia cium, itu teknik yang kami pelajari dari HIMPSI,” lanjutnya.
“Setelah formulir diisi, kami melakukan asesmen apakah kasus bisa ditangani dan layanan apa yang diperlukan. Setiap orang berbeda, setiap kasus kekerasan seksual itu berbeda dan selalu bersifat kasuistik,” pungkas Ira.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua