Bogor, NU Online
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor Mohammad Shohibuddin menjelaskan tentang 'Jawaban atas Radikalisme: Menjadi Antitesis atau Memberikan Sintesis?'. Menurutnya, Islam dengan Indonesia bukanlah hubungan antagonistis namun merupakan perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin dan dapat menjadi sintesis terhadap permasalahan-permasalahan bangsa.
"Mahasiswa dan kalangan akademisi diharapkan memungkinkan membentuk sintesis dari paham-paham radikalisme bedasarkan pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah," tegasnya.
Hal itu diungkapkan di acara Seminar Bela Negara dengan tema 'Penguatan kebangsaan dan keislaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika' yang dihelat Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB), Sabtu 29/2).
Dikatakan, radikalisme dapat diklasifikasikan dalam berbagai bentuk. Radikalisme dapat diartikan sebagai ideologi atau pandangan politik yang menghendaki perubahan politik dan sosial secara menyeluruh.
"Radikalisme yang tergolong takfiri yaitu radikalisme yang mewujud dalam pandangan keagamaan yang menganggap orang yang tidak menganut keyakinan tertentu dianggap kafir secara terang-terangan.Sedangkan jihadi sebagai bentuk takfiri ekstrem yang membolehkan tindakan kekerasan terhadap pandangan yang berbeda," tandasnya.
Disampaikan, berdasarkan Riset Setara Institut, IPB sudah memiliki tindakan-tindakan yang cukup baik dalam mencegah berkembangnya radikalisme di lingkungan kampus dibanding perguruan tinggi lainnya.
"Dalam hal ini, timbullah pertanyaan bahwa apakah peran kampus sekadar antitesis atau mampu memberikan sintesis?. Apabila menjadi sintesis maka KMNU harus paham betul tentang Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) An-Nahdliyah sebagai tahap internalisasi,” ungkapnya.
Selanjutnya dikatakan, perlu tahapan eksternalisasi, mekanisme identitas Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah diejawantahkan dalam realitas objektif dan dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain bahkan non-NU.
"Objektifikasi ini disesuaikan dengan bidang ilmu yang didalami oleh setiap mahasiswa. Setiap mahasiswa diharapkan menyintesis pandangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah dengan bidang ilmu masing-masing sehingga dapat menawarkan alternatif solusi baru yang dapat yang diterima dalam bidang keilmuannya. Objektifikasi ini sebagai bentuk tindakan amar makruf nahi mungkar yang mengandung nilai-nilai kebaikan universal," tegas Shohibuddin.
“Bela negara sesuai dengan ilmu masing-masing, tidak hanya reaksioner, tetapi menghasilkan objektifikasi hingga menjadi amar makruf,” tambahnya.
Tantangan yang dihadapi saat ini menurut Shohibuddin adalah politik identitas; digunakannya perbedaan etnis, suku, agama, atau lainnya untuk menghimpun dukungan politik. Hal ini terjadi semakin parah karena adanya ketimpangan kesejahteraan yang terjadi di negeri ini.
"Politik identitas dimanfaatkan untuk mengaburkan ketimpangan yang ada dan dapat merapuhkan sendi-sendi persatuan bangsa," bebernya.
Dismpaikan, alokasi sumber daya setelah Reformasi sebagian besar diberikan kepada korporasi besar sehingga menyempitkan akses masyarakat terhadap sumber daya dibandingkan pada era Orde Baru. Ini yang harus menjadi fokus mahasiswa dalam mewujudkan bela negara dan amar ma'ruf nahi mungkar.
"Inilah sintesis yang diharapkan muncul dari KMNU yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Perlu adanya kesadaran tentang ketimpangan ini dan menjadi fokus dalam upaya bela negara,” pungkas Shohibuddin.
Kontributor: Hani Ristiawan
Editor: Abdul Muiz