Nasional

Akademisi Nilai UU Cipta Kerja Tidak Hadirkan Perlindungan, Malah Buka Ruang PHK

NU Online  ·  Selasa, 25 November 2025 | 22:30 WIB

Akademisi Nilai UU Cipta Kerja Tidak Hadirkan Perlindungan, Malah Buka Ruang PHK

Dosen Kajian Gender Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan UI Hariati Sinaga dalam diskusi bertema 16 HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil yang diselenggarakan INFID di Rumah Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Dosen Kajian Gender Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (UI) Hariati Sinaga menilai, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak menghadirkan perlindungan bagi pekerja.


Sebaliknya, UU Cipta Kerja malah membuka ruang lebih luas bagi praktik fleksibilitas kerja yang berujung pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama bagi pekerja perempuan yang berada pada posisi paling rentan.


Hal itu diungkapkan Hariati dalam diskusi bertema 16 HAKTP: Melawan Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Upaya Penguatan Ruang Sipil yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Rumah Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).


Ia menjelaskan bahwa praktik fleksibilitas kerja sudah terlihat sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


“Dari undang-undang nomor 13 Tahun 2023 tentang ketenagakerjaan itu kan sebenarnya sudah mulai ada pengkotak-kotakan atau kita mengenal fleksibilitas kerja,” ujarnya.


Menurutnya, fleksibilitas tersebut semakin diperluas melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Ia menilai aturan baru itu membuat masa kontrak kerja menjadi semakin panjang, sehingga menambah ketidakpastian bagi pekerja formal.


“Sekarang maksimal lima tahun, kalau dulu paling lama dua tahun dan itu yang kemudian kita melihatnya ada konteks fleksibilitas atau informalisasi kerja formal. Udah kerja di sektor formal yang jumlahnya memang lebih sedikit daripada sektor informal, tapi di dalam sektor formal itu justru di informalisasi,” jelasnya.

Hariati menyebut kondisi itu sebagai bentuk informalisasi kerja formal, di mana pekerja yang berada di sektor formal kini mengalami ketidakpastian yang selama ini banyak dialami oleh pekerja perempuan di sektor informal. Fenomena lowongan kerja berbasis kontrak yang terus diperpanjang, kata dia, menjadi bukti praktik ini semakin menguat.


“Sekarang teman-teman bisa lihat sendiri, kebanyakan lowongan kerja yang kita wakili sekarang itu sifatnya kontrak. Karena itu memungkinkan mereka untuk diperpanjang, diperpanjang, diperpanjang. Bahkan itu kebanyakan terjadi dalam konteks kerja formal,” tambahnya.


Ia menilai bahwa kebijakan di dalam UU Cipta Kerja justru menciptakan lebih banyak PHK karena masa kerja lama tidak lagi diakui. Praktik kontrak yang terus diperpanjang membuat pekerja tidak memiliki jaminan kesinambungan kerja.


“Yang disebutnya cipta kerja malah justru menciptakan PHK. Dimulai dari kontrak, itu cara. Sehingga latar belakang kerja mereka yang sudah berapa lama kerja itu tidak bisa diakui lagi. Memang itu intensinya dari undang-undang Omnibus Law itu seperti itu,” ujarnya.


Ia juga mengkritisi dorongan pemerintah terhadap pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menurutnya, sektor ini berada di luar sebagian besar aturan ketenagakerjaan sehingga tidak mencerminkan semangat merawat pekerja.


“Apalagi pemerintah sekarang menggadang-gadang UMKM, karena itu kan tidak di luar ketentuan ketenagakerjaan. Semangat yang tidak merawat, dan saya memahami care itu adalah antitesis dari kekerasan," katanya.


"UU Cipta Kerja ini menarik energi dan waktu kita hanya untuk survive hari demi hari, sampai kita sulit punya waktu untuk bersolidaritas. Kita sibuk memikirkan bagaimana hidup hari ini, memenuhi kebutuhan besok, dan itu membuat banyak masyarakat terlibat utang,” tegasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang