Nasional

Aksi Teror Muncul, Memperkuat atau Melemahkan Kelompok Teroris?

Ahad, 29 November 2020 | 21:30 WIB

Aksi Teror Muncul, Memperkuat atau Melemahkan Kelompok Teroris?

Pengamat Terorisme Alto Labetubun. (Foto: NU Online/Syakir)

Jakarta, NU Online
Aksi teror yang dilakukan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tidak akan memperkuat kelompok teroris. Hal tersebut disampaikan Pengamat Terorisme Alto Labetubun saat bincang santai secara virtual yang dipandu Savic Ali pada Ahad (29/11).


Menurutnya, jika aksi teror meningkat, dukungan terhadap kelompok teroris akan turun. Sebab hal tersebut melahirkan desakan massa. “Dan itu pasti akan dieksekusi pemerintah,” katanya.


Karenanya, potensi untuk menambah anggota bagi kelompok tersebut kecil. Alto menjelaskan, tidak semua orang siap hidup susah di hutan.


Justru, kelompok yang akan mendapat tambahan anggota adalah kelompok Violence Extremisme Organization (VEO) yang masih abu-abu dan aksinya kecil.


“Kemungkinan VEO mendapat massa lebih banyak sangat mungkin,” kata pria yang berpengalaman di medan peperangan Timur Tengah itu.


Ia tidak melihat adanya penambahan atau kelompok teror semakin canggih. Hal ini berbeda dengan konteks Irak dengan ISIS-nya atau Al-Qaeda di Afghanistan. Ia menegaskan ulang bahwa yang akan diuntungkan adalah VEO.


Sebab, bagaimana pun, masyarakat Indonesia tidak setuju dengan aksi pemenggalan. Tidak semua orang walaupun dia radikal siap untuk bergabung dengan kelompok teror untuk mempersiapkan dan melakukan aksi teror.


“Itu orang-orang pilihan. Dan talennya sangat kecil. Masih banyak faktor bergabung menjadi kelompok teror,” katanya.


Sementara itu, Komandan Detasemen Khusus 99 Asmaul Husna, Gerakan Pemuda Ansor Nuruzzaman mengatakan bahwa kalau kondisi politik identitas semakin menguat memudahkan kelompok teror merekrut anggota.


“Karena menjadi teroris tidak tiba-tiba, semakin orang setuju dengan HRS, potensi akan semakin besar karena ada bahan baku kelompok teroris merekrut anggota. Kalau semakin moderat semakin sulit,” katanya.


Oleh karena itu, keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk meniadakan istilah kafir dan menggantinya dengan warga negara merupakan langkah penting untuk menciptakan kondisi Indonesia bisa diterima semua kalangan


Untuk mengatasi kondisi seperti ini, tidak hanya berharap pada pemerintah. Ia menegaskan bahwa hal ini bergantung kepada semua masyarakat sipil yang harus saling sinergi.


Senada dengan Kang Zaman, Malik Riduan, mahasiswa doktoral di salah satu kampus di Australia, mengatakan bahwa mencari anggota baru sangat memungkinkan jika melihat kondisi dan situasi politik saat ini.


“Mencari 10 orang yang mau memenggal kepala dari 3000 orang yang mendengar pidato soal penggal kepala mungkin tidak terlalu susah,” katanya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Aryudi A Razaq