Nasional HARLAH KE-58 PMII

Aktivis PMII Didorong Hidupkan Masjid Kampus

Senin, 16 April 2018 | 12:45 WIB

Jakarta, NU Online
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kurang mempunyai kepedulian untuk menghidupkan kajian dan tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama di masjid-masjid kampus.

Persoalan tersebut diakui oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Robikin Emhas kepada NU Online di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (13/4).

Menurut Robikin, aktivis PMII pada 1980 hingga 1990-an merupakan orang-orang yang tumbuh dari pesantren atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan agama di sekolah umum. 

Berangkat dari anggapan telah selesai dalam pelajaran keagamaan, membuatnya lupa bahwa bekal ilmu agama yang sudah diperoleh baik di pesantren atau sekolah-sekolah agama itu harus dikembangkan. 

"Yang harus tetap dijaga adalah upaya untuk menumbuhkan komitmen kebangsaan dan keagamaan," ujar alumnus Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang, Jawa Timur itu. 

Menurutnya, komitmen keagamaan itu mengharuskan aktivis PMII tetap menjaga religiustasnya, bahkan menyiarkan Islam moderat di kampus. 

Memasuki Usia Ke-58 PMII
Kini, PMII yang didirikan di Surabaya dengan Ketua Umum pertama H Mahbub Djunaidi memasuki usia 58 tahun. Usia yang cukup matang untuk merefleksikan gerak langkahnya, baik di dunia kepemudaan maupun dunia kampus. 

Dalam konteks kampus, Robikin menyayangkan kepada aktivis PMII yang tidak mau merawat dan menghidupkan kajian dan tradisi keagamaan NU di kampus, khususnya di masjid. 

Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Ketua LPBH PB PMII itu, PMII sebagai organisasi kepemudaan harus mampu bersaing dengan organisasi kepemudaan yang lain. Sementara sebagai organisasi kemahasiswaan, PMII harus mengaktifkan intelektualitasnya, termasuk aktif merawat kegiatan masjid di kampus. 

"Jangan sekali-kali marah mereka, ketika kemudian mereka tinggalkan masjid, lalu dikuasai pihak lain," ujarnya. 

Ia mengatakan, klaim membangun wacana kritis di bidang keindonesiaan dengan melupakan bidang keagamaan adalah menjadi tidak berarti karena keduanya harus berjalan beriringan.

"Saya kira jika salah satu hilang, orang akan kehilangan daya orang untuk bisa berjalan dengan baik," katanya. (Husni Sahal/Fathoni)