Anggota DPR: Polemik Pahlawan Soeharto Tidak Boleh Tutupi Luka Bangsa
NU Online · Sabtu, 8 November 2025 | 19:30 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Polemik rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto tidak hanya soal rekam jejak Orde Baru, tetapi juga menyangkut cara bangsa ini menulis sejarah.
Anggota DPR RI Komisi X sekaligus sejarawan Bonnie Triyana menegaskan bahwa mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berpotensi memperkuat kembali “sejarah resmi” yang selama ini ditentukan negara secara sepihak.
Bonnie mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan cara pandang baru terhadap sejarah cara pandang yang reflektif, jujur mengakui kesalahan masa lalu, dan tidak lagi dibentuk oleh kepentingan militer ataupun kekuasaan.
Menurut Bonnie, persoalan terbesar sejarah Indonesia adalah tajamnya aroma militer dan dominasi narasi kekuasaan.
“Sejarah kita menjadi sangat kaku karena ada tafsir negara. Semua harus menerima versi tunggal itu,” ujarnya kepada NU Online di Ciputat (7/11/2025),
Ia menilai, setelah 80 tahun merdeka, bangsa ini membutuhkan historiografi yang lebih jujur, yang tidak hanya memuja narasi heroik, tetapi juga berani mengakui pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
“Yang sering berbuat pelanggaran itu bukan rakyat, tapi elit. Karena itu, sejarah harus dipelajari juga oleh penyelenggara negara, bukan hanya generasi muda,” tegas Bonnie.
Bonnie menegaskan bahwa dia menolak wacana mempahlawankan Soeharto karena keputusan itu akan menyeragamkan kebenaran sejarah dan menutup ruang diskusi mengenai pelanggaran-pelanggaran Orde Baru.
“Kalau pahlawan itu diberikan kepada Soeharto, itu akan menyingkirkan yang lain dan menutup peluang untuk membahas masa lalu secara lebih setara dan terbuka,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa dampak dari kekerasan politik Orde Baru masih dirasakan hingga hari ini. Karena itu, memutihkan sejarah justru akan menjauhkan bangsa dari rekonsiliasi yang sehat.
Bonnie juga mengkritik pandangan yang mencoba menjadikan Soeharto sebagai pahlawan semata karena jabatannya sebagai presiden. Menurutnya, jabatan publik bukan alasan untuk memberikan status kepahlawanan.
“Presiden itu jabatan. Bukan simbol yang harus disucikan. Ketika salah, rakyat berhak mengkritik,” kata Bonnie .
Ia mencontohkan bagaimana di negara-negara demokratis, seperti Prancis dan Korea Selatan, mantan presiden bisa diadili.
Hal ini untuk menegaskan bahwa pemimpin harus tunduk pada hukum dan etika, bukan menerima kultus yang membuat mereka kebal kritik.
Bonnie menyebut generasi muda harus mulai mengedepankan semangat desakralisasi jabatan publik, agar masyarakat tidak kembali pada pola feodal yang pernah dipelihara Orde Baru.
Sebagai anggota Komisi X DPR, Bonnie kini mengawal revisi UU Sisdiknas. Salah satu perjuangan yang ia tekankan adalah menjadikan sejarah dan sastra sebagai mata pelajaran wajib.
Tujuannya adalah membangun literasi kritis agar generasi muda tidak mudah terjebak pada glorifikasi tokoh yang bermasalah.
“Anak-anak harus belajar sejarah dan sastra agar literasi naik dan kita tidak mudah dikelabui narasi penguasa,” katanya .
Ditanya soal kelompok yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan karena alasan pembangunan ekonomi, Bonnie menilai bahwa klaim demikian tidak cukup kuat untuk menghapus pelanggaran sejarah.
“Mendukung boleh saja, tapi harus pakai argumentasi yang benar. Dan dengan penjelasan sejarah yang lengkap, alasan-alasan itu tidak cukup,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua