Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015 H As’ad Said Ali menjelaskan peranan organisasi NU Afghanistan dan pemerintah Indonesia dalam menciptakan perdamaian. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjalin hubungan diplomatik dengan membuka kedutaan besar di masing-masing negara pada 2006.
“Kita juga mengirim dua orang NU ke Afghanistan dan bertemu dengan Fazal Ghani Kakar (ulama yang menjadi Ketua NU Afghanistan). Akhirnya membentuk Nahdlatul Ulama demi cita-cita Indonesia waktu itu ingin berpartisipasi dalam perdamaian. Kemudian terjadilah pembentukan NU tahun 2014,” tutur As’ad dalam diskusi di TVNU, pada Sabtu (11/9/2021) malam.
Para tokoh Taliban pun menyambut baik terhadap pembentukan NU Afghanistan. Hal ini ditandai dengan masuknya Mantan Menteri Agama Taliban Maulana Qalamuddin ke dalam organisasi NU Afghanistan.
“Saya lihat, NU diterima oleh dua pihak. Terbukti, pada akhir 2019, tiga tokoh Taliban dari Doha, Qatar, datang ke kita (PBNU) dan mengatakan NU harus terlibat. Sayang, tiga bulan kemudian (Maret) terjadi pandemi Covid-19 sehingga kami tidak bisa apa-apa dan kita harus terpaksa tidak bisa intens berhubungan keluar negeri, termasuk ke Afghanistan,” katanya.
Kini, keadaan sudah berubah dan berangsur normal. As’ad mengaku akan kembali memulai aktivitas untuk menggerakkan perdamaian bersama NU di Indonesia dan NU Afghanistan. Kegigihannya itu dilandasi atas dasar sudah lama mengenal karakter orang Afghanistan dan telah intens membersamai kerja-kerja perdamaian untuk Afghanistan sejak 2007.
Ia bercerita, pernah suatu ketika ada 23 orang Korea Selatan yang disandera atau ditangkap oleh Taliban. Kemudian, Pemimpin Taliban Mohammed Omar menyatakan kesediaannya untuk membebaskan sandera tersebut asal ada jaminan dari Indonesia.
“Akhirnya kita kirimlah orang NU dari Yogyakarta ke Peshawar untuk membebaskan sandera dan untuk itulah Mullah Omar mengirim kepada kami surat terima kasih. Di situ ada permintaan agar Indonesia membantu perdamaian di Afghanistan,” tutur As’ad.
Perbedaan Taliban dengan Al-Qaeda dan ISIS
As’ad kemudian menjelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara Taliban dengan Al-Qaeda dan ISIS. Meski ketiganya mendapat stempel sebagai organisasi radikal dari berbagai negara di belahan dunia, tetapi tentu saja ada perbedaan dalam ideologi dan gerakannya.
Dijelaskan, Al-Qaeda merupakan kelompok teroris Arab non-Afghanistan yang berupaya memerdekakan Palestina tanpa bermaksud mendirikan daulah Islamiyah atau kepemimpinan dunia di bawah panji Islam. Ideologi Al-Qaeda adalah jihad qital atau perjuangan yang harus dilakukan melalui metode perang.
Salah satu buku yang menjadi landasan ideologis Al-Qaeda adalah Tadribatul Jihadiyah karangan Dr Abdullah Azzam. Buku tersebut digunakan untuk melakukan indoktrinasi kepada para pengikut Al-Qaeda, termasuk yang ada di Indonesia.
“(Ideologi Al-Qaeda) jihad adalah qital (perang). Tidak ada lain. Sayang, Dr Azzam meninggal tiga bulan sebelum perang selesai sehingga kitab itu belum ada yang meralat. Artinya (ajaran perang itu) diikuti sampai sekarang. Jadi Al-Qaeda bertujuan untuk melawan Amerika Serikat dan peradaban Barat,” jelas As’ad.
Sementara ISIS memiliki tujuan untuk mendirikan daulah Islamiyah di seluruh dunia. Dijelaskan, ISIS muncul di Irak ketika seseorang dari Suriah telah menjalankan ideologi dari Islamis asal Yordania Abu Muhammad Al-Maqdisi. Ajaran ini jauh lebih keras dari doktrin Abdullah Azzam.
“ISIS ingin mendirikan suatu khilafah. Jadi ISIS ingin khilafah, kalau Al-Qaeda membebaskan Palestina tanpa khilafah,” jelas Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Sedangkan Taliban, tentu berbeda dari dua organisasi itu. Menurut As’ad, Taliban adalah kelompok pelajar yang nasionalis. Cita-cita mereka adalah membebaskan Afghanistan dari jajahan atau pengaruh Barat tanpa berkeinginan mendirikan daulah atau khilafah Islamiyah.
Di dalam kelompok Taliban kemudian terdapat banyak kubu. Salah satunya kubu Jalaluddin Haqqani yang terpengaruh oleh ideologi salafi sehingga menjadi kelompok radikal. Semua bermula ketika para pelajar (Taliban) Afghanistan mengungsi ke perbatasan saat perang pada 1979-1989. Di perbatasan itulah, para pelajar Afghanistan belajar di madrasah-madrasah yang dibiayai Arab Saudi.
“Karena (pada saat) itu (dalam kondisi) perang, maka yang diajarkan adalah jihad perang. Kemudian muncul murid-murid yang punya pemahaman bahwa jihad adalah perang. Perang selama 10 tahun itu membentuk kelompok yang disebut Haqqani yang menguasai perbatasan Afganistan dan mereka terpengaruh oleh itu (ideologi salafi jihadi),” tutur As’ad.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua