Bima adalah daerah strategis yang sejak abad ke-17 M menjadi tempat yang nyaman bagi para pengunjungnya. Bahkan dalam bukunya, Renaffaer menuturkan bahwa Bima menjadi tempat peristirahan yang strategis bagi para pedagang Gujarat Arab masa itu. Oleh karenanya tak heran jika bahasa Bima tercampuri dengan berbagai bahasa asing yang pernah berdiam di daerahnya. Termasuk penggunaan bahasa Arab yang banyak ditemui dalam bahasa Bima itu sendiri.
Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah, dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima menjabarkan apa ‘arti/devinisi’ bahasa itu sendiri. Mengutip Musthafa Al Ghalayaini (1987; 7), bahasa adalah beberapa lafadz yang diucapkan oleh manusiadalam suatu masyarakat yang sesuai dengan maksud dan tujuanya.
Kemudian, menurut Ibnu Jani bahasa adalah suara yang diungkapkan oleh setiap kelompok manusia untuk mengapresiasikan maksud dan tujuanya (Uril Bahruddin; 2009; 3). Dengan ini dapat dipahami bahwa ‘hakikat’ bahasa adalah suara yang diucapkan secara beraturan sebagai sarana menyampaikan suatu pesan/maksud tertentu di tengah-tengah masyarakat.
Teori besar tentang bahasa tersebut selanjutnya dapat diturunkan untuk menerangkan hakikat bahasa seluruh kalangan masyarakat yang tak terbatas, termasuk di dalamnya adalah hakikat bahasa Arab dan hakikat bahasa Bima.
Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah, juga menerangkan bahwa bahasa Arab adalah susunan kata atau kalimat yang diucapkan oleh masyarakat Arab untuk mengungkapkan maksud dan kehendak mereka masyarakat Arab. Sedangkan bahasa Arab yang sampai pada kita dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya menjadi ‘media’ yang tepat untuk menghafal serta menjaga Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Sebab, sejauh sejarah peradaban manusia dikisahkan, hanya bahasa Arab-lah yang paling sempurnah dan paling tepat untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan. (Musthafa Al-Ghalayaini; 1987; 7).
Bersamaan dengan ini, masih tetap berpedoman pada devinisi bahasa yang telah disebutkan di atas, Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah juga mendefinisikan bahasa Bima. Dalam penelitiannya mereka menyebutkan bahwa bahasa Bima adalah sebuah bahasa Austonesia yang digunakan, dipertuturkan oleh suku Bima di pulau Sumbawa bagian timur, NTB dan NTT sebagai ‘media’ komunikasi untuk menyempaikan pesan di tengah-tengah masyarakatnya.
Dalam sejarahnya perkembangannya, dalam penelitian yang didukung Diktis Kemenag tahun 2018 itu, Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah menjelaskan bahwa bahasa Bima dibagi dalamdua kelompok. Pertama, kelompok bahasa Bima lama, meliputi bahasa Donggo (dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah barat teluk meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, Doridungga), bahasa Tarlawi (dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pergunungan Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, Kalodu) dan bahasa Kolo (dipergunakan oleh masyarakat desa Kolo di sebelah timur Asakota).
Kedua, Kelompok bahasa Bima baru yang lumrah disebut nggahi Mbojo. Bahasa Bima jenis ini, nggahi Mbojo dipergunakan oleh masyarakat secara umum di Bima sebagai bahasa ibu mereka. Oleh karana itu, bahasa Bima lama hanya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kagiatan-kagiatan formal dan resmi semisal acara adat istiadat, lamaran dan kegiatan penting lainnya.
Bahasa Bima nggahi Mbojo digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di tengah-tangah masyarakat Bima. Bahasa nggahi Mbojo telah menjadi bahasa pasaran yang digunakan untuk berbagai macam keperluan atau kegiatan sehari. Itu artinya, bahasa Bima dalam bentuk lamanya sudah tidak sering digunakan setelah adanya bahasa Bima yang baru.
Dari segi bentuknya, bahasa Bima memiliki aksara yang hampir sama/banyak persamaan dengan aksara Makasar kuno. Bahkan bila dibandingkan dengan aksara sansekerta, hampir dapat dipastikan bahwa asal usul aksara bahasa Bima bersumber dari aksara Sansekerta (Zollinger).
Sedangkan dari segi tingkatannya, menurut hasi penelitian Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah bahasa Bima dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat halus/bahasa istana, tingkat menengah yaitu bahasa sehari-hari dan tingkat kasar/bahasa umpatan. Hasil temuan Sri Wahyuningsih ini semakin memperkuat bahwa bahasa Bima yang beredar di tangah tengah masyarakatnya telah berpindah ke bahasa nggahi Mbojo yang merupakan bahasa pasaran mereka.
Berdasarkan uraian di atas, Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah dapat menyimpulkan bahwa bahasa Bima yang secara dominan dipengaruhi oleh bahasa Arab terdapat pada bahasa Bima lama. Karana bahasa Bima dalam bentuk barunya, sebagaimana lumrah digunakan sehari-sehari di tengah-tengah masyarakatnya pengucapannya telah berubah jauh dari bahasa Bima asli peninggalam nenek moyang mereka.
Sederhananya, bunyi atau suara bahasa Arab—yang merupakan hasil sisa-sisa peninggalam bangsa Arab dulu—talah mengalami perubajan/modifikasi yang sangat jauh dari pengucapan asalnya. Sehingga dari itu Sri Wahyuningsih menegaskan bahwa pengucapan bahasa Arab dengan segala ketentuan makharijul huruf nyaris tidak didapati lagi dalam bahasa Bima.
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan