KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang. (Foto: NU Online/A Syamsul)
A. Syamsul Arifin
Kontributor
Jombang, NU Online
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur sudah bersiap diri menerapkan new normal (tatanan normal baru) di lingkungan pesantren. Sampai hari ini segala teknis pendukung terhadap pelaksanaan tatanan kenormalan baru itu terus dipersiapkan.
"Karena kita memang tidak bisa berdiam terus, harus memulai kegiatan-kegiatan di pesantren. Tetapi juga dengan memperhatikan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah," kata Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Abdul Hakim Mahfudz saat ditemui NU Online di ndalem kesepuhan, Rabu (17/6).
Proses penerapan new normal dimulai dari pola kembalinya santri ke pesantren. Ribuan santri Tebuireng yang sampai saat ini masih di rumah masing-masing dijadwalkan kembali ke pesantren secara bertahap. Dalam waktu dekat diprioritaskan hanya untuk santri kelas tiga, baik di jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
"Pertimbangannya anak-anak kelas tiga itu lebih mudah kita bisa ajak bicara karena butuh kedisiplinan di dalam menerapkan protokol kesehatan," ungkapnya.
Tahap pertama, kiai yang akrab disapa Gus Kikin ini menarget sebanyak 30 persen santri Tebuireng sudah kembali setidaknya pada bulan Juli. Hitungannya merujuk pada nominal santri yang berada di kelas 3 SLTP dan SLTA secara keseluruhan.
"Kita memasukkan (mengembalikan) santri kurang lebih dari 30 persen dulu," ucap Gus Kikin.
Kebijakan ini diambil dengan memperhatikan situasi penyebaran Covid-19 yang masih terus merebak, juga agar pihak pesantren lebih mudah mengevaluasi kebijakan new normal saat sudah diberlakukan.
"Kita belum tahu nanti penerapan new normal di pesantren bisa berjalan dengan baik atau tidak. Makanya kita evaluasi terus setelah santri tahap pertama kembali ke pesantren," ujarnya.
Para santri yang sudah kembali nantinya tidak langsung memulai proses pembelajaran, melainkan diisolasi terlebih dahulu selama dua pekan di tempat yang sudah disediakan, yakni gedung Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) dan Ma'had Aly. Selanjutnya, setelah sepuluh hari diisolasi akan dilakukan rapid tes.
"Santri semua masuk (kembali) dulu, kemudian isolasi 14 hari, nah di hari kesepuluh baru kita lakukan rapid tes," tuturnya.
Gus Kikin menegaskan, bahwa biaya rapid tes ditanggung oleh pesantren, bukan atas biaya mandiri masing-masing santri. Ia mengaku, di samping biaya murni dari pesantren, pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan beberapa pihak untuk membantu pelaksanaan rapid tes.
"Rapid tes dari pesantren. Kita macam-macam, ada yang dapat bantuan. Santri tidak dikenakan biaya rapid tes dan insyaallah mampu," ujarnya.
Penegakan protokol kesehatan dan kedisiplinan santri merupakan kunci new normal di pesantren bakal efektif. Karenanya, Gus Kikin mengaku pesantren sudah menyiapkan aneka kebutuhannya, seperti tempat cuci tangan di berbagai titik. Para pengurus dan pembina pondok juga akan mengawasi santri dengan intensif.
Begitu juga santri nantinya akan menerapkan physical distancing atau menjaga jarak, baik saat ngaji, tidur, antre mengambil makan, saat sedang makan, dan seterusnya.
"Di jasa boga sudah kita kasih tanda di mana santri harus menjaga jarak. Kemudian di tempat makan pun juga begitu. Begitu juga saat santri ngaji di masjid sudah ada tanda jaga jarak," jelasnya. Terkait tempat tidur, karena baru sepertiga santri yang kembali, tempatnya otomatis longgar, lanjutnya.
Sementara itu, jadwal kembalinya santri tahap berikutnya belum bisa dipastikan. Pasalnya, pihak pesantren akan mengevaluasi terlebih dahulu setelah tahap pertama selesai. Yang menjadi pertimbangan bukan kecepatan santri bisa kembali ke pesantren, tapi lebih kepada seberapa efisien protokol kesehatan di pesantren dilakukan santri.
"Nah, hal ini tidak ada target waktu. Kalau semua proses protokol kesehatan berjalan dengan baik, kita melangkah pada tahapan selanjutnya. Artinya itu tergantung pada situasi yang ada, bukan pada target waktu," ungkapnya.
Berdasarkan data internal pesantren, sebagian besar santri Tebuireng memang dari Jawa Timur. Jumlahnya mencapai 59,8 persen dari total 3.881 santri mukim. Disusul Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Kalimantan Timur. Untuk itu Gus Kikin menegaskan akan terus melakukan kajian dan evaluasi karena kondisi di lapangan yang terus dinamis.
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Ibnu Nawawi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua