Nasional

Belajar dari Kasus Guru ‘Nantang’ Murid ala Alissa Wahid

Senin, 11 Februari 2019 | 09:05 WIB

Jakarta, NU Online

Beberapa hari belakangan, dunia maya kembali digegerkan dengan kasus siswa SMP PGRI Wringinanom, Gresik yang ‘menantang’ gurunya. Kasus ini memang sudah berakhir dengan permintaan maaf sang murid pada gurunya pada proses mediasi di Polsek Wringinanom, Gresik. Namun dari kasus itu kita harus mengambil pelajaran tentang penyebab terjadinya hal tersebut dan bagaimana cara menghindari agar hal demikian tak terjadi lagi di kemudian hari.


Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia yang memiliki background akademik psikologi UGM memiliki pendapat menarik tentang fenomena itu. Kesimpulannya, pertama fenomena itu menunjukkan ada yang salah antara relasi antara guru dan murid tersebut. Kedua, relasi yang terbangun menunjukkan adanya ketidakdisiplinan dalam menjalankan aturan yang berlaku.


“Apa yang harus dilakukan guru saat muridnya bersikap kasar? Menegakkan aturan. Aturannya apa? Sepakati sebelumnya. Misalnya: perilaku mengancam, menghina, memukul tidak bisa diterima. Melakukannya akan mendapat konsekuensi misalnya diisolasi, ketemu kepala sekolah. Saat murid berulah, segera tegakkan aturan itu. Tidak dengan marah-marah atau berantem, apalagi menyiksa murid. Jalankan aturan. Tidak perlu ceramah, menjelas-jelaskan. Berlakukan saja konsekwensinya. Tegas, tanpa negosiasi,” kata Alissa Wahid melalui akun twitternya.


Apabila guru dan manajemen sekolah sanggup menunjukkan ketegasan untuk menegakkan aturan secara konsisten maka akan relasi di dalam sekolah akan terbangun dengan baik. “Pertama, anak (siswa) paham bahwa dia bukan pihak yang memegang kuasa. Kedua anak (siswa) tahu apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya. Ketiga anak (siswa) mampu mengendalikan diri sendiri. Keempat, guru tidak terjebak situasi dan kondisi seperti di video ini lagi,” lajut Alissa.


Alissa juga menjelaskan beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal tersebut yakni batas halus soft limits of behavior dan batas tegas (firm limits) yang pada intinya adalah prinsip batas melakukan aksi-konsekuensi. “Pada anak-anak yang temperamental dan keras, soft limits tidak mempan, maka dia butuh batas tegas yang ditegakkan,” ujarnya.


“Pada anak-anak yang halus-hati, saat mereka berulah, kita bisa sampaikan kita terganggu dengan perilaku mereka, maka mereka akan berubah. Sebaliknya, pada anak-anak yang temperamental atau keras, butuh strong atau firm limits. Karena mereka menikmati power struggle. Maka hanya bisa dengan rumus aksi-konsekuensi,” jelasnya.


Sehingga, pada anak-anak di bawah lima tahun, aksi-konsekuensi harus dilakukan secara konsisten misalnya selama 90 hari. Dengan itu anak di bawah lima tahun ini akan berhenti ‘testing the limit’ dan baru percaya bahwa guru dan orangtua tidak main-main. Sementara pada kalangan remaja, lanjutnya, konsistensi lebih utama lagi. Apabila melanggar, langsung diterapkan konsekuensinya, tanpa negosiasi. (Ahmad Rozali)