Nasional

Bukti Islam Agama yang Fleksibel Menurut Prof Quraish Shihab

Kamis, 13 Januari 2022 | 21:15 WIB

Bukti Islam Agama yang Fleksibel Menurut Prof Quraish Shihab

Cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang lentur. Buktinya, ketetapan hukum-hukum yang ada di dalamnya selalu bisa menyesuaikan konteks atau tidak terpaku pada teks.


“Disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Islam selalu sesuai dengan waktu dan tempat. Islam sesuai di mana pun anda berada, kapan pun anda berada. Maka ajaran Islam sesuai dengan tempat dan keadaan,” katanya dalam tayangan video channel YouTube Quraish Shihab, dilihat NU Online, Rabu (13/1/2022).


Dalam paparannya, Alumni Pesantren Darul Hadis Al-Faqihhiyah Malang, Jawa Timur itu mengatakan, ada beberapa alasan mengapa Islam dinilai sebagai agama yang fleksibel. Pertama, Islam selalu memperhatikan substansi. Seperti perintah shalat di masjid. Kata ‘masjid’ ini bukan berbicara bangunannya, tapi selama tempat itu suci, maka bisa untuk melaksanakan shalat.


“Di mana pun anda shalat, silakan. Yang disyariatkan (adalah) tempatnya bersih,” ucapnya.


Contoh lain, lanjut Prof Quraish, adalah soal pakaian. Tidak harus seseorang mengenakan pakaian dengan mengacu pada budaya tertentu. Islam hanya mewajibkan menutup aurat sebagai substansi dalam berpakaian. Soal menggunakan pakaian dari tradisi mana, tidak ada ketentuan dan selalu berubah modelnya.


“Sehingga apapun bentuk yang terjadi itu, selama sesuai dengan substansinya, welcome, ahlan wa sahlan,” tambah Prof Quraish.


Kedua, ketentuan hukum dalam Islam selalu bisa ditawar sesuai dengan kondisi dan situasi. Misalkan, hukum asal berpuasa Ramadhan adalah wajib, tapi bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), ia diperbolehkan tidak berpuasa dengan ketentuan yang berlaku. Begitu pun orang dalam kondisi darurat boleh memakan daging babi yang semula hukumnya haram.


“Shalat wajib berdiri. Tapi jika tidak mampu berdiri, ya duduk. Tidak mampu duduk, ya berbaring. Tidak mampu berbaring, ya dengan isyarat,” imbuhnya.


Ketiga, aturan-aturan syariat dalam islam selalu disesuaikan dengan waktu dan tempat. Bisa jadi di satu negara hukumnya haram, tapi di negara lain halal. Begitu pun harus memperhatikan kondisi pelaku hukumnya. Seperti hukum nikah yang bisa wajib, sunah, mubah (boleh), makruh, bahkan haram; tergantung kondisi pelakunya.


“Tempat bisa berbeda, waktu bisa berbeda. Itu sebabnya ulama berkata, seandainya pengetahuan hukum itu hanya dengan membaca kitab-kitab (teks), maka akan mudah sekali,” jelasnya.


Dalam contoh kasus, Prof Quraish mengisahkan seorang penguasa yang melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Secara hukum, orang itu dikenai satu di antara tiga kafarah (hukuman), yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut, dan jika masih tidak mampu maka harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin.


Dikarenakan ia orang yang kaya raya, Prof Quraish menguraikan, sehingga kalau memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin sangat mudah baginya, maka kafarah yang diberlakukan baginya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut agar ada efek jera.


“(Sebab itu), penetapan hukum (fatwa) berkaitan dengan tiga hal. Pertama, mengenal teks dan memahaminya. Kedua, memahami maqashidusy syari’ah. Ketiga, memahami tempat, waktu, dan sosok pelakunya,” jelasnya.


Dalam kasus lain, Rasulullah saw juga pernah bertekad untuk mencambuk pelaku penyerbaran hoaks terkait Siti Aisyah pada peristiwa haditsul ifki. Begitu turun ayat yang mengklarifikasi kasus Aisyah, Nabi batal melakukan cambukan itu karena pertimbangan yang lebih maslahat.


“Itu hukum ya begitu. Bukan cuma baca ayat, terus berkata, ini hukumnya begini, ini potong tangan, tidak. Di sini perlunya ijtihad,” tandas Prof Quraish.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Muhammad Faizin