Nasional HARI SANTRI 2022

Cerita Gus Yahya ketika Nyantri: Kiriman tak Pernah sampai Akhir Bulan

Senin, 24 Oktober 2022 | 01:00 WIB

Cerita Gus Yahya ketika Nyantri: Kiriman tak Pernah sampai Akhir Bulan

Tangkapan layar Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat bercerita mengalami masa-masa di pesantren.

Jakarta, NU Online
Hari Santri 2022 yang jatuh pada Sabtu tanggal 22 Oktober diperingati oleh berbagai kalangan, terutama kaum pesantren. Membicarakan santri, tentu banyak hal yang bisa diungkap. Salah satunya adalah kenangan masa-masa sulit yang tak mudah dilupakan.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf pernah membagikan pengalamannya semasa hidup di bilik Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Dalam suatu wawancara, sosok yang akrab disapa Gus Yahya itu ditanya: Apakah Anda pernah mengalami masa-masa sulit di pesantren? 


"Apa ya, paling-paling kehabisan uang," jawabnya sambil melepaskan tawa, dalam tayangan Lebih Dekat dengan KH Yahya Cholil Staquf diakses NU Online, Ahad (23/10/2022).


Kemudian Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu bercerita. Suatu ketika, ia kehabisan uang di pesantren. Mau hutang kepada teman, semua temannya sudah dihutangi. Ketika itu Gus Yahya pun bingung, kepada siapa lagi harus meminjam. Sementara ia sudah tak punya uang untuk makan.


"Terakhir makan itu pagi. Siang sudah enggak ada, enggak ada uang buat makan, sampai malam," akunya.


Akhirnya ia berinisiatif pergi ke sebuah langgar (mushala) yang biasa dibuat mengaji. Di sana ia sendirian, melamun, lalu lama-lama ia yakin. "Masak sih, Gusti Allah tega sama saya?" bisik Gus Yahya, di benaknya.


Sampai-sampai, pria kelahiran 16 Februari 1966 itu berpikir, "Kalau Gusti Allah menolong saya ini kira-kira pakai cara apa kira-kira, ya?"


Ia pun kemudian menebak-nebak kemungkinan, di tengah perut keroncongan. Mungkin teman sekamarnya yang saat itu sedang pulang–dan rumahnya tidak jauh, Bantul–datang membawa duit, sehingga bisa meminjam. Atau, pikirnya, ada teman SMA yang akrab dengannya, datang dan mengajak jajan keluar. Kalau tidak begitu, Kang Murtadho–santri ayahnya yang sering mengantar bekal untuk Gus Yahya–datang membawa kiriman.


Setelah melamunkan ketiga hal itu, kemudian ia balik ke kamar. Ternyata teman sekamar yang tadi dibayangkan sudah di sana dan membawa makanan. "Makan, Bang," ajaknya, kepada Gus Yahya. 


Usai makan, Gus Yahya pun meminjam uang kepadanya. "Utang duitnya buat ngopi. Pergi ke warung, ngopi, beli rokok yang bergizi lah," imbuhnya.


Ketika dari warung balik ke kamar, teman SMA yang akrab dengannya sudah datang. Ia mengajak keluar. "Yuk kita keluar, cari atau jajan apa gitu."

 

"Ya entar dulu lah, saya baru dari warung ini. Kita ngobrol saja dulu sebentar," jawab Gus Yahya.


Baru saja ngobrol sekitar 5-10 menit, ternyata Kang Murtatho datang.


"Memang kalau santri ini keramat. Jadi santri itu memang harus besar hati. Santri itu keramat. Buktinya ya saya masih hidup sampai sekarang ini, bukti kekeramatan santri," ungkapnya, seraya tertawa.


Dalam kesempatan itu, Gus Yahya juga mengaku agak heran, kenapa dirinya masih hidup sampai sekarang. Selama belajar 15 tahun di Pesantren Krapyak, akunya, kiriman uang dari rumah tak pernah utuh sampai akhir bulan. Rata-rata, seminggu sudah habis.


"Saya itu heran, kok bisa masih hidup sampai sekarang? Duit selalu habis seminggu. Tiga minggu kita enggak tahu mau makan apa. Ya nyata-nyatanya ada aja. Saya kira itu barokahnya mukim untuk thalabil ilmi (mencari ilmu)," pungkas pria yang kini menginisiasi pertemuan pemimpin agama dunia di forum R20 itu, memungkasi cerita.


Kontributor: Ahmad Naufa 
Editor: Kendi Setiawan