Jakarta, NU Online
Orang-orang tentu berebut mencari Tuhan. Mereka melakukan ibadah tiada lain semestinya hanya dipersembahkan untuk Tuhan. Pun segala hidup dan matinya memang untuk-Nya. Namun, manusia kerap kali alpa dalam menemukan Dzat yang dicarinya itu. Padahal, kaul sufi menyebutkan, man 'arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa yang mengetahui dirinya, maka mengetahui Tuhannya.
"Kerja memahami Tuhan adalah kerja memahami diri kita sendiri," kata Habib Husein bin Ja'far al-Hadar saat mengisi Komunitas Musisi Mengaji (Komuji) di Twin House, Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, Jumat (28/6).
Habib Husein menyebut bahwa Jalaluddin al-Rumi dalam sebuah puisinya menyebut bahwa dia tidak menemukan Tuhan di tempat-tempat ibadah, seperti Masjid, Gereja, hingga Sinagog. Dia, katanya, justru menemukan Tuhan dalam dirinya. "Tapi ketika aku becermin, aku kemudian menemukan Tuhan," ujar Habib Husein mengutip Rumi.
Di samping itu, pemilik kanal Youtube Jeda Nulis itu juga menyebutkan bahwa ketika diminta persaksian tentang ketuhanan Allah di zaman azali, mengutip Murtadla Muthahari, itu manusia dihadapkan dengan cermin, tidak melihat secara langsung Dzat Allah SWT. "Ya karena diri ini manifestasi dari Allah SWT.," ujarnya.
Tak ayal, katanya, jika Nabi menyebutkan bahwa jihad terbesar adalah melawan diri sendiri. "Jihad yang paling utama dan besar itu melasan hawa nafsu," katanya.
Agama, kata Habib Husein, mengajarkan kita untuk bergerak ke dalam diri. Orang bisa berjihad ke luar jika sudah mampu berjihad di dalamnya. "Kalau orang tidak selesai gerak ke dalamnya terus gerak ke luar akan berbahaya," ucap penulis buku Islam Mazhab Fadlullah itu.
Habib Husein mencontohkan sosok khalifah keempat, Sayidina Ali bin Abi Thalib, saat perang Khandaq. Saat itu, katanya, ia menghadapi sosok yang sangat ditakuti, yakni Amr bin Abd Wad. Konon, jelasnya, bayi nangis juga langsung diam kalau disebut namanya.
Sayidina Ali yang masih muda itu pun berani melawan sosok paling ditakuti kaum Quraish itu. Amr pun jatuh ke tanah terkena tebasan suami Sayidah Fatimah itu. Amr ingin lekas mati sekalian karena khawatir menanggung malu yang luar biasa kala hidup dengan keadaan cacat karena seorang anak muda bernama Ali.
"Kata Amr bin Abd Wad 'percepatlah bunuh aku' karena khawatir seorang Amar bin Abd Wad dibuat cacat oleh seorang anak muda bernama Ali bin Abi Thalib maka ia akan menanggung malu yang sangat besar dan itu sangat prestisius dalam tradisi Arab dulu," katanya.
Akhirnya, ia meludahi sosok muda yang berduel dengannya itu agar lawannya itu segera mempercepat tebasan pedangnya. Namun, bukannya semakin beringas, Sayidina Ali justru mundur sejenak, katanya. Ia menyingkir untuk menenangkan diri dahulu agar sabetan pedangnya bukan didasari atas nafsu karena diludahi. Barulah setelah merasa tenang, ia maju lagi dan menebaskan pedangnya ke Amr hingga mati.
"Ketika aku tidak mundur, maka tebasan pedangku itu karena nafsuku," kata Habib Husein mengutip jawaban Sayidina Ali saat ditanya para sahabat tentang alasannya mundur lebih dahulu, "Makanya dia menenangkan diri lebih dahulu memastikan bahwa yang menguasai dirinya Allah swt.," imbuhnya.
Selain Habib Husein, kegiatan ini juga menghadirkan Gus Ulil Abshar Abdalla, sosok intelektual NU yang rutin mengampu kitab Ihya Ulumiddin melalui siaran langsung di Facebooknya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)