Nasional

Dedikasi Kader Fatayat NU di Sidoarjo Mengajar di Sekolah Luar Biasa

Rabu, 23 November 2022 | 18:30 WIB

Dedikasi Kader Fatayat NU di Sidoarjo Mengajar di Sekolah Luar Biasa

Mar Atus Saida, kader Fatayat NU di Sidoarjo bersama sejumlah siswa sekolah luar biasa. (Foto: NU Online/Boy Ardiansyah)

Sidoarjo, NU Online

Sebentar lagi, tepatnya tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru. Akan tetapi, soal kesejahteraan dan kehidupan layak bagi sejumlah guru di daerah, ternyata jauh dari harapan. Mereka harus berjibaku dengan kerasnya tantangan, namun tidak memperoleh penghasilan yang dapat diandalkan.


Namanya Mar Atus Saida yang setiap harinya tercatat sebagai kader Pimpinan Ranting (PR) Fatayat NU Tarik, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak awal memang mempunyai cita-cita kuat menjadi pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebelum masuk kuliah. 


Dirinya mengaku kurang mengetahui mengapa sangat ingin mengajar di sekolah bagi kalangan berkebutuhan khusus tersebut. Sehingga dari tekad kuatnya, Ida bertekad mendaftar kuliah di Universitas Negeri Surabaya atau Unesa jurusan Pendidikan Luar Biasa atau PLB, namun  gagal.


Kendati tidak diterima di Unesa, semangat untuk menempuh pendidikan tinggi tidak membuat semangatnya redup. Dan pilihan berikutnya adalah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya atau UINSA.


“Saya ambil jurusan psikologi dan ternyata bisa juga mengajar di SLB, sehingga merasa sangat bersyukur,” katanya kepada NU Online, Rabu (23/11/2022). 


Perempuan berusia 29 tahun itu bercerita setiap liburan semester kuliah diisinya dengan magang di SLB Krian, Sidoarjo. Dan ketika kuliah memasuki semester 7, Ida telah diberi amanah sebagai terapis anak berkebutuhan khusus di Sidoarjo. Hal tersebut membuatnya sangat bersyukur karena sudah dibukakan jalan terbaik bagi keinginan yang terpendam dalam lubuk hatinya sejak lama.


Dijelaskannya bahwa mengajar di SLB butuh keahlian dan kesabaran ekstra. Karena yang dihadapi adalah mereka dengan kondisi fisik maupun mental yang berbeda. Tentu akan sangat lain kasusnya kalau mengajar di sekolah yang peserta didiknya normal.


“Pengalaman paling berat ketika mnghadapi siswa dengan ketunaan ganda dan yang bersangkutan tidak pernah disekolahkan sejak kecil,” ungkapnya.  


Hal tersebut sebagaimana pengalamannya menghadapi peserta didik yang baru disekolahkan ketika umur 11 tahun. Kondisi semakin sulit ketika tantrum atau ledakan emosi yang diekspresikan dengan tidak hanya menyakiti diri sendiri tapi juga guru. 


Dikisahkannya bahwa dalam keseharian harus berhadapan dengan sikap dan perilaku siswa yang demikian berbeda. Dari mulai kerudungnya ditarik maupun digigit, atau sikap lain yang hal tersebut adalah kejadian lumrah. 


“Sejak awal mengajar hingga kini, saya sudah terbiasa menghadapi siswa seperti itu,” kenangnya. Namun dirinya merasa bahwa apa yang dialami sebagai hal wajar dan justru sebagai sarana untuk terus memupuk kesabaran.


Dikemukakan bahwa mengajar di SLB juga mempunyai banyak pengalaman unik. Karena para siswa di sekolah berkebutuhan khusus tersbut penuh kejutan dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki. Seperti  kadang ada yang tiba-tiba mandi di sekolah. Ada siswa yang saat disuruh membelikan makanan malah dibelikan es, padahal sudah ditunjukkan gambar makanan yang dipesan.


“Tapi bagi saya, anak SLB cukup menarik dan menyenangkan karena memang berbeda dan memiliki keistimewaan dari anak pada umumnya. Ketika ada teman kesusahan, mereka mau saling membantu tidak acuh sendiri,” tuturnya. 


Dengan tantangan yang dihadapi, Ida tetap berkebulatan tekad untuk mengajar di SLB Putra Mandiri Tarik Sidoarjo. Bahkan demikian kepincutnya, ingin tetap di sekolah tersebut sampai tiba purna pengabdian. Kendati dirinya sadar bahwa tetap akan mengikuti takdir Tuhan kalau berkehendak lain.


“Saya menaruh harapan kepada pemerintah untuk mengenalkan SLB kepada masyarakat sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak istimewa atau berkebutuhan khusus dengan sekolah insklusi,” ungkapnya. 


Baginya, lembaga pendidikan khusus tersebut sebagai solusi bagi mereka yang memang memiliki perbedaan fisik dan mental, serta keterbelakangan lain. Dengan demikian, para orang tua merasa lebih baik anak di sekolahkan di inklusi daripada di SLB.


“Memang banyak orang tua di luar sana merasa malu jika anaknya bersekolah di SLB. Padahal di sekolah inklusi pun guru-gurunyanya merasa tidak mampu mengajari dan mendampingi dalam proses belajar mengajar anak-anak yang berkebutuhan khusus.” terangnya. 


Harapan lainnya kepada pemerintah adalah kemudahan sekolah SLB untuk bisa mengurus administrasi sekolah. Karena terkadang Ida merasa  kerepotan dengan banyaknya tuntutan admnistrasi yang harus dilengkapi. Sedangkan pada saat yang bersamaan, dirinya bersama pimpinan sekolah dan guru juga harus ekstra mengajar. 


Dirinya dan rekan sempat merasa rasa iri ketika melihat kesejahteraan yang dimiliki sejumlah guru honorer di sekolah negeri ternyata jauh lebih menjanjikan. Terkait kelayakan tersebut dirinya tidak bisa munafik lantaran sebagai manusia biasa. Oleh sebab itu, masalah perhatian bagi peningkatan kesejahteraan guru hendaknya juga menjadi yang dipikirkan pemerintah.


“Semoga pemerintah juga memperhatikan hal tersebut dan mempertimbangkan tunjangan bagi kami guru honorer di sekolah swasta,” pungkasnya.

 

Kontributor: Boy Ardiansyah
Editor: Syaifullah Ibnu Nawawi