Nasional

Dipimpin 3 Tokoh Film Nasional, Lesbumi Didesain untuk Jadikan Seni sebagai Ekspresi Religius

Selasa, 28 Mei 2024 | 18:00 WIB

Dipimpin 3 Tokoh Film Nasional, Lesbumi Didesain untuk Jadikan Seni sebagai Ekspresi Religius

Ngatawi Al-Zastrouw (paling kanan) saat berbicara pada kuliah tamu Peran Lembaga Kebudayaan Islam dalam Membentuk Wajah Sastra dan Drama Bernapas Islam di Indonesia pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Teater Prof Muhammad Yunus lantai 3 FITK, Senin (27/5/2024) (Foto: Malik Ibnu Zaman/NU Online)

Jakarta, NU Online
Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) didirikan pada 21 Syawal 1381 H atau 28 Maret 1962 M sebagai wadah perjuangan seniman dan budayawan NU. Lembaga ini pada awal berdiri dipimpin tiga serangkai sineas nasional yaitu Djamaludin Malik, Asrul Sani, dan Usmar Ismail. Ketiganya merupakan tokoh perfilman Indonesia.


Budayawan NU Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan bahwa komunisme masuk melalui Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dengan jargonnya bahwa seni sebagai alat untuk revolusi dan realisme sosial. Kemudian, ideologi humanisme universal diwakili oleh Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Di tengah-tengah ini, karena keduanya sekuler, lahirlah Lesbumi yang didesain untuk menjadikan seni sebagai ekspresi religius.


“Kalau kita lihat pendirinya tiga serangkai Djamaludin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Ketiganya ini adalah kelompok yang ingin menjadikan seni sebagai instrumen untuk merefleksikan dan mengekspresikan spirit religius,” ujarnya pada kuliah tamu Peran Lembaga Kebudayaan Islam dalam Membentuk Wajah Sastra dan Drama Bernapas Islam di Indonesia pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Teater Prof Muhammad Yunus lantai 3 FITK, Senin (27/5/2024).


Ia menjelaskan bahwa tujuan didirikannya Lesbumi adalah sebagai wadah ekspresi bagi seniman-seniman Muslim sehingga ekspresi spirit religius dapat dimanifestasikan ke dalam seni. Selain itu, tujuan lainnya adalah memodernisasi kesenian pesantren agar dapat tampil di kancah nasional.


Ia mengungkapkan bahwa pada saat itu kesenian pesantren lebih banyak diwarnai oleh karakter Arab, Timur Tengah, dan seni tradisi yang tidak populer. Oleh karena itu, Lesbumi memodernisasi kesenian tersebut agar dapat berkompetisi di kancah nasional. Di mana seni pada saat itu menjadi instrumen untuk melakukan kontestasi ideologi maupun kontestasi politik.


Lebih lanjut pria yang pernah menjadi Ketua Lesbumi tahun 2004-2015 ini mengatakan bahwa ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Lesbumi dalam mengembangkan teater Islam.


“Strategi pertama Lesbumi untuk mengembangkan teater Islam yaitu menghidupkan teater-teater di daerah, sebetulnya fenomena ini sudah lahir di akhir tahun 1950-an  ketika Lekra menggejala di mana-mana,” jelasnya.


Ia menjelaskan bahwa strategi yang kedua adalah melakukan rekonstruksi terhadap seni-seni teater daerah sehingga menjadi modernis. Yang ketiga adalah memasukkan unsur-unsur Islami dalam lakon. “Menjelang tahun 1960-an, Lesbumi secara masif memasukkan unsur ini sebagai upaya melawan narasi yang dimainkan oleh Lekra,” imbuhnya.


Berikutnya, yang keempat adalah memproduksi film, sebab Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaludin Malik adalah orang film. Ia juga menambahkan bahwa akarnya film adalah teater, karena sumber daya manusia dari film berasal dari teater, sehingga langkah berikutnya adalah mendirikan studio film.


“Kemudian melindungi film nasional, cara melindungi pada saat itu Lesbumi di bawah Asrul Sani melakukan boikot terhadap peredaran film impor terutama Amerika. Kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia,” pungkasnya.


Sementara itu Kepala Prodi (Kaprodi) PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Bahtiar mengatakan bahwa Lesbumi memiliki peran penting terutama di tahun 1960-an saat ideologi menjadi sebuah panglima.


“Lesbumi ini memberi peran tidak hanya sebagai pesaing dari Lekra, tetapi memberi peran penting tidak hanya berperan dalam ideologi, tetapi juga peran-peran dalam kesenian, dan lainnya. Lesbumi juga berperan tidak hanya pada masa Orde Baru, tetapi juga masa kini,” ujarnya.


Kemudian Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Siti Nurul Azkiyah mengatakan bahwa sastra bisa menjadi medium yang efektif untuk membumikan kebudayaan Islam kepada generasi milenial dengan cara yang menyenangkan. Dengan demikian, mereka secara tidak sadar mempelajari budaya Islam dan dapat menikmati kajian yang diharapkan bisa dinikmati sebagai sebuah seni.


Ia menambahkan bahwa ini menjadi warisan budaya Islam yang patut terus disuarakan melalui karya seni yang kemungkinan besar akan banyak dinikmati oleh orang lain.


“Kita berharap terutama melalui karya ini, generasi muda kita lebih santun, lebih sopan mengenal budaya Islam. Saya juga berharap lebih mengena di kehidupan sehari-hari kita,” ujarnya.