Jakarta, NU Online
Suhu politik di Indonesia akhir-akhir terlihat sedang memanas. Pemicunya tentu adalah karena adanya perbedaan pandangan terhadap siapa yang hendak dipilih dalam Pemilu Presiden 2019.
“Situasi tersebut sebenarnya adalah hal yang wajar mengingat esensi dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat,” kata Bakhrul Amal, Selasa (12/2). Setiap orang bisa mengutarakan preferensi dan sikapnya terhadap sesuatu, yang mungkin tidak disetujui oleh pendukung pasangan dari calon yang berlawanan, lanjut dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.
Akan tetapi yang membuat kewajaran itu memperihatinkan adalah ketika kebebasan, yang merupakan sifat demokrasi, disalahgunakan untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai adat ketimuran.
“Seperti dengan menebarkan hoaks, melakukan ujaran kebencian, dan bertindak yang memunculkan keputusasaan untuk saling bersaudara,” jelasnya. Terlebih secara fakta saat ini, mengulang tahun 2014, hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden sehingga jarak pemisah akibat hal-hal buruk tersebut bisa terlihat semakin besar dan lebar, lanjutnya.
Pemerhati sosial dan penulis buku Hukum dan Masyarakat ini menilai bahwa segala persoalan harus segera diakhiri. “Salah satu caranya adalah dengan mengajak generasi milenial, sebagai kelompok pemilih terbesar dan pengguna media social atau medsos terbanyak, untuk tidak terlibat dalam keadaan itu,” ungkapnya.
Edukasi terhadap generasi milenial ini penting. “Karena mereka adalah arus besar yang punya potensi menjadi key opinion leader dalam perdebatan politik dan membuka jalan pikiran atau sikap ketiga dalam politik," jelasnya.
Amal menilai, apabila generasi milenial tersadarkan pada posisinya, maka dinding beranda facebook, timeline twitter, maupun foto di instagram akan penuh keteduhan.
“Cara membangun kesadaran itu dengan keluar dari jebakan binary creature, atau makhluk biner, yang melihat secara hitam-putih, a-b, atau pun baik dan buruk,” katanya. Generasi milenial semestinya bisa memulai langkah dewasa dalam berpolitik dengan tetap yakin bahwa siapapun yang terpilih adalah putra-putri terbaik bangsa, lanjutnya.
Pandangan Amal ini didasari pada fakta sejarah di masa lalu. "Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, ketika muda itu sudah memikirkan kemaslahatan bangsa. Pikiran itu mereka tunaikan dengan menyatukan berbagai suku, agama, dan ras hingga lahir Pancasila. Mereka tidak mencari perbedaan tetapi mencari titik persamaan yang mungkin bisa dijadikan semangat untuk melangkah bersama,” tegasnya.
Amal berharap, seluruh elemen bersatu padu untuk menyukseskan dengan tanpa melepaskan esensi Pemilu itu sendiri. “Esensi Pemilu terpilihnya seseorang dengan pikiran dan cita-cita terbaik yang bisa mendistribusikan keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi rakyat. Oleh sebab itu mereka dipilih berdasarkan kualitas dan kuantitas terbanyak,” ungkapnya.
Baginya, Pemilu bukan sarana menjatuhkan. “Pemilu itu justru sarana untuk saling menguatkan, beradu ide demi mengumpulkan energi terbesar bagi kebaikan bangsa ke depan" tutupnya. (Ibnu Nawawi)