Gus Baha Jelaskan Kecerdasan Kiai Bisri Mustofa Tulis Tafsir Al-Ibriz
Selasa, 10 September 2024 | 08:30 WIB
Rembang, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nursalim menjelaskan kecerdasan KH Bisri Mustofa. Hal tersebut tampak dalam karya-karyanya, seperti Tafsir Al-Ibriz yang ia uraikan untuk menunjukkan betapa alimnya Kiai Bisri.
Hal itu disampaikan pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan Haul Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Senin (9/9/2024).
Dalam kesempatan tersebut, kiai yang akrab disapa Gus Baha itu menjelaskan tafsir surat Ad-Duha dalam Tafsir Al-Ibriz. Secara spesifik, ia menyampaikan bahwa kata Dlallan pada ayat 7 surat tersebut dimaknai Kiai Bisri dengan orang yang tidak tahu, bukan sesat.
"Dlalla makna aslinya bukan sesat, tapi tidak tahu," ujar Pengasuh Pondok Pesantren Narukan, Rembang, Jawa Tengah itu.
Mengutip dari Tafsir Jalalain dan Tafsir As-Shawi, Gus Baha menjelaskan bahwa saat itu memang Nabi tidak mengetahui harus mengikuti syariat mana. Hal ini mengingat adanya syariat Nasrani, Yahudi, dan Jahiliyah yang menyembah berhala.
"Jadi yang dimaksud dlallan itu Nabi tidak tahu harus ikut apa," katanya.
Di situlah letak kealiman dan kecerdasan Kiai Bisri membubuhi makna dlallan dengan orang yang tidak tahu pada kitab Tafsir Al-Ibriz. Sebab, makna tersebut menunjukkan bahwa Kiai Bisri tidak mengarang-ngarang, melainkan merujuk pada kitab-kitab tafsir terdahulu, khususnya Tafsir Jalalain yang menjadi rujukan utamanya.
"Jadi, betapa alimnya Kiai Bisri ketika milih dlallan dimaknai orang yang tidak ngerti," katanya.
Tak pelak kitab Tafsir Al-Ibriz itu menjadi laris. Gus Baha menggarisbawahi laris yang dimaksud tentu tidak perlu membahas perihal royalti, tetapi kemanfaatannya.
"Laris itu maknanya manfaatnya banyak. Jangan diartikan kalau laris hasilnya banyak," ujarnya.
Dalam ayat terakhir surat Ad-Dhuha, Kiai Bisri memaknainya dengan “pada nikmat Allah berupa kenabian khususnya, dirimu supaya membicarakannya.” Artinya, tidak semua nikmat yang diterima itu perlu diceritakan. Terkait hal ini, ia teringat cerita abahnya, Kiai Nursalim, bahwa ada seorang santri yang tampak tidur-tiduran saja. Ketika ditanya kenapa, ternyata ia tengah memiliki uang.
“Nanti kalau saya ketahuan punya uang, diutangi,” jawab santri tersebut.
Sementara dalam Tafsir Al-Basith karya Imam Wahidi, dijelaskan bahwa nikmat yang dimaksud adalah Al-Quran. Makanya, hal yang perlu diceritakan adalah substansi atau ajaran nilai di dalam Al-Qur’an, bukan malah nikmat yang dirasa oleh sendiri. Hal yang terakhir itu, menurut Gus Baha, dapat memicu iri di benak orang lain.
Ia memberikan permisalan menjadi kiai di kota yang cepat kaya, sedangkan di kampung hanya mengandalkan keberadaan orang meninggal. Hal ini memang betul pernah ada seorang kiai kampung yang sowan ke ayahnya, Kiai Nursalim, mengadukan diri tidak lagi memiliki uang karena lama tidak ada orang meninggal.
“Maksudnya begini, nikmat sepihak diceritakan itu kan rawan orang hasud,” ujarnya.
Makanya, Kiai Bisri juga memberikan catatan terhadap ayat terakhir surat Ad-Dhuha itu, bahwa nikmat yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw dapat wahyu berupa Al-Qur’an.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua