Nasional

Gus Yahya Jelaskan Nalar Trilogi Ukhuwah dan Alasan NU-Muhammadiyah Bisa Rukun

Selasa, 21 Februari 2023 | 16:09 WIB

Gus Yahya Jelaskan Nalar Trilogi Ukhuwah dan Alasan NU-Muhammadiyah Bisa Rukun

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Memperjuangkan kemanusiaan secara keseluruhan menjadi sebuah kesadaran yang menuntun berbagai agenda-agenda Nahdlatul Ulama (NU) di abad kedua.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, upaya untuk memperjuangkan kemanusiaan di lingkungan NU bukanlah gagasan baru, tetapi merupakan gagasan yang sudah sangat lama digaungkan.


Gagasan tersebut lahir dari pemikiran KH Ahmad Shiddiq, Rais 'Aam PBNU 1984-1991, yang menetapkan suatu kerangka keagamaan, yakni trilogi ukhuwah (persaudaraan); ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).


Gus Yahya kemudian menjelaskan nalar yang benar atas pemaknaan trilogi ukhuwah itu. Sebab menurutnya, banyak orang selama ini yang memahami trilogi ukhuwah itu dalam nalar yang terbalik.


Sebagian besar orang menanggap ukhuwah Islamiyah adalah lingkup terkecil yang harus diwadahi oleh persaudaraan dalam lingkup yang lebih besar yaitu ukhuwah wathaniyah. Lalu ukhuwah wathaniyah diwadahi dalam lingkup yang lebih besar lagi yaitu ukhuwah basyariyah atau persaudaraan kemanusiaan.


"Itu sebetulnya adalah nalar yang terbalik. Karena nalar yang benar dalam memahami 3 ukhuwah ini adalah bahwa ukhuwah Islamiyah hanya mungkin bisa diwujudkan apabila ada kesadaran tentang ukhuwah wathaniyah," jelas Gus Yahya.


Penjelasan itu diungkapkan saat Gus Yahya menghadiri Simposium Nasional Satu Abad Nahdlatul Ulama yang digelar oleh Partai Amanat Nasional (PAN) di Surabaya, Jawa Timur, pada Ahad (19/2/2023).


"Umat Islam di Indonesia hanya bisa rukun satu sama lain kalau ada kesadaran tentang persaudaraan sebangsa, sebagai satu bangsa: Indonesia, dan ini realitasnya memang begitu," tutur Gus Yahya.


Ia kemudian menjelaskan alasan rasional NU dan Muhammadiyah bisa rukun. Salah satu penyebabnya adalah karena Perkumpulan dan Persyarikatan itu memiliki kesadaran tentang persaudaraan sebangsa. 


"NU dan Muhammadiyah itu kalau tidak sadar bahwa kita ini sebangsa ya nggak akan rukun selama-lamanya. Wong yang satu qunut, yang satu enggak," ujarnya.


"Kalau soal tarawih, banyak orang NU yang mau dikorting. Tapi kalau soal tahlilan, pasti orang NU tidak mau kalau tidak boleh tahlilan," imbuh Gus Yahya.


Begitu pula soal permulaan Ramadhan dan Idul Fitri antara NU dan Muhammadiyah yang hampir tidak pernah bisa sama. Namun karena ada kesadaran tentang persaudaraan sebangsa, maka NU dan Muhammadiyah bisa rukun selama ini.


Perbandingan Realitas

Gus Yahya lantas mengajak untuk membandingkan antara realitas yang terjadi di Indonesia dengan negara-negara lain. 


"Lihat Suriah, kenapa berbagai kelompok yang sama-sama Muslim di Suriah tidak bisa rukun? Kenapa kelompok-kelompok sesama Muslim di Irak, di Afghanistan, di Nigeria, di Somalia, di Aljazair, tidak bisa rukun? Karena mereka tidak punya kesadaran tentang persaudaraan sebangsa," jelas Gus Yahya.


Hal serupa juga terjadi dengan kelompok Sunni dan Syi'ah di Irak yang tidak pernah merasa bersaudara sebagai sesama bangsa Irak. Begitu pun kelompok Ahlussunnah wal Jamaah dan wahabi di Suriah yang tidak merasa bersaudara sebagai satu bangsa Suriah. Inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa rukun.


"Tapi NU dan Muhammadiyah bisa rukun karena punya kesadaran sebagai saudara sebangsa," tutur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.


Kemudian, kesadaran kesadaran tentang persaudaraan sebangsa tidak mungkin tumbuh tanpa adanya kesadaran tentang persaudaraan sesama manusia atau persaudaraan kemanusiaan.


Sebagai contoh, jika tanpa ada kesadaran tentang persaudaraan kemanusiaan maka orang Jawa tidak mungkin merasa satu bangsa dengan orang Papua dan Manado. 


Mereka bisa rukun karena punya keyakinan bahwa manusia; apa pun warna kulit, bentuk rambut, dan latar belakang etnisnya adalah saudara.


"Maka persaudaraan sebangsa hanya mungkin bisa terwujud apabila masyarakat punya kesadaran tentang persaudaraan kemanusiaan. Ini adalah nalar yang sesungguhnya yang sudah ada sejak 39 tahun lalu," ujar Gus Yahya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad